Selamat

Selamat datang di Santri Gubrak
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis

Minggu, 10 Juli 2011

Asal muasal nama Somalangu


Kata Somalangu muncul dari suatu ungkapan kalimat dalam bahasa Arab, yang diakhiri dengan kata “Tsumma Dha’u”.
Yang berarti “Silahkan anda menempati”.
Adapun awal muasalnya kata tersebut yaitu bermula dari titah R. Hasan Al-Fatah Sultan Demak pada waktu memberikan tanah perdikan kepada Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani yang sekarang ditempati sebagai Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu.
Adapun pemberian ini merupakan suatu bentuk hadiah dari Sultan atas jasa Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani dalam membantu menemukan solusi pemecahan hukum yang timbul bagi para pengikut Syekh Siti Jenar dari akibat dikenai hukuman matinya sang pemimpin mereka.
Lengkap kisahnya begini ;
Syekh Siti Jenar adalah seorang tokoh pembawa ajaran tasawuf faham hulul atau wahdatul wujud pada masa pemerintahan Sultan Al-Fatah, Demak. Faham hulul ini dalam istilah Jawa dikenal sebagai faham “Manunggaling Kawulo Gusti”. Yaitu suatu faham tasawuf yang mengajarkan dapat terjadinya suatu keadaan penyatuan sifat - sifat ketuhanan pada diri seorang Salik (pengamal).
Aliran ini (Syekh Siti Jenar) ditentang oleh kebanyakan para tokoh ulama tasawuf yang menganut faham ‘wahdatus syuhud’. Yaitu faham yang menyatakan bahwa tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang Salik hanyalah berupa kemampuan mengetahui hal - hal yang dikehendaki oleh Allah Swt. Jadi Si Salik hanya mampu menjalankan apa yang dikehendaki oleh Allah Swt bukan bertindak sebagai “Tuhan”.
Karena faham mayoritas tasawuf kesultanan Demak waktu itu adalah faham wahdatus syuhud maka Syekh Siti Jenar ahirnya diadili oleh Majlis Ulama Kesultanan. Vonis hukuman mati dijatuhkan pada Syekh Siti Jenar karena beliau tidak mau merubah faham atau setidak - tidaknya menghentikan faham yang diajarkannya itu pada ummat.
Pendek kisah, setelah Syekh Sidi Jenar dikenai hukuman mati ahirnya muncul masalah sosial ditingkat lapis bawah masyarakat Kesultanan Demak. Mereka yang selama ini menjadi pengikut Syekh Sidi Jenar tetap beranggapan bahwa faham tasawuf yang mereka anut itu adalah benar dan mereka tetap bersikap tidak mau mengikuti faham mayoritas ummat islam. Para ulama menjadi jengah dengan sikap mereka itu.
Fatwa - fatwa liar pun bermunculan. Ada yang memfatwakan bahwa para pengikut Syekh Sidi Jenar ini juga harus dihukum mati sebagaimana pemimpin mereka jika tidak bertaubat. Namun ada pula yang berfatwa bahwa para pengikut Syekh Sidi Jenar itu cukup dibina saja.
Keadaan sosial keagamaan yang runyam ini berlangsung sampai beberapa saat, sehingga Kesultanan sampai mengkhawatirkan terjadinya instabilitas politik kenegaraan. Sebagai sebuah kesultanan Islam pertama di Jawa yang merasa bertanggung jawab pada keadaan warga serta stabilitas politik maka Sultan Demak R. Hasan Al-Fatah ahirnya memprakarsai perlunya pertemuan tokoh - tokoh ulama dari seluruh seantero kesultanan Demak untuk memtuskan hukum persoalan faham “Manunggaling Kawulo Gusti” ini.
Muktamar Ulama itu ahirnya dilaksanakan dengan mengambil tempat di pusat Kesultanan Islam Demak yaitu di komplek Masjid Demak. Pada saat muktamar ini, hadir pula tokoh Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani.
Dalam Muktamar Ulama untuk “Bahsul Masail” soal faham “Manunggaling Kawulo Gusti” itu muncullah perdebatan yang cukup sengit antara mereka yang berpendapat bahwa pengikut Syekh Sidi Jenar juga harus dikenai hukuman mati dengan kelompok ulama yang berargumen jika pengikut Syekh Sidi Jenar itu cukup dibina saja dan tidak perlu untuk sampai dihukum mati. Alasan serta dalil yang mereka ajukan sama - sama kuat.
Kelompok pertama berargumen para pengikut Syekh Sidi Jenar itu harus dihukum mati pula sebagaimana pemimpinnya karena sang pemimpin dihukum mati juga sebab mengikuti dan mengajarkan faham “Manunggaling Kawulo Gusti” itu pada orang lain. Oleh karenanya siapa saja yang mengikuti dan mengajarkan ajaran tersebut pada orang lain juga harus dikenai hukuman mati. Sementara itu kelompok yang kedua mengajukan dasar jika pengikut Syekh Sidi Jenar cukup dibina saja dan tidak perlu dihukum mati karena tingkat berfikir mereka yang belum sampai serta terbatas.
Sehingga mereka dalam mengikuti faham “Manunggaling Kawulo Gusti” itu tidak sama derajatnya dengan sang pemimpin. Oleh karenanya hukumannya-pun juga berbeda dengan yang memimpin.
Beda pendapat ini hampir - hampir saja menimbulkan persoalan baru dikalangan para tokoh ulama. Karenanya Sultan R. Hasan Al-Fatah segera meminta pendapat Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani tentang cara mengatasi persoalan pelik ini menurut beliau. Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani yang semula hanya mendengarkan saja argumen masing - masing tokoh ulama dua kelompok tersebut ahirnya angkat bicara.
“Begini Sultan”
“Menurut pendapat saya, jika para tokoh ulama ini setuju mari kita kembalikan saja persoalan ini pada asal akar adanya persoalan”
Para hadirin diam dan seksama mendengarkan uraian beliau.
“Akar masalah faham hulul ini adalah masalah hakekat. Bukan masalah Syariat.”
“Sehingga menurut pendapat saya jika langsung diputusi dengan cara syariat tetapi mengabaikan unsur hakekatnya maka hasilnya akan selalu menimbulkan perselisihan”
“Yang terbaik menurut saya adalah mengembalikan hakekat masalah ini kepada Allah Swt dengan cara Syariat. Biarlah Allah Swt yang memutuskan langsung hukum seperti apa yang terbaik bagi para pengikut Syekh Sidi Jenar.”
Sultan-pun bertanya, “Maksud antum bagaimana?”
“Jika Sultan setuju dan hadirin juga sepakat, saya usul marilah kita semua menulis pendapat kita masing - masing tentang hukuman apa yang perlu dijatuhkan pada para pengikut Syekh Sidi Jenar pada sebuah deluwang dengan disertai dalil - dalilnya sesuai dengan keyakinan serta pengetahuan masing - masing”
“Agar hati kita terjaga keikhlasannya dalam memutuskan masalah ini dengan tanpa ada rasa kebencian pada suatu golongan maka alangkah baiknya agar tulisan pada deluwang itu tidak diketahui isinya selain dirinya sendiri dan Allah Swt.”
“Sesudah itu, tulisan - tulisan tersebut digulung dan dimasukkan dalam sebuah kendi”
“Baru sesudah semuanya selesai, silahkan salah satu diantara kita yang hadir disini berkenan untuk memimpin doa. Adapun isi doanya adalah jika Allah Swt lebih ridha apabila para pengikut Syekh Sidi Jenar dihukum mati maka mohon Allah Swt berkenan menghapuskan tulisan - tulisan yang berisikan bahwa pengikut Syekh Sidi Jenar cukup dibina saja. Demikian pula jika Allah Swt lebih ridha apabila para pengikut Syekh Sidi Jenar cukup dibina saja, maka mohon Allah Swt kiranya berkenan untuk menghapus seluruh tulisan yang berisikan bahwa para pengikut Syekh Sidi Jenar itu harus dihukum mati.”
Sultan R. Hasan Al-Fatah pun mengangguk - anggukkan kepalanya tanda memahami.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani kemudian melanjutkan lagi,
“Ketika salah satu diantara kita yang hadir disini memimpin doa, saya mohon semuanya untuk ikhlash mengamini.”
“Sesudah hal itu selesai, maka marilah tulisan - tulisan tersebut kita buka dan baca bersama - sama. Manakah yang terhapus dan manakah yang masih ada”
Ketika pendapat ini selesai diajukan, semua tokoh ulama sepakat untuk menerimanya. Sultan-pun ahirnya setuju. Karena cara pemecahan ini dianggap sebagai sebuah cara pemecahan terbaik.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani ahirnya yang ditunjuk untuk berdoa. Mungkin salah satu pertimbangannya adalah karena beliau tidak terlibat konflik pro - kontra pendapat pada sebelumnya.
Setelah doa dipanjatkan dan isi masing - masing deluwang yang ada dalam kendi itu dibuka, ternyata tulisan yang masih ada adalah tulisan - tulisan pendapat ulama yang menyatakan bahwa para pengikut Syekh Sidi Jenar itu cukup dibina saja. Sementara tulisan - tulisan pendapat yang menyatakan bahwa para pengikut Syekh Sidi Jenar itu wajib dihukum mati hapus tak berbekas.
Karena semua ulama yang hadir ditempat tersebut memang ikhlas ahirnya menerima hasil tersebut dan bersujud syukur bersama dari kesalahan mengambil ketetapan hukum. Sultan R. Hasan Al-Fatah pun senang. Sebagai imbalan atas jasa dari Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani tersebut kemudian beliau memberikan titah atau Sabdo Pandita Ratunya dengan menghadiahkan tanah keberadaan Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani sebagai sebuah tanah perdikan. Adapun cara Sultan R. Hasan Al-Fatah memberikan Sabdo Pandita Ratunya waktu itu dengan menggunakan bahasa Arab yang diakhiri dengan kalimat “Tsumma Dha’u” (ثُــمَّ ضَـعُّــوْا). Huruf “Wawu” pada kalimat tersebut menunjukkan wawu jama’ lit ta’dzim. Sehingga artinya “Silahkan anda menempati”. Adapun naskah lengkapnya ada dalam kepustakaan Pengsuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu.
Untuk mengenang peristiwa ini, ketika sepulangnya Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani ketempat tinggalnya beliau ceritakan kejadian tersebut pada para siswa - siswa beliau. Oleh karenanya akhirnya mereka mengingat - ingat peristiwa itu dengan ungkapan “Tsumma Dha’u”nya. Lama kelamaan berita ini tersiar ramai kepelbagai tempat. Ketika itu warga dan santri yang mayoritas masyarakat Jawa tulen dan belum fasih mengucap huruf tsa ( ث ) dan dhod ( ض ) ahirnya dalam menirukan ucapan terjadi salah ejaan. Kalimat tsu menjadi “So” dan dho menjadi “la”.
Salah ejaan dalam lidah masyarakat Jawa tempo dulu terhadap pelafadzan Arabic memang merupakan hal yang belum dapat dihindari. Kata yang seharusnya diucapkan “tsu” menjadi “So” dan “Dha” menjadi “la” adalah hal yg wajar dan umum terjadi. Contoh kata “Wudhu” menjadi Wulu. Dan kata “Tsurya” menjadi Surya. Dari sinilah maka akhirnya kata “Tsumma Dha’u” menjadi sebuah kata yang memunculkan nama Somalangu.
Daerah Somalangu sebelum ini dikenal masyarakat dengan nama daerah “Alang - Alang Wangi”. Adapun sebab musabab disebut dengan Alang - Alang Wangi adalah karena daun alang - alang yang digunakan sebagai atap Masjid Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu menurut kisahnya memgeluarkan bau harum yang mewangi.

http://blog.its.ac.id/syafii/2008/06/20/asal-muasal-nama-somalangu/


Ponpes Somalangu Kebumen Titah Islamisasi di Jawa

  r
Kebumen (GP-Ansor): Jika dikaji secara jujur banyak pesantren di Jawa yang menorehkan catatan sejarah. Mislanya, Pondok Pesantren Somalangu Desa Sumberadi, Kecamatan Kebumen, ini sangat layak dikembangkan menjadi cagar budaya religius. Sebab, pondok tersebut ditengarai pernah menjadi salah satu pusat islamisasi di Jawa.
Penilaian yang tulus itu, diungkapkan Mohammad Baehaqi selaku Tim Perumus serta Kasi Sejarah, Budaya dan Nilai-nilai Tradisional Dinas Parsenibud Kebumen, Slamet, Selasa, (9/1) kemarin.
Diakui secara jujur oleh Baehaqi, bahwa ide membentuk cagar budaya religius itu diawali diskusi intensif STIE Pura Bangsa dengan Pengasuh Ponpes Somalangu KH Afifudin Chanif. Gagasan tersebut diteruskan ke Bupati Kebumen dan mendapat tanggapan positif yang ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia kerja.
Jika ditinjau dari aspek historis, Somalangu menyimpan riwayat panjang dalam perkembangan Islam di Jawa. Bahkan dari peninggalan beberapa Yoni, menunjukkan ciri budaya Hindu pada tahun 1475. Sedangkan bangunan Masjid Somalangu diduga sama tuanya dengan kerajaan islam Demak pada masa Raden Patah.
Karena itu, menurut Baehaqi, berbagai peninggalaan baik berupa prasasti, manuskrip atau naskah dan masjid di Somalangu bisa menjadi petunjuk dan kerangka acuan penelusuran lebih jauh Sejarah Somalangu. Bahkan dari Candrasengkala dalam Yoni itu menjadi bukti daerah tersebut telah ada jauh sebelum nama Kebumen muncul.
Lebih jauh Baehaqi juga menyatakan, Ponpes Al Kahfi yang menilik riwayatnya didirikan oleh ulama dari Yaman di Arab sampai saat ini bisa menjadi contoh pesantren yang berkelanjutan. Karena itu, penguatan visi, misi dan dukungan eksternal harus terus dilakukan.
Dalam kaitan dengan aspek peningggalan, perlu dikaji atas kepemilikan tanah untuk kawasan, benda-benda cagar budaya yang mendukung beserta peraturan dan perundangan yang berlaku. Perlu pula dikaji pembentukan badan hukum tersendiri untuk pengelolaan secara profesional dan mandiri. (SM/hw)

http://gp-ansor.org/

KH. Asyhari Marzuki





Image H. Asyhari Marzuqi

Lahir di Giriloyo pada hari Selasa Kliwon tanggal 10 Nopember 1942 M atau tanggal 1 Dzulqo’dah 1361 H. Tanggal ini oleh H. Asyhari Marzuqi dikira-kira sendiri, karena ayahnya (Mbah Marzuqi) tidak menuliskan tanggal kelahirannya. Beliau hanya berkata pada H. Asyhari Marzuqi, “kamu lahir pada saat Jepang memasuki kota Yogyakarta”.
Tahun 1949, Asyhari Marzuqi masuk ke sekolah SR (Sekolah Rakyat) yang ada di Singosaren Wukirsari. Tapi karena letak sekolahan ini dekat dengan jalan besar yang sewaktu-waktu ada patroli Jepang, akhirnya sekolah itu diungsikan agak ke timur, tepatnya di Giriloyo, sampai kira-kira Asyhari kecil menginjak kelas 2. Kemudian kelas tiganya pindah lagi ke Singosaren, kelas 4 dan 5 dipindahkan lagi ke Puroloyo Imogiri dan kelas 6 nya pindah lagi ke Gestrikan (sekarang ada di timur Puskesmas Imogiri).

Lulus dari SR pada tahun 1955, Asyhari langsung ke Krapyak. Pada saat itu di Krapyak sudah ada pendidikan tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Pendidikan itu jika ditempuh secara normal akan memakan waktu selama 10 tahun, yaitu Ibtidaiyah 4 tahun, Tsanawiyah 3 tahun dan Aliyah 3 tahun. Tapi karena kersane Kiai Ali Maksum (Pengasuh Pondok Krapyak) pendidikan itu oleh H. Asyhari Marzuqi tidak ditempuh selama 10 tahun, karena terkadang dalam satu tahun beliau bisa naik dua kali. Ibtidaiyah di tempuhnya selama 2 tahun, Tasanawiyah 2 tahun dan Aliyah 2 tahun. Pada tahun 1959, ketika H. Asyhari Marzuqi masuk kelas satu Aliyah, oleh mBah Ali Maksum beliau disuruh ikut mengajar adik-adik kelasnya, sehingga pada saat itu beliau kalau pagi mengajar dan sorenya sekolah di Aliyah.

Setelah lulus dari Madrasah Aliyah (1961), beliau ditawari oleh Kiai Ali untuk melanjutkan studinya di Madinah. Bersama Gus Bik (Attabik Ali, putra Kiai Ali), Asyhari ikut mendaftar. Tapi pada saat itu yang berangkat Gus Bik. Tujuh bulan setelah keberadaannya di Madinah ternyata Gus Attabik tidak kerasan, kemudian kembali ke Krapyak. keinginan Kiai Ali supaya H. Asyhari Marzuqi menggantikan Gus Bik pun tidak terlaksana, karena ternyata jatah Gus Bik itu sudah digantikan oleh orang lain. Akhirnya, beliau kembali lagi ke Krapyak untuk mengajar.

Pada suatu hari H. Asyhari Marzuqi datang ke pak Kyai Musaddad yang tempat tinggalnya ada di daerah barat Malioboro. Asyhari mengutarakan keinginan untuk belajar di Timur Tengah. Tetapi oleh beliau, Asyhari disarankan untuk menempuh jalur yang semestinya, “kalau kamu ingin pergi ke Timur tengah, ya harus melewati jalur yang semestinya, masuklah IAIN.” begitu katanya. Atas saran Kyai Musaddad, menjelang GESTAPU (gerakan 30 September oleh PKI), H. Asyhari Marzuqi masuk ke IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah jurusan Tafsir Hadits. Dunia pendidikan pada saat itu sedang kacau. Pada saat menjelang Gestapu itu hampir semua sekolahan libur. Sementara di IAIN sendiri sedang terjadi demo besar-besaran terhadap Rektor ( Prof. Soenaryo). Para demonstran itu meminta Rektor untuk mundur dari jabatannya dengan tuduhan bahwa Rektor telah melakukan NU-isasi di lingkungan IAIN. Sehingga dengan adanya dua permasalahan tersebut praktis tidak ada perkuliahan.

Tahun 1968 ketika perkuliahan sudah aktif (H. Asyhari Marzuqi kira-kira semester 7), oleh Prof. Hasbi Asshiddiqi Asyhari Marzuqi dijadikan asisten untuk mengajar adik-adik yang ada di semester awal untuk mata kuliah Bahasa Arab, Nahwu dan Shorf. Ketika mengajar itulah H. Asyhari Marzuqi mengenal Malik Madani (sekarang Dekan Fak. Syariah), Ali As’ad (sekarang politisi) masuk menjadi mahasiswa baru IAIN. Untuk membedakan komponen yang ada di IAIN, pada waktu itu ada atribut yang harus dikenakan oleh seluruh civitas akademika. Dosen dan Asisten pakai atribut (Badge) warna putih dan mahasiswa pakai atribut (Badge) warna hijau. Sehingga terkadang Asyhari Marzuqi kalau pagi pakai atribut warna hijau kemudian siang pakai yang warna putih.

Pada tahun 1970 oleh Prof. Hasbi, Asyhari Marzuqi diminta untuk mengajukan permohonan menjadi Dosen di IAIN. Tapi, karena merasa belum cukup ilmu, beliau tidak menerima tawaran itu. Akan tetapi dari tawaran itulah, Asyhari terpacu untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya.

Setelah lulus dari IAIN (sekitar tahun 1971), keinginan untuk belajar ke Timur Tengah kembali menguat. Dengan biaya sendiri, akhirnya Asyhari Marzuqi ke Timur Tengah. Ia sangat berharap dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2) pada disiplin ilmu yang telah ditekuni di Indonesia.

Ada kisah yang cukup heroik menjelang keberangkatannya ke Timur Tengah. Ceritanya, setelah mendapatkan paspor dan akan berangkat ke Iraq. Asyhari Marzuqi bermaksud sowan kepada bapak RH. Suwardiyono (Pendiri dan Ketua Yayasan Pendidikan Bina Putra) di Gunungkidul. Saat itu masih belum banyak kendaraan angkutan bis. Sehingga apabila ada bis yang Gunungkidul pasti penuh sesak oleh penumpang. Bis yang di dalamnya Asyhari Marzuqi menumpang pada saat itu sudah tidak muat lagi. Karena banyaknya penumpang, akhirnya belasan orang rela berada di atas atap bis. Asyhari pada waktu itu mendapat tempat duduk persis di samping kiri sopir dan disebelah kirinya ada seorang penumpang yang berdiri.Bis yang penuh sesak oleh penumpang itu melaju menuju Wonosari seperti biasa. Sesampai di tikungan irung petruk (Desa Karangsari kec. Patuk), bis masih terkendali. Tetapi setelah tikungan tajam ke kiri, ternyata bis tidak bisa dikendalikan lagi oleh sopir. Bahaya pun datang mengancam karena 15 meter di depan bis itu adalah jurang yang sangat dalam. Sang sopir yang sudah berusaha membanting stir itu bergumam lirih sekali, “aduh, mati!” Hanya Asyhari yang mendengarnya. Benar!. Bis meluncur deras masuk jurang yang dalam itu. Bis menjungkir dan kepala bis lebih dulu menghantam tanah. Kemudian jatuh ke kanan.

Belasan orang meninggal dalam peristiwa kecelakaan tersebut. Belasan lainnya luka berat. Ada yang patah kaki, tangan, dan sebagainya. Kekuasaan Allah berbicara lain pada Asyhari. Hanya karena pertolongan Allah semata beliau dapat selamat. Tak ada sedikit pun luka menggores kulitnya. Padahal secara matematis, mestinya Asyhari, sopir dan orang yang berdiri itu yang terlebih dahulu terkena kaca dan menabrak bongkahan batu mengingat posisi bis yang jungkir ke bawah. Kehendak Allah, orang yang berdiri di samping Asyhari ngglosor persis di depannya, sehingga posisi Asyhari terhalang oleh orang itu dari pecahan kaca dan benturan batu. Asyhari selamat. Bahkan tidak mengalami pingsan, tidak ada luka. Ia kembali ke Yogya dengan selamat. Tetapi dua hari setelah kejadian itu, seluruh tubuhnya terasa sakit tak terkira.

Asyhari Marzuqi berangkat ke Timur Tengah dengan negara tujuan Iraq. Orang-orang seperti KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (mantan Presiden RI), KH. Irfan Zidni (sekarang PBNU) dan yang lainnya sudah berada di sana terlebih dahulu. Beliau berkeinginan untuk menemui mereka. Dengan membawa nama Bapak Mahfudz Ridwan dari Salatiga beliau menemui mereka.

Kedatangan Asyhari Marzuqi di negeri seribu satu malam disambut dengan hangat oleh para mahasiswa yang sudah terlebih dahulu datang. Bahkan Irfan Zidni ikut membantu mencarikannya beasiswa. Ternyata di Iraq tidak ada beasiswa S2 untuk program Syari’ah. “Pupus harapanku untuk melanjutkan S2,” kata hatinya. Namun di sana ada satu kelompok pengajian yang berdiri sejak muridnya Imam Abu Hanifah (sekitar tahun 400-an Hijriyah). Lembaga ini dipelihara dan dikelola dengan baik sekali.

Di lembaga yang bernama “Kulliyatul Imam al-A’zhom” itulah yang akhirnnya H. Asyhari Marzuqi kembali memperdalam pengetahuannya. Waktu itu beliau mendapatkan beasiswa sebesar 15 Dinar perbulan. 1 Dinar sama dengan US $ 3 waktu itu. Beasiswa tersebut cukup untuk bekal hidup dan sedikit membeli buku. Beasiswa itu diterimanya sampai tahun ke-5 berada di Iraq.

Teman-teman belajarnya di Kulliyatul Imam al-A’zhom adalah para khatib dan alim ulama dari negara-negara Timur Tengah. Yang paling banyak datang dari Kurdistan. Mereka ini walaupun sudah menjadi khatib namun belum mempunyai ijazah. Sehingga tidak heran ketika para dosen di tempat itu justru memanggil kawan-kawan Asyhari Marzuqi dengan panggilan “ustadz” karena memang umurnya lebih tua.

Orang-orang Kurdistan ini rata-rata mempunyai daya hafal yang luar biasa. Sehingga Asyhari Marzuqi tidak kaget apabila kitab-kitab seperti Alfiyah, Shohih Bukhori dan Muslim mereka hafal semua. Namun, Alhamdulillah H. Asyhari Marzuqi saat itu masih dapat rangking 3. Prestasi itu membuat H. Asyhari Marzuqi mendapatkan ucapan selamat (penghargaan) dari Menteri Penerangan RI.

Lima tahun setelah mendapatkan beasiswa, H. Asyhari Marzuqi bekerja di Kedutaan Besar RI di Iraq. Dubesnya saat itu adalah Malik Kuswadi orang Jakarta. Tugas H. Asyhari Marzuqi di Kedutaan besar itu pada awalnya adalah menterjemah surat kabar Arab ke dalam bahasa Indonesia. Sehari beliau terkadang bisa menyelesaikan 3 sampai 4 surat kabar.

Keinginan H. Asyhari Marzuqi untuk S2 masih tinggi. H. Asyhari Marzuqi berusaha mencari beasiswa ke Kairo tapi selalu gagal. Akhirnya H. Asyhari Marzuqi mengambil S2 untuk program kuliah jarak jauh (kalau di Indonesia semacam UT) yang ada di Kairo Mesir (Afrika) yaitu di “al-Dirasah al-Islamiyah” dengan biaya pada waktu itu sebesar US $115. Ketika akan mengikuti ujian masuk program itulah (tahun 1978) H. Asyhari Marzuqi mendapatkan telegram dari rumah yang isinya “disuruh pulang”. Beliau pulang dengan meninggalkan ujian.

H. Asyhari Marzuqi pulang ke Indonesia dengan selamat. Sesampai di rumah, oleh Mbah Marzuqi, beliau disuruh untuk memilih calon pendamping hidup. Calon yang disodorkan kepadanya adalah seorang gadis dari Watucongol Muntilan dan seorang putri mBah Kiai pengasuh pondok Somolangu Kebumen. Pilihannya jatuh pada putri mBah Kiai dari Kabumen. Kemudian beliau datang ke Pondok Somolangu di Kebumen. Sesampainya di sana, H. Asyhari Marzuqi disambut dengan luar biasa oleh mBah Kiai. Namun ketika H. Asyhari Marzuqi akan khitbah pada putrinya, beliau dihalang-halangi (tidak diperbolehkan) oleh kakak iparnya (menantu mBah Kiai) padahal sang putri yang mondok di Solo itu sudah ada di rumah karena disuruh pulang untuk acara tersebut. Ketidakbolehan itu karena sang kakak sudah punya calon untuk adiknya yaitu orang dari Jakarta yang kaya.
H. Asyhari Marzuqi pulang ke rumah dengan hati yang masygul. Oleh pak Nurhadi (Tlenggongan Imogiri) beliau disarankan ke Ngrukem Bantul. H. Nurhadi memberinya selembar foto Ibu Nyai Hj. Barokah. Melihat foto itu H. Asyhari Marzuqi langsung setuju. Setelah semuanya diatur, 4 hari berikutnya H. Asyhari Marzuqi menikah dengan Ibu Nyai Hj. Barokah putri dari mBah Kiai Nawawi Abdul Aziz Ngrukem Bantul. Dua hari setelah menikah, H. Asyhari Marzuqi mengantarkan ibu (Hj. Barokah) ke pondoknya di Kediri. Dan dua hari setelah mengantarkan itu, H. Asyhari Marzuqi kembali ke Iraq dan menjalankan aktivitas seperti biasanya.

Delapan bulan setelah menikah, pada tahun 1979, ibu Nyai Hj. Barokah menyusul ke Iraq. Saat itu keinginan H. Asyhari Marzuqi untuk S2 sudah mulai melemah karena selalu gagal mendapatkan beasiswa. Kekecewaan ini akhirnya H. Asyhari Marzuqi lampiaskan dengan membeli kitab-kitab. Pelampiasan ini kemudian menjadi suatu hobi tersendiri bagi H. Asyhari Marzuqi. Sehingga setiap saat ada uang dan kesempatan langsung ia membeli kitab.

Sampai H. Asyhari Marzuqi kembali ke Indonesia pada tahun 1985 ada sekitar 1015 judul kitab dan buku yang telah H. Asyhari Marzuqi beli. Untuk mengirimkan ke rumah di Giriloyo, H. Asyhari Marzuqi titipkan sebagian kitab-kitab itu kepada para diplomat pada waktu mereka kembali ke Indonesia. Karena mereka punya jatah barang bawaan yang banyak di pesawat. Sebagian yang lain buku-buku itu dikirim lewat jasa Pos. Tetapi tidak semua kitab-kitab yang dikirimkan, baik yang dititipkan maupun lewat pos itu sampai ke tempat tujuan di Giriloyo dengan utuh. Kitab-kitab itu banyak yang hilang dan beliau tidak tahu di mana hilangnya.

Pembelian kitab-kitab itu ternyata memberikan pengaruh (atsar) yang besar sekali terhadap hari-hari H. Asyhari Marzuqi selanjutnya. Beliau tidak bisa membayangkan seandainya uang yang diperoleh dari pekerjaannya dahulu itu tidak dibelikan kitab, mungkin beliau tidak memiliki tinggalan (kenangan) pada generasinya nanti. “Seandainya pada saat itu gaji yang diperoleh disimpan dalam bentuk uang mungkin sudah habis sejak dahulu,” kata beliau.

Mengasuh PPNU
Pada tahun 1982, H. Asyhari Marzuqi mendapat telegram dari rumah yang isinya Mbah Marzuqi telah membeli tanah (sekarang menjadi bangunan ndalem) dan mendapat tanah wakaf dari pak H. Anwar untuk didirikan bangunan pondok (Lihat BAB I). H. Asyhari Marzuqi diminta pulang untuk membicarakan masalah Pondok.
Tahun 1985 H. Asyhari Marzuqi meniggalkan negeri Syaikh Abdul Qadir Jilani itu untuk kembali ke tanah kelahiran. H. Asyhari Marzuqi pulang bersama dengan ibu Nyai Hj. Barokah. Kemudian pada tahun 1986 tepatnya pada bulan Ramadlan di pondok Nurul Ummah mulai diadakan pengajian. Saat itu ada 27 santri, yang terdiri dari 25 santri putra dan 2 santri putri.

Pandangan Hidup dan Mauidzah
H. Asyhari Marzuqi selalu berusaha menanamkan rasa pengabdian dan kecintaan, dalam rangka mempersiapkan akhirat. Tuntunan atau pandangan itu terilhami oleh konsep “Addunya Mazro’atul akhirah” : bahwa dunia itu hanya sekedar sarana untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Dunia itu fana, tidak kekal, sehingga dengan ketidakkekalannya itu harus dipergunakan dengan maksimal agar bisa mencapai kebahagiaan akhirat yang kekal. Oleh karena itulah dunia ini dinamakan dar at-taklif yaitu tempat mengemban amanat, mengemban tugas-tugas dari Allah Swt. Karena kalau sudah di akhirat nanti bukan lagi sebagai dar at-taklif , tetapi sebagai dar al-jaza’ , yaitu suatu tempat untuk menerima upah dan imbalan atas sesuatu yang telah kita lakukan di dunia dahulu.
 
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=17

Rabu, 06 Juli 2011

PLURALISME KONSEPSI DARI LANGIT ?


 
" Saudaraku yang di rahmati Allah...
Suatu saat saya di undang ceramah di sekolah pendalaman kitab suci Bilbika  Jakarta, saya katakan pluralisme itu adalah konsepsi langit, sebagai keniscayaan dari konsep Ilahiyah islam dengan I( besar ) dan Islam dengan I( kecil) agar dikenali manusia. Sudah saya duga sebelumnya pasti melahirkan tanya tanya besar. Karena ketika persoalan ini saya sampaikan dalam diskusi bulanan di masjid Almunawar Ciganjur, dalam topik solawat gus dur juga banyak wacana bermunculan. Tetapi tidak menjadi masalah karena justru membuat diskusi menjadi hidup.
    Harus diakui tidak hanya di tanah air ,kehidupan beragama di dunia ini semakin lama semakin kering,dan cenderung ganas. Banyak masjid di bangun, gereja bermunculan ,vihara dimana mana sinagog juga ada dan klenteng tidak ketinggalan, namun kehidupan yang sesungguhnya diatur oleh Allah untuk menjangkau darus salam (Wallahu darus Salam, Allah mengajak kepada umatnya untuk mencapai darul keselamatan dan kedamaian) justru berjalan berbanding berbalkik.
    Agama dijadikan sebagai komoditas dagangan.maka yang muncul adalah klaim klaim kebenaran,tokoh agama bukannya mengajarkan kedamaian serta konsepsi Kasih, tetapi aroganitas keduniaan. Pemuka agama menjadi pengusaha agama,dan komoditas Surga dan neraka sangat laris di perjual belikan dengan harga tanpa ukuran. Agama mewarnai tanah air ini bukan lagi sebagai keramahan Tuhan, Tetapi berubah sebagai alat legitimasi politik,ekonomi dan kekuasaan,sehingga aromannya menjadi tidak sedap lagi.
Logikannya agama yang tumbuh subur haruslah melahirkan bentuk kasih dan ketentraman. Agama yang demikian besar di peluk oleh rakyat ini seharusnya menjadi cahaya terang dalam setiap sendi kehidupan,yang terjadi justru negeri ini adalah biangnya korupsi.
Korea yang tidak mengenal agama dan membebaskan rakyatnya untuk ttidak beragama toh moral negeranya relatif bagus dibanding nusantara ini. Bahkan Cina yang dianggap sebagai negara komunis,nyaris tidak ada korupsi. Demikian pula Jepang yang tidak ada agama, justru menunjukan gerak birokrasi Iman. Seseorang yang ketahuan korupsi atau berbuat salah langsung menunjukan iktikat baiknya,mundur dari jabatan,karena malu. Dan malu itu adalah bunganya Iman.
Bangsa ini jadi melupakan kehidupan yang sudah menjadi prinsip dan komitmen bersama. Hedonisme,dan pengkafiran terjadi dimana mana . Tindakan tolol dan tafsir agama yang keblinger di gunakan untuk menyihir rakyat ini sehingga yang muncul adalah kekerasan ber aroma kebiadaban agama. Bom ada dimana mana. Merusak dengan atas nama agama jadi biasa,dan negara tidak berdaya menghadapinya .
Gus Dur sering menukil sebuah ayat , yang saya beri label ayat kebangsaan  ; " ya ayuhan nas inna kholaqnakum mindzakari wal untsa waja'alnakum syu'uban wa qoba'ila li ta'arofu,inna akromakum indallah atqokum,wahai  manusia Allah menciptakan manusia dari seorang laki laki dan perempuan dan menjadinnya bersuku suku dan berbangsa bangsa, agar saling berhubungan, saling silaturahmi dan berbagi kasih. Sesungguhnya dimata Allah manusia itu sama yang membedakan adalah taqwanya."
Oleh sebab itu Rosul Muhammad SAW bersabda,; khoirun nas anfa'uhum linassebaik baik manusia adalah yang bermanfaat kepada manusia lain. Kenapa nabi tidak menagatakan yang spesifik misalnya denagan Khoirun nas anfa uhum lil muslim atau lil mukmin ?,karena memang Allah sendiri menggariskan konsepsi pluralisme itu dari langit. dalam sebuah ayat Allah berfirman : Walaqod akromna ala bani adam, dan sungguh Aku mengangkat derajad bani Adam.Disini sangat umum tidak menyebut Agama karena memang semua agama itu adalah agama Allah.Semua agama adalah Islam.terlebih agama Samawi  (Yahudi, Nasrani dan Islam) yang bersumber dari agama Ibrahimiah.

Pluralisme
Sayidina Ibrahim sendiri mengatakan,sesungguhnya hidupku,matiku dan semua amalku hanya untuk Allah,aku adalah yang mula mula orang Islam dan bukan orang musyrik. maka konsepsi Islam itu adalah seseorang yang menyerahkan hidup matinya ,amal dan segala peribadatan semata mata untuk Allah.Kepasrahan kepada Allah itu dia sebut taslim,dan orangnya dia sebut Muslim.Maka konsepsi Islam i ( kecil ) adalah seseorang yang memasrahkan diri kepada Allah, melayani sepenuh hatinya,jiwa dan raganya. Oleh sebab itu  menjadi sangat aneh kalau kemudian sama sama mengaku Ibhrahim sebagai bapaknya orang beriman tetapi saling bermusuhan bukan....?
Harus diakui selama ini masih rancu pemasaham pluralisme dan relatifisme. Padahal kedua faham ini sangat berbeda,dan bahkan tidak senyawa sama sekali.Relatifisme adalah pandangan yang menyebutkan semua agama itu benar.Artinya Islam juga benar ,Kristen katholik juga benar,hindu budha benar dan konghucu benar,tanpa batasan.Akibatnya bisa saja penganut faham ini ,hari ini beribadah dengan cara Islam,besoknya dengan cara kristen dan besoknya lagi dengan cara Hindu atau Budha. 
 Sementara itu faham Pluralisme adalah pandangan yang egaliter. Kebenaran adalah jalan Agamanya,meskipun mengakui jalan keslamatan ada juga di luar agamanya.Makna nya seorang Muslim akan tetap mengatakan yang paling benar adalah Islam.Bahwa agama lain mendapatkan porsi hormat dan toleransi. tidak berarti bisa seenaknya berpindah agama.disinilah jalur tawasul tertap mendapatkan kehormatan.Karena menisbikan sang pembawa agama adalah menisbikan Allah yang mengutusnya.
Saudaraku yang di rahmati Allah,suatu saat rosulullah kedatangan Utusan dari negeri Najasi,setelah beberapa saat berbincang sang tamu memohon ijin untuk beribadah dengan cara agamanya yang kristen.Maka rosulullah mempersilahkan untuk beribadah di rumahnya atau di masjid.Betapa indahnya kedamaian ini.Bukan itu saja rosul membangun pondasi pluralisme itu dengan kokoh. beliau melakukan perjanjian yang disebut piagam madinah dengan 47 pasal.
Salah satu pasal nya adalah orang Islam,dan Yahudi,juga Nasrani serta penganut agama shiobiin dan agama penyembah api sepakat saling melindungi.Kalau salah satu umat  terserang musuh dari luar maka akan dihadapi bersama sama.dengana demikian agama agama yang di datangkan sebagai jalan toreqoh menuju kepada Allah berfungsi benar.Bukan sebagai alat penghukum,tetapi sarana penyemaian rasa kasih dan damai.
Bahkan Musa sendiri suatu saat melihat seseorang yang khusu' berdoa dibawah pohon besar,sang pendo'a mengatakan " Ya Allah sekirannya engkau ada di depanku,niscaya akan aku rapikan kumis Mu akan cukur rambaut Mu dan aku potong kuku Mu atau kalau engkau lelah akan aku pijiti agar aku mendapatkan ridlo dan cinta Mu."
Mendengar doa yang nyleneh ini Sayidina Musa menegus dan melarangnya,namun malaikat Jibril mencegah tindakan Nabi Musa ini.seraya berucap " wahai Musa jangan engkau larang orang itu,karena Allah memahami bahasa dan cara beribadah mereka.bukankah syareatmu belum sampai kepadanya.kenapa engkau marah ?
Isa al Masyih jug a pernah di uji Allah dengan datangnya seorang perempuan Samaria yang mengikutinya kemana pergi dan minta di obati penyakit kustannya. Isya semula menolak . "Aku ini di utus untuk domba Israel,bukan untuk mu " katanya dan di jawab oleh perempuan samaria itu denagan mengatakan wahai Yesus,aku tahu Allah menjadiakanmu Talang.Engkaulah pembawa firman dan kebenaran serta jalan menuju bapa Mu." demi mendengar jawab ini Isya lalu mengatakan baik aku sembuhkan dengan munajad kepada Bapa.tetapi sesungguhnya engkau di sembuhkan oleh Imanmu engkau diselamatkan oleh Imanmu.

Kampung Sawah
Di Tanah air ini sesungguhnya ada embriyo pluralaisme sejak ratusan tahun lalu,sebelum Bungkarno dan kawan kawan menuliskan di bawaha cakar garuda,sesanti " Bhineka tunggal Eka tan hana darma Mangruwa",dikampung sawah sudah ada kehidupan yang plural.Ratusan tahun lalu orang betawi kristen dan katholik berdamai dengan Islam.ada gereja ada masjid,oleh sebab itu saya  dan Arswendo Atmowiloto dan Sony kerah ketika diundang seminar disana,sempat mengusulkan kepada kementrian sosial agar di jadiakan situs internasional.Karena tanpa piagam PBB,tanpa piuagam Ibrahim atau Piagam Madinah saudara kita sudah mengaplikan agama yang bernama Kasih di tanah air.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah sejauh mana kita ini merasuk agama kita. Ada kisah seoarang pelacur yang iba amelihata seekor anjing kehausan,menggunakan sepatunya untuk mengambil air dan dimunkan ke binatang itu,dan dari sinilah Allah ridlo memberikan surga.demikian pula hanya karena menolong anak kucing yang kedinginan,seorang sufi besar Abubakar asy syibli bertemu dengan Allah.sedangkan hujatul Islam Imam Al Ghozali yang membiarkan seekor lalat meminum tinta yang menempel di penannya hingga kenyang,menjadikan asbab wulu illa llah.lalu kenapa kita musti berantem.Kenapa kita saling memusuhi dan menjatuhkan klaim kafir semena mena. Kalau menolong binatang hina saja mendatangkan keridloan Allah apalagi menolong manusia ?
Kita diciptakan Allah memang beda. dan senantiasa berbeda,maka Allah mengutus setiuap bangsa dengan menurunkan Nabi yang berbeda,ajarannya berbeda tetapi subtansinya sama menaukhidkan  Allah alias agama Tauhid.Padahal menurut mbah Zahid Sulang Kemadu,Allah menurunkan 319 .000 dari Nur Muhammad. (bukan Nabi Muhammad). Nah kalau satu agama beda tafsirpun melahirkan sekte yang tidak sama terus bagaimana denagan 319.000 nabi ?
Maka kata yang baik adalah fastabikhul khoirot,mari berlomba lomba dalam berbuat kebajikan,bukan nama agama yang di unggulkan tetap[i kesalehan sosial,sebagai bentuk aplikasi dari siafata sifat Allah.jadilah manusia Rabbani,yang memandang dengan kacamata Ar Rahman.sehingga engkau layak mendapatkan predikat insan Rabbani,insan Kamil.Manusia bersifat ketuhanan.semoga.




DR KH Nuril Arifin HSN.MBA  
1. Ketua Fokhagama (forum keadilan dan hak azasi umat beragama)
2. Ketua DPP Gus Durian
3. Pengasuh beberapa poesantren
4. Wakil ketua umum DPP Gerakan revolusi Nurani.