Selamat

Selamat datang di Santri Gubrak
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis

Kamis, 16 Desember 2010

Tafsir “Toleransi beragama” dalam Islam (Ustadz Quraish Shihab)

Ceramah ustadz M. Quraish Shihab dalam Pengajian Tafsir al-Mishbah yang di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, 12 Januari 2004 — Tak ada paksaan dalam agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk agama Islam. Bahkan, dalam sebuah ayat disebutkan, “Jangan memaki sembahan orang. Karena, kalau kamu memaki sembahan mereka, maka mereka juga akan memaki sembahanmu.”
Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 256 : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Asbabun Nuzul tentang sebab turunnya ayat ini, diriwayatkan seorang lelaki bernama Abu Al-Husain dari keluarga Bani Salim Ibnu Auf mempunyai dua orang anak lelaki yang telah memeluk agama Nasrani sebelum Nabi Muhammad saw. diutus Tuhan sebagai nabi. Kemudian kedua anak itu datang ke Madinah (setelah datangnya agama Islam), maka ayah mereka selalu meminta agar mereka masuk agama Islam dan ia berkata kepada mereka, “Saya tidak akan membiarkan kamu berdua, hingga kamu masuk Islam.”
Mereka lalu mengadukan perkaranva itu kepada Rasulullah saw. dan ayah mereka berkata, “Apakah sebagian dari tubuhku akan masuk neraka?” Maka turunlah ayat ini, lalu ayah mereka membiarkan mereka itu tetap dalam agama semula.
Jadi, tidak dibenarkan adanya paksaan. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan agama Allah kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan serta dengan nasihat-nasihat yang wajar sehingga mereka masuk agama Islam dengan kesadaran dan kemauan mereka sendiri.
Kata din pada umumnya diartikan agama. Padahal, kata tersebut tidak hanya bermakna “agama”, melainkan juga “balasan”, sebagaimana terlihat pada surat al-Fatihah ayat ketiga, Mâliki yaum ad-dîn (yang memiliki hari pembalasan). Dengan demikian, makna yang terkandung dalam ayat keenam surat al-Kâfirûn adalah “kamu mendapat pembalasan buat kamu dan saya juga mendapat balasan buat saya”.
Orang-orang yang menolak menyebut kepercayaan kaum musyrik sebagai agama, tidak menerjemahkan ayat ini dengan “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Akan tetapi, menjadi “bagimu balasan ganjaran bagimu dan bagiku balasan ganjaran bagiku”. Tegasnya, ayat tersebut tidak berbicara tentang agama, menurut mereka.
Kata di atas bisa dibaca secara berbeda. Ia bisa dibaca dain yang berarti “hutang” dan bisa juga dibaca din yang berarti “pembalasan” atau “agama”. Semua kata yang terdiri dari huruf dal, ya, dan nun menggambarkan hubungan dua pihak, di mana yang satu posisinya lebih tinggi daripada yang lainnya dan pasti berhubungan. Dalam arti hutang, ketiga huruf tersebut menggambarkan terjadinya hubungan antara yang memberi hutang (posisinya lebih tinggi) dengan yang diberi hutang (posisinya lebih rendah).
Kemudian, dalam arti pembalasan, itu juga terdapat hubungan antara yang membalas dengan yang memberi balasan. Sedangkan dalam arti agama, menggambarkan adanya hubungan antara Tuhan yang dipercayai dengan manusia yang mempercayai. Jadi, syarat mutlak sesuatu yang dinamakan agama mesti terdapat hubungan antara Sang Khalik dan makhluk. Oleh karena itu, bila seseorang tidak melakukan hubungan dengan Tuhan berarti dia tidak beragama.
Walaupun kita menafsirkan ayat ini dalam arti “pembalasan”, tetapi bukan berarti al-Quran tidak mengajak untuk menjalin hubungan baik dengan siapapun, karena ada ayat-ayat lain yang memerintahkan hal tersebut. Atau dengan kata lain, Islam menganjurkan adanya jalinan hubungan dan pengakuan akan eksistensi agama-agama.
Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Perangilah mereka sampai tidak ada penganiayaan dan menjadikan agama (ad-din) hanya milik Allah”. Sebenarnya kata ad-din pada ayat tadi bukan dalam pengertian agama, melainkan berarti “pembalasan”. Kalaupun diartikan agama, tetapi tidak dalam pengertian “agama Islam”, karena Allah tidak memerintahkan Nabi untuk memaksa orang agar masuk Islam. Tidak ada paksaan dalam agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk agama Islam.
Di dalam Surat Saba’ ayat 26 dinyatakan, “Kami (muslim) atau kamu (nonmuslim) di atas petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata”. Ayat terakhir ini mengandung pengertian bahwa boleh jadi kamu yang benar atau boleh jadi juga kami yang benar.
Oleh karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat jangan sampai kita mengklaim bahwa kami pasti benar dan kamu pasti salah. Ayat selanjutnya menjelaskan, “Katakan (wahai Nabi Muhammad kepada orang-orang non-muslim), kalian tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas dosa-dosa kami dan kami pun tidak akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang kamu kerjakan. Katakanlah, Tuhan kita akan menghimpun kita di hari kemudian. Kemudian Dia akan memberi putusan yang benar (haq), siapa yang benar dan siapa yang salah.”
Dengan bahasa lain, saat turunnya surat al-Kafirun, Nabi Saw. mengatakan, kalian (kaum musyrik Quraisy) tidak usah mengatakan bahwa agama kalian benar dan agama saya benar, karena secara prinsip memang sangat berbeda.
Ini menunjukkan bahwa kita tidak perlu mempersoalkan kepercayaan yang berbeda, apakah itu Islam, Kristen, atau Yahudi. Yang penting, bagaimana masing-masing mempercayainya sendiri. Bahkan dalam ayat lain Allah berfirman, “Jangan memaki sembahan orang. Karena, kalau kamu memaki sembahan mereka, maka mereka juga akan memaki sembahanmu.”
Terkait dengan hal ini, Nabi Saw. bersabda, “Dosa yang paling besar dari seorang manusia adalah memaki ayahnya”.
Sahabat Nabi bertanya, bagaimana ada orang yang memaki ayahnya sendiri? Nabi Saw. kemudian menjawab, “karena orang tersebut memaki ayah orang lain, maka orang lain tersebut akan memaki ayahnya”.
Nah, inilah konsep etika beragama yang diajarkan al-Qur’an.

http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2010/01/02/opini-tafsir-toleransi-beragamaa-dalam-islam-ustadz-quraish-shihab/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar