Selamat

Selamat datang di Santri Gubrak
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis

Senin, 21 Februari 2011

KH. Masdar Farid Mas'udi





Image

Miliki "Trah" Kyai

Masdar lahir dari ibunda Hj. Hasanah, di dusun Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto, tahun 1954. Ayahandanya, Mas’udi bin Abdurrahman, adalah seorang kyai masyarakat melalui kegiatan ta’lim dari kampung ke kampung. Sampai dengan kakeknya, Kyai Abdurrahman, Jombor dikenal dengan pesantren salafnya yang telah dirintis oleh moyangnya, Mbah Abdussomad yang makamnya sampai sekarang masih selalu diziarahi oleh masyarakat Islam Banyumas.
Tamat sekolah Dasar yang diselesaikannya selama 5 tahun, Masdar langsung dikirim ayahnya ke Pesantren salaf di Tegalrejo, Magelang, di bawah asuhan Mbah Kyai Khudlori. Tiga tahun di Tegalrejo, Masdar telah menamatkan dan menghafalkan Alfiyah Ibnu Aqil. Selanjutnya pindah ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta berguru kepada Mbah Kyai Ali Maksoem, Rois Am PBNU tahun 1988 - 1999. Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan pendidikan setara dengan klas 3 Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung diterima di kelas 3 Aliyah. 

Tahun 1970, selesai Aliyah, Masdar dinasehati oleh Mbah Ali untuk tidak langsung ke IAIN, melainkan untuk ngajar dan menjadi asisten pribadi Kyai terutama dalam tugas-tugas beliau sebagai dosen luar biasa IAIN Sunan Kalijaga. “Saya sering ditugasi oleh beliau untuk membacakan skripsi calon-calon sarjana IAIN dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk diujikan”, katanya. Dalam kapasitasnya sebagai aspri inilah Masdar memperoleh kesempatan langka untuk memanfaatkan perpustakaan pribadi Mbah Ali yang berisi kitab-kitab pilihan baik yang salaf (klasik) maupun yang kholaf (modern). 

Tahun 1972, sambil tetap tinggal dan mengajar di Pesantren Krapyak, Masdar melanjutkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, jurusan Tafsir-Hadits. Di masjid Jami’ IAIN, Masdar sempat menggelar tradisi baru pengajian kitab kuning dengan mem-balah (mengajar) Alfiyah untuk  kalangan mahasiswa.

Berbagai seminar ilmiyah telah diikutinya sebagai pembicara mewakili sudut pandang Islam, baik dalam maupun luar negeri. Antara lain, di Manila dan Mindanau (Philipina) di Kuala Lumpur (Malaysia), di Singapura, di Kairo (Mesir), Sidney (Australia), Belanda dan Denmark. Pernah mengadakan kunjungan di pusat-psat keagamaan di Amerika selama 5 pekan, tahun 1986.

Berbagai karya ilmiyah berupa makalah, artikel dan juga buku telah berhasil diterbitkan. Yang utama, berupa buku utuh, bukan kumpulan karangan adalah: 1) AGAMA KEADILAN; Risalah Zakat / Pajak dalam Islam; 2) Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan. Yang terakhir ini, pada tahun 2002, bahkan telah diterbitkan dalam versi Inggris berjudul  “Islam & Women’s Reproductive Rights” oleh Penerbit Sisters in Islam, Kuala Lumpur, Malysia.

Kiprah Pemikiran
Yang paling menonjol dari Masdar F Mas’udi adalah kiprahnya di bidang pemikiran keagaman yang sering kali dianggap mengagetkan. Secara garis besar pemikiran Masdar ini dapat diidentifikasi dalam sebuah kerangka paradigmatik yang disebutnya Islam al-Islam at-Taharruriy. Dari sudut visi dan akar keprihatinannya, Islam Taharruri ini memiliki karakter yang berbeda dengan kedua gerakan yang kini banyak dibicarakan orang, yakni Islam Liberal (Islib) maupun antitesanya Islam Fundamentalis (Isfund). Bahkan Islam Taharruri ini bisa dikatakan kritik terhadap kedua wacana atau gerakan Islam tersebut.

Sebagaimana diketahui Islib maupun Isfund mengambil fokus utamanya pada issu polarisasi Islam dan Barat. Islib seolah menyuarakan aspirasi dan nilai-nilai Barat ke dalam Islam dengan menempatkan akal di atas segalanya, sementara Isfund justru hendak meneguhkan identitas Islam untuk melawan Barat dengan kecenderungan mencurigai akal dalam segalanya. Maka pertengkaran antara keduanya pun banyak terjebak  pada issu-issu simbolik yang mewakili benturan antara dua sudut pandang tersebut. Misalnya seperti jilbab, kawin campur, aurat, jenggot, gamis, dan issu-issu syariat lain yang mencerminkan perebutan identitas (syi’ar) Islam vs Barat.

Islam Taharruri, di lain pihak, ingin mengundang perhatian pada persoalan-persoalan riil keumatan - kerakyatan yang secara akut menghimpit lapisan besar masyarakat yang terpinggirkan, baik secara ekonomi, politik maupun budaya. Maka agenda yang diusung  pun berbeda, yakni: pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan yang merata dan murah,  jaminan kesehatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak, pemberantasan korupsi serta penegakan hukum dan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government) yang memihak rakyat. Kata kuncinya adalah kemashlahatan orang banyak (mashalih arraiyah). 

Bagi Masdar, Islam datang ke bumi bukanlah untuk kepentingan Allah (yang maha Kaya) maupun ajaran Islam itu sendiri (yang sudah sempurna). Islam adalah rahmat Allah bagi umat manusia untuk kemuliaan martabat manusia sendiri secara lahir-batin, jasmani-ruhani, personal-sosial. Oleh sebab itu, keberislaman, harus dibangun melalui empat tahap pembebasan: pertama  adalah kepedulian yang mendalam terhadap problem kemanusiaan; kedua, mendefinisikan akar problem kemanusian itu secara kritis; ketiga, merumuskan kerangka perubahan (transformasi); dan keempat, langkah-langkah praksis amaliyah pembebasan itu sendiri. Dalam keseluruhan empat langkah keberislaman itu, Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, merupakan sumber inspirasi, motivasi dan petunjuk (guidence/ al-huda) yang tidak pernah kering. “Tanpa kerangka keberislaman seperti itu, rasanya sulit Islam bisa menjadi motor perubahan yang mempu membawa umat manusia keluar dari tata kehidupan yang semakin disesaki dengan kezaliman sekarang ini”, katanya.

Sejumlah gagasan orisinal (nyleneh?) telah muncul dari pikiran Masdar yang secara paradigmatik memang bertolak dari kepedulian mendalam terhadap problem-problem kemanusiaan dimaksud. Yang paling diseriusi adalah penafsirannya kembali atas ajaran  ZAKAT yang tertuang dalam bukunya (1991) setebal 250-an halaman. Bertolak dari problem ketidakadilan menyeluruh yang diawali dari ketidakadilan ekonomi, Masdar berpendapat bahwa lebih dari sekedar ajaran sedekah karitatif yang tidak berdampak, zakat pada dasarnya adalah konsep etika sosial dan politik kenegaraan untuk keadilan. Pada tataran praktis, zakat adalah konsep perpajakan (akhdzu) dan pembelanjaan (tasharruf) yang ada pada kewenangan negara/pemerintah untuk redistribusi pendapatan agar supaya kesejahteraan tidak hanya berputar-putar di tangan orang-orang kaya saja. Kaila yakuuna dulatan bainal aghniya-a minkum (al-Hasyr: 9). Ashanaf delapan, menurut Masdar, adalah acuan etik penyusunan anggaran belanja negara, di pusat maupun daerah,  dengan pemihakan yang begitu jelas dan terukur kepada kepentingan masyaralat luas, terutama yang lemah.

Menyusul kemudian, konsepnya yang tidak kalah kontroversial tentang “peninjauan kembali waktu pelaksaaan ibadah haji”. Titik tolaknya adalah keprihatinan yang mendalam atas terjadinya tragedi kemanusiaan Muaishim tahun 1992 dengan korban lebih dari 2000 jemaah yang mati mengenaskan karena terinjak-injak. Musibah itu dari tahun ke tahun sampai sekarang masih saja terjadi, akibat terbatasnya ruang (space) pelaksanaan ibadah haji yang semakin tidak seimbang dengan jumlah jemaah yang terus meningkat sampai 2 juta lebih. Untuk ini, Masdar menawarkan wacana, bagaimana kalau umat Islam kembali kepada ketentuan waktu pelaksanaan ibadah haji yang secara jelas (sharih) disediakan al-Qur’an, Al-hajju asyhurun ma’luumat/bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum (Al-Baqarah: 192). Yakni: Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah. “Dengan kembali kepada ayat ini, maka 10 juta jemaah haji/tahun pun tidak perlu ada kesulitan”, katanya sambil meyakinkan bahwa dengan pertumbuhan jumlah umat Islam dan kesejahteraannya di seluruh dunia jemaah haji pasti akan terus berlipat ganda jumlahnya di tahun-tahun mendatang.

Dalam hal ini Masdar menolak anggapan telah mengabaikan hadits Nabi yang mengatakan, Al-hajju arafah (Puncak haji itu wuquf di Arafah) maupun hadits Khudzu ‘anni manasikakum (Ikuti aku tatacara hajimu). Menurutnya, hadits itu harus diamalkan tapi tidak boleh  menganulir (ilgha) ayat Al-Baqarah: 192 yang begitu sharih dan jelas lebih tinggi kedudukannya. Caranya, ayat dan hadits-hadits tadi harus diacu sesuai dengan kapasitas masing-masing: Ayat “al-hajju asyhurun ma’lumat” diacu untuk patokan waktu, dalam arti hari-harinya;  Hadits “al-hajju ‘arafah” diacu untuk tempat, bukan hari wuquf, dan hadits “khudzu anni manasikakum” diacu untuk tatacara, urut-urutan manasik dan waktu jam-jamnya.

Gagasan-gagasan nyleneh (orisinal ?) ini bagi Masdar sendiri ibarat pisau bermata dua: Di satu pihak membuat kalangan kyai sepuh NU waswas karena pikiran-pikiran itu terasa terlalu maju. Di lain pihak, membuat orang-orang diluar NU justru harus meninjau kembali tuduhan stereotipe mereka bahwa NU hanyalah himpunan orang-orang jumud dan beku. Gagasan-gagasan seperti dilontarkan Masdar dan seniornya seperti Gus Dur dan Gus Mus, bahkan Kyai Sahal, justru membuktikan sebaliknya. Kebekuan yang mendera dunia pemikiran Islam selama ini tampaknya justru akan dicairkan oleh NU sendiri. Untuk ini Masdar berpegang pada garis  Rasulullah saw, bahwa berbagai pamahaman boleh dikembangkan untuk memenuhi kemaslahatan manusia, asal jangan sampai menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang dihalakan: Al muslimuuna ala syuruthihim, illa syarthan ahalla haraman aw harrama halalan” (al-Hadits).

Tentang gagasan-gagasannya yang nyleneh itu, Masdar berujar, bahwa pada akhirnya terserah para ulama, khususnya di lembaga Syuriah NU dan umat sendiri untuk menilai. “Sebagai warga NU saya sepenuhnya pasrah kepada para ulama, sami’na wa atha’na. Jika dianggap lebih bermaslahat dan tidak bertentangan dengan nash, alhamdulillah. Tapi jika dibuktikan sebaliknya, dengan ikhlas dan bersyukur kepada Allah, saya juga siap melepaskan  pendapat saya, dan menyatakan taubat”, ujarnya sungguh-sungguh. Sejauh ini memang belum ada keputusan resmi ulama-ulama dalam Syuriah NU atas pendapat Masdar tersebut. “Dengan hati terbuka, saya siap menerima fatwa Syuriah”, ujarnya. 

Ke-NU-an dan Ke-Indonesia-an:
Masdar berpendapat, bahwa “Almuslimuun al-Indonesiyyun kulluhum nahdliyyun, illa man aba/ Semua orang Islam Indoensia adalah NU, kecuali yang menolak”. Dalam pada itu, dalam pikiran Masdar, NU adalah inti Indonesia. Bukan saja kerana NU merupakan wadah untuk bagian terbesar umat Islam Indonesia. Akan tetapi dalam NU juga ada ke-Indonesia-an yang menyatu dengan jiwa ke-Islam-an. Singkatnya, NU adalah Islam Indonesia.

Ibarat kereta, katanya, Indonesia adalah kereta dengan 10 gerbong penumpangnya. Sembilan gerbong diantaranya gerbong umat Islam, dan 6 bahkan 7 diantaranya adalah gerbong NU. Tesis ini memastikan, bahwa tidak ada Indonesia yang maju, tanpa umat Islam ikut maju; dan tidak ada umat Islam maju, kalau NU ditinggalkan di belakang. Kenapa setelah lebih 30 tahun Orde Baru membangun Indonesia tetap tertinggal dari negara-negara tetangga? Jawab Masdar tegas, “Karena Orde Baru sengaja meminggirkan NU dan menempatkan NU tertingal di belakang!” 

Sementara itu, bagaimana pun Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, harus menjadi negara maju, bermartabat dan terhormat dimata dunia. Keharusan itu, menurut Masdar, hanya bisa dicapai kalau Indonesia berhasil membangun dirinya sebagai negara kebanggan dunia Islam di abad 21 modern ini. Inilah tantangan sejarah dan peradaban yang sungguh berat dan mulia bagi seluruh bangsa Indonesia, umat Islam, dan kaum Nahdliyin  khususnya.

Di dunia ini, kata Masdar, masing-masing umat agama dunia sudah memiliki negara kebanggan. Barat Eropa dan Amerika adalah kebanggaan umat Injil; Israel dengan segala cara ingin menjadi negara model bagi umat Taurat; Jepang dan Thailand, boleh diaku sebagai negara kebanggan umat Budha; dan China tengah tumbuh menjadi kebanggan umat Konghucu. India kebanggaan umat Hindu. Tapi, mana negara kebanggaan umat Islam?

Ka’bah dan ibadah haji biar tetap di Makah dan makam Nabi tetap di Madinah. Akan tetapi Indonesia adalah yang paling layak menjadi negara model dan kebanggan dunia Islam di abad modern ini karena beberapa alasan yang tidak dimiliki oleh negara-negara Islam lainnya: Pertama, sumberdaya alamnya yang luar biasa kaya; Kedua, letak strategis wilayahnya yang mempertemukan dan sekaligus menjadi gerbang masuk keluar lalu lintas berbagai benua. Ketiga, kematangan demokrasi dan pluralismenya; Keempat umat Islamnya terbesar di dunia; Kelima, Islam Indonesia adalah Islam yang memiliki kesetiaan tinggi pada tradisi sekaligus mampu melakukan penyesuaian dinamis dan kritis dengan modernitas. NU adalah inilah inti Islam Indonesia!

Mewujudkaan Indonesia sebagai negara kebanggan dunia Islam inilah letak tanggungjawab besar umat Islam Indonesia dan NU terutama. Tanggungjawab ini hanya bisa diwujudkan, bukan terutama dengan aktif memperebutkan kekusaan dengan menjaul murah umatnya, khususnya pada musim-musim politik. Tapi dengan memajukan tingkat keterdidikan, kecerdasan dan kesejahteraan umat dan bangsanya.

Untuk itu, bagi Masdar, NU harus kembali dan istiqomah pada cita-cita awal dan sekaligus jatidirinya, yakni sebagai wadah keulamaan untuk memuliakan Islam dan umat manusia. Dan inti keulamaan sebagai essensi ke-NU-an, katanya, adalah wawasan keilmuan dan moralitas dalam amal perhidmatan nyata yang berkualitas untuk umat dan bangsanya. Inilah amanat suci para pendiri NU (Mbah Hasyim, Mbah Wahab dan Mbah Bisri, dll) yang tidak akan pernah mendapatkan prioritas semestinya, selagi para pemimpin NU terdiri dari para politisi yang hanya peduli untuk menyapa warganya hanya untuk mobilisasi dukungan politik belaka.

Pengalaman Organisasi
Pengalaman organisasi Masdar F Masudi diawali ketika tahun 1972 dipilih sebagai ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Krapyak, Yogyakarta, sampai dengan 1974. Selanjutnya pada tahun 1976 terpilih sebagai Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sampai dengan 1978. Sebagai aktivis mahasiswa, Masdar pernah ditahan oleh Penguasa Orde Baru bersama 9 tokoh aktivis mahasiswa lainnya di markas Pomdam Jawa Tengah, Semarang selama 5 bulan lebih. Penahanan  tanpa peradilan itu dilakukan karena ‘dosa’ memimpin demo anti korupsi menjelang Sidang Umum MPR 1978. Tahun 1982, setalah hijrah di Jakarta, Masdar dipilih sebagai Ketua I Pengurus Besar PMII periode 1982 – 1987 mendampingi Muhyidin Arubusman sebagai Ketua Umum.

Selesai kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta dan bekerja untuk Lembaga Missi Islam NU sambil menjadi wartawan di beberapa mass media ibu kota. Tahun 1985, sehabis muktamar Situbondo, bersama dengan K. Irfan Zidni, Masdar ditunjuk sebagai asisten Ketua Umum (Gus Dur) dan Rois Am dibidang Pengembangan Pemikiran Keagamaan.

Sebagai kordinator program P3M ( Prhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Masdar sempat menerbitkan Jurnal PESANTREN, yang pertama dan satu-satunya  jurnal ilmiah Islam yang terbit antara tahun 1984 – 1990. Di lain pihak, didukung oleh Rabitah Ma’ahid Islami (RMI) dibawah duet kepemimpinan (alm) KH. Imran Hamzah dan (alm) KH. Wahid Zaini, Masdar merintis berbagai kegiatan kajian khazanah keislaman Salaf melalui berbagai halaqah. Dimulai dari halqah Watucongol tahun 1989 dengan tema “Memahami Kitab Kuning secara Kontekstual”, kegiatan itu terus bergulir di berbagai daerah dengan keikut sertaan para kyai baik yang sepuh maupun yang muda-muda. Salah satau diantara out putnya yang monumental adalah rumusan Metode Pengambilan Hukum yang menjadi keputusan Munas NU Lampung 1992.

Sejak 8 tahun terakhir Masdar F Mas’udi, yang sempat kuliah Program Filsafat di S-2  ini, juga membina pesantren di daerah Sukabumi, persisnya pesantren Al-Bayan, di kampung Cikiwul, Pancoran Mas, Cibadak, Sukabumi. Dengan program pendidikan formal utamanya SMA, sudah tiga angkatan diluluskan dengan prestasi akademikin yang unggul sesuai dengan namanya. Yakni rata-rata 95 persen lulusannya diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik. Mulai tahun 2004 merintis cabang di Depok, Bogor, dengan program yang sama.

Kini selain sebagai Katib Syuriah PBNU, Masdar F Mas’udi aktif di : P3M sebagai direktur ; di Komisi Ombudsman Nasional; dan di Dewan Etik ICW (Indonesian Corruption Wacth). (posted from Ahmad Kosasi Marzuki
 
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=210&Itemid=71

Bersikap Adil Terhadap Musuh Menurut Al Quran






Image
Inshaf Al Khashm Fi Al Quran

"Adil kepada musuh berarti Anda memberi kebebasan berbicara kepadanya dan mengakui keistemewan yang dimilikinya"

Kajian tentang Al Quran serta kandungan ajarannya tampaknya tidak akan pernah selesai dan akan berlanjut sepanjang zaman. Keajaibannya akan senantiasa muncul kepermukaan bagaikan mata air yang tidak pernah kering dan akan selalu menjadi inspirasi kehidupan ummat Islam. Al Quran akan selalu hadir dalam kehidupan yang sarat dengan berbagai persoalan hidup yang dialami oleh umat Islam. Di sinilah letak salah satu keunikan Al Quran itu dan dari sini kita dapat memahami mengapa orang yang mempercayainya tidak akan pernah meragukan validitas ajarannya dan menganggapnya sebagai kebenaran mutlak dan final meski dipihak lain orang yang meragukan dan tidak mempercayainya selalu berupaya untuk meruntuhkan kebenaran Al Quran baik dengan cara halus atau kasar, dibungkus dengan metode ilmiah yang mengandung distorsi atau bahkan hanya dengan hujatan, tanpa mengandung ilmiah yang layak dalam kajian akademis.

Sebagai tuntunan hidup, Al Quran akan mewarnai kehidupan umat Islam baik dalam hubungan mereka dengan Allah atau sesama manusia, antara sesama muslim bahkan dengan orang kafir yang tidak seiman dengan mereka, dengan kawan atau musuh sekalipun. Salah satu ajaran Al Quran itu adalah bersikap adil kepada musuh yang ditulis oleh Dr. Abdul Halim Hifni, seorang ulama kontemporer dari Mesir. Karya ini mengungkapkan kepada kita bahwa Al Quran adalah kitab yang paling adil bahkan terhadap musuhnya sekalipun.

Karya yang hadir kehadapan para pembaca ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan sang pengarang yang melihat masih banyak umat Islam yang belum memiliki wawasan keagamaan yang luas mengenai perlunya kita bersikap adil terhadap musuh dan mengakui hak-hak mereka baik ketika kita berdialog maupun setelah berdialog dengan mereka dan tidak menghasilkan manfaat yang kita harapkan. Al Quran bukanlah seperangkat hukum-hukum yang keras dan mengakui hak-hak orang beriman saja tetapi tetapi ia juga mengakui hak-hak musuh mereka, orang kafir, secara seimbang. Di antara hak-hak tersebut menurut pengarang adalah hak kebebasan akidah (agama), hak kebebasan untuk berpendapat, dan hak untuk memperoleh perlindungan  dan jaminan keamanan. Hak-hak ini didasarkan pada firman Allah : ”Jika salah seorang musyrikin itu meminta perlindungan pada kalian, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarlah ke tempat yang aman baginya. (menjamin keamanan mereka)". Q.S. At -Taubah : 6. Hlm. 7.

Topik kajian kitab ini terfokus pada salah satu hak-hak di atas, yakni hak musuh yang harus diberikan saat permusuhan sedang berlangsung. Permusuhan yang dimaksud adalah permusuhan dalam bidang pendapat dan permusuhan dalam sikap. Kita bisa saja berlawanan pendapat dengan sahabat, bahkan dengan orang yang paling dekat sekalipun dengan kita tetapi perbedaan pendapat itu tidak merusak persahabatan dan kasih sayang. Akan tetapi permusuhan dalam sikap seringkali berubah menjadi peemusuhan pribadi dimana subsatansi permusuhan itu berasal dari hubungan yang buruk antara kedua belah pihak. Perbedaan pendapat akan bisa berakhir bila salah satu  pihak mengakui kebenaran pendapat lawannya, sedangkan permusuhan dalam sikap bisa berlanjut dan tidak ada kesudahannya dan menjadi dendam pribadi abadi. Hlm. 8.

Menurut Abdul Halim Hifni, Syariat Islam menuntut kita untuk berbuat adil dalam segala hal dan adil dengan semua orang dengan memberikan hak masing-masing sesuai dengan haknya. Diri kita memiliki hak yang harus diberikan kepadanya. Kerabat, tetangga memiliki hak atas diri kita demikian pula masyarakat. Memberi hak kepada orang yang harus menerimanya adalah wajib dan tidak memberikannya adalah satu kezaliman. Bersikap adil kepada musuh  adalah satu kewajiban. Sesuai dengan firman Allah : "Dan Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berbuat tidak adil. Bersikap adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa". Q.S Al-Maidah : 8. Hlm. 8.

Al Quran memang benar-benar konsisten menunjukan keadilan yang dimilikinya, perintah berbuat adil terhadap musuh dalam QS. Al-Maidah ayat 8 di atas dapat kita lihat diberbagi surat dan ayat Al Quran. Sang penulis mengajak kita untuk menjelajah ke dalam samudra Al Quran, mengungkap satu demi satu fakta, peristiwa dan kisah-kisah dalam Al Quran bagaikan rangkaian fakta yang tak terbantah bagi kita bahwa Al Quran adalah kitab suci yang paling adil dalam memperlakukan musuh-musuhnya.

Al Quran banyak menceritakan tentang ummat manusia yang hidup di masa lalu dan pernah ada dalam pentas sejarah manusia baik mereka sebagai individu maupun komunitas bahkan sebagai bangsa dan sebagian besar dari mereka adalah musuh-musuh Allah dan Rasul-rasul-Nya. Betapapun keras dan murkanya Allah kepada musuh-musuh-Nya akan tetapi Allah tidak menafikan keistimewaan yang dimiliki oleh mereka, bahkan mengungkapkannya dengan jelas. Ratu Saba, Balqis, dan kaumnya adalah salah satu musuh Allah, mereka menyembah matahari akan tetapi Allah tidak menyembunyikan kecerdasannya dan keistimewaan Ratu Saba dalam bidang politik pemerintahan. Ia  seorang ratu yang menjalankan prinsip syura dan barangkali Al Quran ingin memberikan model pemerintahan yang baik bagi para pemimpin pemerintahan. Meskipun Ia seorang pemimpin musyrik dan ratu yang absolut, Ia tidak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan, akan tetapi ia menjalankan syura  dalam mengambil keputusan politiknya. Hal ini tampak ketika Ia merespon surat yang datang dari Nabi Sulaiman yang memintanya untuk tunduk dan menyerahkan diri. Balqis menyampaikan isi surat itu apa adanya dihadapan para pembesar kerajaannya. Di sinilah letak amanahnya yang dipuji oleh Allah. Ia bisa saja menyampaikan dengan cara yang tidak jujur sesuai dengan kepentingannya, karena seorang Ratu yang absolut pasti akan tersinggung dan marah ketika menerima surat yang memintanya untuk menyerahkan diri begitu saja. Surat itu kemudian disampaikan dan dibahas dalam majlis syura  dengan pembesar-pembesarnya dan prinsip syura ini tampaknya sudah menjadi model pemerintahannya dan ia memutuskan persoalan berdasarkan keputusan hasil syura, hal ini tampak dari ucapannya yang direkam oleh Al Quran : 'Wahai para pembesar, berikanlah aku pertimbangan dalam perkaraku ini. Aku tidak pernah memutuskan sesuatu perkara sebelum kamu hadir dalam majlisku. Q.S. An Naml : 32.  Dengan kata lain ia seorang ratu yang mengikuti hasil syura. Inilah kelebihan siasat politiknya.

Para pembesar Balqis juga memiliki keistimewaan, mereka bukan pejabat yang asal menyenangkan ratu mereka saja akan tetapi mereka menyampaikan pendapat dengan bebas dan berbeda dengan keinginan tersirat Balqis yang ingin berdamai. Al Quran merekamnya dengan akurat dan jujur ; "kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa, tetapi keputusan ada ditanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau pertimbangkan. Q.S. An Naml : 33.  Sikap mereka ini tampak menggabungkan kepatuhan meski berbeda pendapat. Suatu sikap yang sangat arif dan bijak.

Al Quran  juga mengungkapkan ketepatan pendapat dan kecerdasan Ratu Saba, meski pembesarnya mengisyaratkan perang, ia menyampaikan pendapatnya : "Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina dan demikianlah yang mereka perbuat. Q.S. An Naml : 34.

Siasat Ratu Bulqis yang mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman sebenarnya ingin mengetahui apakah ia seorang nabi atau ia seorang raja yang ingin kekuasaan dan harta' sekaligus upaya cerdasnya untuk mengetahui tingkat kekuatan musuhnya. Dan setelah tahu respon Sulaiman yang menolak hadiah dari laporan kunjungan delegasinya  ia memilih menyerah dan masuk Islam, ia lebih mempertimbangkan keselamatan bangsanya dari pada kepentingan dirinya. Hlm .56-72.

Dr. Abdul Halim Hifni mengungkap lagi suatu kisah yang disebut dalam Al Quran, raja kafir yang memerintah Mesir dan sikap adilnya terhadap Yusuf A.S. Yusuf yang dipenjara karena persekongkolan para pejabat istana dimana istri mereka telah terpedaya oleh ketampanan Yusuf A.S. Mereka tahu Yusuf tidak bersalah tapi demi mengamankan istri-istri mereka dari fitnah ketampanan Yusuf, mereka memenjarakannya. Sang raja Mesir akhirnya mejadikan Yusuf sebagai menteri kepercayaan untuk mengurus logistik Mesir karena Yusuf menakwilkan mimpi sang raja dan  dia sendirilah yang melakukan penyelidikan mengapa Yusuf dipenjara dan membuktikan bahwa Yusuf tidak bersalah.Ia bersikap adil, meski yusuf orang asing berbangsa Ibrani hal itu tidak menghalanginya untuk berbuat adil meski harus mempermalukan pejabat dan istri mereka yang seagama dan sebangsa dengannya. Tidak berhenti sampai di situ, meski ia kafir dan berbeda dengan keyakinan Yusuf ia tidak menafikan keistimewaan yusuf dan mengangkatnya sebagai orang kepercayaannya. Ia seorang musuh Allah tetapi Allah adil dengan menceritakan keistimewaan musuhnya yakni keadilan dan kecerdasan sang raja dalam Al Quran. Hal.89

Allah SWT juga merekam dengan adil sebagaimana seorang pemimpin Quraisy yang memimpin permusuhan terhadap Al Quran, Walid bin Mughirah, sekaligus musuh Allah dan Rasulnya. Ayat ini tampak jelas pengakuan Allah atas kecerdasan musuhNya dalam berfikir untuk mencari senjata yang efektif untuk memerangi Al Quran. Sesengguhnya ia telah memikirkan dan menetapkan apa yang telah ditetapkan. Maka celakalah dia! Bagaimana ia telah menetapkan? Kemudian (merenung) memikirkan. Lalu berwajah masam dan cemberut. Kemudian berpaling dari kebenaran dan menyombongkan diri. Lalu ia berkata, Al Quran ini adalah sihir yang dipelajari (dari orang terdahulu) ini hanyalah perkataan manusia. Q.S. Mudassir. Hal.97  Ketiga contoh diatas adalah bentuk pengakuan Al Quran atau Allah SWT terhadap keistimewaan yang dimiliki oleh musuh-musuhnya.

Kitab ini juga menjelaskan bagaimana Al Quran menyajikan fakta dan  kisah  yang menunjukan bahwa adil terhadap musuh berarti anda harus memberikan kesempatan kepadanya untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas dan terbuka, baik permusuhan sikap seperti iblis yang menentang perintah Allah untuk sujud kepada Adam AS atau perbedaan pendapat seperti malaikat yang memiliki kecenderungan pendapat yang berbeda dengan Allah, meski akhirnya mereka mengakui kesalahan pendapat mereka. Yang ingin disampaikan oleh penulis adalah adanya kebebasan ketika diskusi dan perdebatan itu berlangsung dan lawan tidak merasa tertekan dan terancam. Contoh yang paling jelas dalam hal ini menurut Abdul Halim Hifni adalah munadharah atau perdebatan Allah dengan iblis, itulah puncak dari contoh praktis betapa kita harus bersikap adil dan memberikan hak musuh untuk bebas menyatakan pendapatnya. Kisah pembangkangan iblis untuk sujud kepada Adam AS sebagaimana yang diperintahkan Allah banyak disebutkan dalam Al Quran. Meski Allah tahu sebelumnya mengapa iblis tidak mau bersujud kepada Adam,  akan tetapi Ia bertanya dan melakukan penyelidikan. Ia bisa langsung memvonis salah dan menghukumnya akan tetapi Allah tidak melakukan itu. Ia bertanya dan membiarkan iblis dengan bebas menyatakan alasannya mengapa tidak mau sujud kepada Adam, yakni karena kesombongannya dan merasa lebih tinggi kedudukanya dari Adam dan itu diakuinya dengan jelas. Meski Allah kemudian menghukum dengan mengusirnya dari  surga dan tidak akan mendapat rahmat Allah. Allah bisa saja menghukumnya secara fisik tetapi Allah lebih menghukumnya secara moral yakni tidak mendapat rahmat dari Allah dan menunda  hukuman fisik nanti di akhirat, neraka. Anehnya itupun karena permintaan iblis agar ia bisa menggoda keturunan Adam dan masuk neraka bersamanya.

Contoh lain adalah dialog antara Allah dengan malaikat mengenai penciptaan khalifah (Adam) di bumi. Jika dialog antara Allah dan iblis adalah dialog antara makhluk paling pembangkang maka dialog antara Allah dan malaikat adalah dialog dengan makhluknya yang paling taat. Meski para malaikat tampak menyampaikan semacam keheranan dan keberatan mereka atas penciptaan Adam sebagai khalifah di bumi akan tetapi Allah tetap menghargai pendapat mereka. Para malaikat tidak bisa meletakkan posisi mereka demikian dengan sendirinya Allahl yang membuat posisi mereka bisa menyampaikan pendapat mereka dengan bebas. Allah ingin mengajari manusia pentingnya musyawarah dalam membahas persoalan, lebih-lebih persoalan yang menyangkut kepentingan orang banyak.

Kedua contoh dialog atau diskusi Allah dengan malaikat dan Allah dengan iblis mengajarkan kepada kita perlunya memberikan hak kebebasan pada musuh kita untuk bebas menyampaikan pendapatnya tanpa tertekan, baik musuh dalam sikap seperti iblis atau musuh yang berbeda pendapat dengan Allah. Hal.149.

Kebebasan berpendapat berarti lawan Anda bebas menyatakan pendapat apapun atau sikap bagaimanapun terhadap Anda tanpa  tekanan atau dihalangi, betapapun buruknya pendapat itu dan Anda bisa menghadapinya dengan hujjah dan logika. Abdul Halim Hifni menggiring kita untuk menelusuri ayat-ayat yang merekam dengan akurat dan  jujur segala ucapan orang-orang kafir yang menentang Allah, Rasul-rasulNya, Kitab-kitabNya, dan mu`jizat para RasulNya. Celaan, caci maki, penghinaan mereka  dilawan dengan hujjah dan logika hingga kebenaran menjadi jelas dan tidak menolaknya dengan  kemarahan. Inilah yang membuat kita kagum kepada Al Quran. Hlm.172. Pengarang kemudian mengajak kita untuk melakukan investigasi dengan cermat.

Al Quran sebagaimana halnya undang-undang yang tidak menerima perubahan, telah menimbulkan  dampak psikologis yang mendalam bagi umat Islam dan menjadi benteng pertahanan politis bagi mereka. Betapapun umat Islam telah dijajah oleh barat kita tidak melihat satu umat yang bisa bertahan dengan identitas keislaman yang kuat melebihi umat Islam, mereka tidak pernah benar-benar larut dalam satu peradaban atau budaya manapun, letak rahasianya karena adanya Al Quran. Dalam kesempatan lain Al Quran menjadi senjata dalam perang psikologis di samping perang militer. Berbeda dengan agama Samawi sebelumnya yang hanya cukup menyampaikan kebenaran dan bersabar jika ada penentangan. Al Quran mengajak umat Islam untuk berperang jika diperlukan dan dalam waktu yang  sama  bisa jadi alat perang psikologis. Contoh Al Quran berkata : “Sesungguhnya Kami akan menolong para Rasul Kami dan orang-orang beriman dalam kehidupan dunia.”(Q.S. Ghafir :87). Perangilah mereka niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan tanganmu da Dia akan menolong mereka dan menolong kamu (dengan kemenangan) atas mereka serta melegakan hati orang-orang beriman dan menghilangkan kemarahan hati mereka.(Q.S.At Taubah:14-15)

Kedua ayat diatas mendatangkan efek psikologis positif bagi orang yang beriman dan dalam waktu yang sama ia juga mendatangkan pengaruh negatif bagi orang kafir quraisy. Ketika Rasulullah mengatakan bahwa Al Quran adalah kalam Allah mereka mendustakanya akan tetapi keindahan Al Quran meninggalkan sedikit keyakinan akan kebenaran ucapan Muhammad SAW itu. Ketika Al Quran mengatakan bahwa mereka orang kafir akan dikalahkan orang-orang beriman maka disinilah pengaruh psiklogis itu muncul dan bisa menggoncangkan aqidah mereka, dan titik mula keimanan  muncul ke permukaan. Hlm.287. Peran yang dimainkan oleh Al Quran dalam konteks ini sama seperti media massa untuk zaman kita sekarang ini.

Karya yang ditulis oleh Dr. Abdul Halim Hifni ini meski hanya mengupas satu hak musuh yang harus diberikan, hak untuk bebas berpendapat, dapat membuka cakrawala kita bahwa hak-hak musuh harus diberikan sebagaimana yang dicontohkan  oleh Allah dalam Al Quran. Memberikan kepada mereka kesempatan dan kebebasan untuk menyampaikan pandangan mereka, betapapun buruk dan menyimpang dari kebenaran dan menyanggah pendapat mereka dengan hujjah dan logika dengan cara santun berarti kita memberikan kepada musuh kita untuk mencerna dan merenungkan pendapat kita dengan tenang. Sikap santun itu akan membuat mereka berfikir bahwa kita hanya ingin menyampaikan kebenaran bukan permusuhan. Jika itu dilakukan tidak mustahil mereka akan menerima kebenaran yang kita sampaikan. Bukankah Al Quran menyuruh kita untuk menyeru orang-orang ke jalan Allah dengan cara hikmah, nasehat yang baik dan mendebat dengan cara yang lebih baik. Kita harus benar-benar banyak mempelajari dan belajar dari Al Quran. (Samito, MSI, Guru Madrasah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta)

Tentang Kitab:
Judul     :  Inshaf Al Khashm Fi Al Quran        
Pengarang     : Dr. Abdul Halim Hifni
Penerbit  : Kairo, Hai’ah Misshriyyah ‘Ammah
Cetakan : TT
Tebal : 366 Halaman                  

      

Subhanallah! Islam Masuk dalam Kurikulum Sekolah Jerman

Subhanallah! Islam Masuk dalam Kurikulum Sekolah Jerman
Bocah Muslim Jerman. Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, Menteri Dalam Negeri Jerman Thomas de Maziere Senin (15/2) menyerukan kepada 16 negara bagian untuk memasukkan agama Islam dalam kurikulumnya di sekolah-sekolah. Berbicara di kota Jerman selatan, Nuremberg, ia meminta pemerintah agar menyetujui konsep agama Islam dalam kelas pada tahun depan.

De Mazier mengungkapkan, kelas Islam di beberapa sekolah Jerman tidak akan lama lagi masuk dalam ujian masuk sekolah, tetapi seharusnya dalam kenyataanya harus dilandaskan dengan hukum yang kuat. Ia menambahkan, setiap warga negara Jerman harus datang dan membantu atas solusi pragmatis yang dimilikinya.

Beberapa negara bagian di Jerman telah lebih dulu memasukkan agama Islam dalam kurikulumnya, tetapi Berlin bertujuan untuk menawarkan Islam sebagai subjek reguler di sekolah-sekolah di seluruh negeri, diajarkan dalam bahasa Jerman oleh guru-guru yang terlatih di Jerman.

Salah satu kendala utama dari kelas-kelas ini adalah dana dan kekurangan guru agama Islam. Ada sekitar empat juta Muslim yang tinggal di Jerman, termasuk sekitar 2,5 juta adalah orang Turki.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/02/15/164149-subhanallah-jerman-masukkan-islam-dalam-kurikulum-sekolah

Jaminan Perlindungan Perempuan dalam Nikah Sirri & Mut’ah


Dra. Sinta Nuriyah A. Wahid, M. Hum
Majalah Tantri. Sebelum saya memaparkan perspektif ajaran Islam tentang nikah sirri dan mut’ah, terlebih dahulu saya akan menjelaskan pengertian kedua macam nikah tersebut, agar tidak terjadi kerancuan antara keduanya. Yang dimaksud dengan nikah mut’ah adalah, pernikahan yang dilakukan oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan batasan atau dalam jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu yang ditentukan sudah habis, maka ikatan perkawinan mut’ah tersebut harus berakhir dengan sendirinya.
Nikah mut’ah ini terjadi pada masa awal sejarah Islam, yaitu tatkala para sahabat Nabi Muhammad SAW sedang giat melakukan perjuangan perluasan Islam, baik dengan jalan damai maupun peperangan. Di tempat-tempat yang baru ini, diantara para sahabat Nabi ada yang menikahi perempuan-perempuan setempat, dan ditinggalkan pada waktu mereka kembali ke negeri asalnya. ...
Nikah mut’ah ini diizinkan oleh Rasul sebagai bentuk dispensasi kepada para sahabat yang sedang melakukan perang, sebagaimana dinyatakan dalam hadist riwayat Muslim dari Salamah bin al-Akwa’, yang menegaskan bahwa pada waktu perang Autas (nama salah satu tempat di Jazirah Arab), Rasulullah pernah memberikan dispensasi (rukhsah) kepada para sahabatnya untuk melakukan nikah mut’ah selama tiga hari. Namun setelah itu, Rasulullah melarang (mengharamkan) nikah tersebut. Pernyataan ini diperkuat oleh suatu hadist yang diriwayatkan oleh Suburah al-Juhni yang menyatakan, bahwa pada saat terjadi pembebasan kota Makkah, Rasul mengijinkan para sahabat untuk melakukan nikah mut’ah, namun akhirnya Rasul melarang nikah tersebut.
Mengenai nikah sirri, tidak ada rujukannya dalam istilah fiqh Islam. Pada dasarnya nikah sirri ini adalah pernikahan yang hanya dilakukan menurut persyaratan formal hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan secara formal dalam ketentuan hukum positif. Istilah nikah sirri muncul karena adanya dualisme ketika hukum diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu hukum agama (fiqh/syariah) dalam hukum positif (KUHAP dan sejenisnya). Dalam pandangan hukum agama (fiqh), selagi proses pelaksanaan perkawinan itu berjalan sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan dalam fiqh, maka perkawinan tersebut dianggap sah. Masing-masing pihak terikat untuk melakukan hak dan tanggung jawab sebagaimana yang telah digariskan dalam hukum agama. Sementara itu, hukum formal positifistik yang mengandalkan bukti-bukti material sebagai dasar dalam penetapan hukum dan menentukan konsekwensinya, tidak bisa menerima dan memasukkan komitmen moral sebagai suatu alat hukum. Disinilah munculnya benturan antara hukum agama dengan hukum positif, yang memunculkan istilah nikah sirri dalam terminology hukum masyarakat Indonesia.
Nikah dan Jaminan Perlindungan
Secara filosofis, pernikahan sebenarnya dilakukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada kaum perempuan. Dengan pernikahan, Islam hendak mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Berdasarkan sejarahnya hukum Islam ini turun untuk mengatur dan menata kehidupan sosial masyarakat jahiliyah Arab yang sangat tribal dan paganistik. Mereka sama sekali tidak menghormati kaum perempuan, karena mereka hanya dijadikan sebagai budak pemuas nafsu dan bahan warisan. Dalam kondisi demikian, Islam melakukan penataan sosial melalui penciptaan hukum yang lebih memihak, dan memberikan jaminan perlindungan kepada kaum perempuan, nasabnya dan masa depannya. Untuk itu, maka diturunkanlah suatu aturan mengenai pernikahan. Dengan pernikahan ini, hak dan kewajiban masing-masing pihak (antara lelaki dan perempuan) menjadi jelas dan tegas.
Hal seperti inilah sebenarnya yang juga menjadi spirit dalam penetapan nikah mut’ah. Dispensasi pelaksanaan nikah mut’ah yang diberikan oleh Nabi, bisa dipahami sebagai jalan keluar dan kompromi sosial pada zamannya. Nikah mut’ah dilakukan untuk memenuhi tuntutan bilogis para sahabat yang melaksanakan misi agama. Agar penyaluran biologis tersebut tetap dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan hak dan kewajiban, maka harus dilakukan dengan prosedur dan cara tertentu, yaitu melalui nikah mut’ah tersebut. Namun harus dipahami, perangkat sosial pada saat itu masih sangat sederhana, dan problem sosial belum sekompleks sekarang ini, sehingga cukup dengan nikah mut’ah, persoalan sosial yang ada bisa dise-lesaikan.
Di luar dugaan, ternyata pernikahan mut’ah juga banyak menimbulkan problem sosial pada saat itu. Banyak kaum perempuan yang akhirnya dirugikan, akibat dari nikah mut’ah tersebut. Sebetulnya perempuan yang melakukan nikah mut’ah, tetap memiliki hak dan perlindungan sebagaimana perempuan yang nikah biasa, hanya saja secara teknis, mereka kesulitan untuk mencari jejak dan meminta pertanggungjawaban kepada lelaki yang menikahinya, lebih-lebih bila perempuan tersebut sudah memiliki anak. Akibatnya, kaum perempuan tetap terlantar dan tidak mendapat jaminan kepastian dan perlindungan hukum. Atas dasar ini, maka Rasul akhirnya memutuskan untuk mengharamkan pernikahan mut’ah. Hal ini terjadi karena dampak negatifnya lebih besar daripada manfaatnya. Alternatif pemecahan masalah terhadap kebutuhan lelaki yang bertugas menjalankan misi agama, ternyata menimbulkan problem sosial yang bertentangan dengan misi agama. Oleh karenanya Nabi mengharamkan pelaksanaan nikah mut’ah.
Hukum Agama dan Hukum Postif
Secara subtantif fungsional, sebenarnya tidak ada perbedaan antara hukum agama (Islam) dengan hukum positif, yaitu memberikan jaminan perlindungan pada diri setiap subyek hukum, baik lelaki maupun perempuan. Atas dasar ini, seorang intelektual Islam, Sa’aduddin al Ashmawi menyatakan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan fungsional antara hukum Islam dengan hukum positif. Keduanya memiliki fungsi sama, yaitu menjaga ketertiban sosial melalui pemberian sangsi (punishment) dan pencegahan (ditterens). Perbedaan terletak pada perspektif dan penekanan alat hukum. Hukum agama lebih menekankan pada aspek moral sebagai pijakan dalam pelaksanaan praktek hukum. Dalam hal ini, kita bisa melihat perkawinan sebagai contoh kasus.
Dalam hukum Islam, ketika syarat perkawinan itu sudah terpenuhi, maka perkawinan tersebut sudah sah, dan memiliki konsekwensi hukum meski tidak ada bukti material formal. Dengan adanya wali, saksi, mahar, ijab qabul dan pengantin, perkawinan sudah sah meski tidak tercatat. Ini terjadi karena dalam hukum agama muncul asumsi, bahwa orang-orang yang melakukan ikrar perkawinan secara Islam, sudah memiliki komitmen moral yang kuat untuk menjalankan tugas dan kewajiban sebagaimana yang telah digariskan dalam Islam. Pelaksanaan hal tersebut langsung diawasi dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Kalau mereka ingkar dan berkhianat dari apa yang telah digariskan, mereka akan mendapat hukuman dan siksaan dari Allah. Akibatnya bukti-bukti material sebagaimana yang dipersyaratkan dalam hukum positif, menjadi tidak diperlukan lagi.
Hal ini bertentangan dengan paradigma hukum positif, yang mengutamakan bukti-bukti material sebagai pijakan untuk mengambil tindakan hukum. Ini terjadi, karena hukum positif tidak menggunakan pendekatan moral sebagai pijakan dalam membangun asumsi penataan manusia sosial. Sebaliknya hukum positif selalu berangkat dari suatu asumsi, bahwa pada hakekatnya manusia memiliki kecenderungan untuk mengingkari setiap tindakan yang bisa merugikan dirinya. Oleh karenanya, untuk mencegah terjadinya tindakan pengingkaran tersebut, perlu dibuat bukti-bukti material-formal yang bisa mengikat.
Dilihat dari perkembangan sosial yang ada, nampaknya kita perlu meninjau ulang pelaksanaan nikah sirri, karena ternyata fakta di lapangan menunjukkan, pihak perempuan yang melakukan nikah sirri kurang mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Akibatnya, mereka sering menjadi pihak yang dirugikan dalam perkawinan. Dan ini artinya, terjadi pengingkaran terhadap misi dan fungsi hukum perkawinan itu sendiri. Jika hukum positif formal dianggap lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan lebih mampu memberikan perlindungan kepada perempuan sebagaimana yang ditetapkan dalam misi dan fungsi hukum islam, tidak ada salahnya umat Islam menggunakan dan menerapkan hukum positif yang ada. Dalam masalah perkawinan, hukum positif memiliki maqaasidus syar’i (tujuan penerapan hukum) yang sama dengan hukum Islam yaitu mashalih mursalah.
Penerimaan persyaratan hukum positif dalam masalah perkawinan, tidak dimaksudkan untuk menafikan hukum Islam dalam perkawinan, sebaliknya justru untuk memperkuat misi dan fungsi hukum dalam Islam. Dalam hal ini, kita bisa melakukan Qiyas (analog) terhadap hukum nikah mut’ah. Meski pada mulanya nikah mut’ah diperbolehkan, namun ketika hal tersebut menimbulkan dampak sosial yang makin negatif, khususnya bagi kaum perempuan, akhirnya hal tersebut dilarang oleh Nabi. Demikian pula dalam pelaksanaan nikah sirri. Jika hal tersebut ternyata lebih banyak menimbulkan madlarat bagi kaum perempuan, ada baiknya hal tersebut dihindari. Tidak harus menafikan cara, prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam, tetapi melengkapinya dengan persyaratan formal, agar perkawinan tersebut lebih terjaga dan terlindungi. Hal ini juga sesuai dengan prinsip ushul fiqh yang menyatakan: “irtikaabu ‘ala akhaffu dlaruraini wajibun“ mengambil resiko terkecil dari dua buah resiko, dalam hukum Islam hukumnya wajib. Dalam berbagai kasus perkawinan yang ada, pernikahan sirri lebih memiliki resiko yang besar dan berat daripada nikah formal (ghairu sirri). Berangkat dari kaidah ini, maka akan lebih baik jika kita melakukan nikah ghairu sirri, karena resikonya lebih ringan dan kecil.***
_______
Dra. Sinta Nuriyah A. Wahid, MHum
Ketua Puan Amal Hayati

http://www.puanamalhayati.co.cc/2011/01/jaminan-perlindungan-perempuan-dalam.html

LGBT dalam Pandangan Islam


Oleh. Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj, MA

Majalah Tantri. Tuhan menciptakan manusia tidak hanya berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tetapi ternyata ada juga “jenis kelamin ketiga”. Jenis ini terkait dengan kondisi fisik, psikis dan orientasi seksual. Kita mengenal ada kelompok lesbian, gay, biseksual dan transsexual (LGBT).

Perdebatan soal homoseksual (LGBT) sebenarnya sudah lama terjadi. Pada mulanya muncul pertanyaan, apakah hubungan seks sejenis itu merupakan penyakit, atau sebuah perilaku seks yang menyimpang? Lalu, bagaimana pandangan Islam yang ideal terhadap masalah ini?
Homoseks Dalam Sejarah Muslim

Homoseks telah mengukir sejarah tersendiri dalam perjalanan umat manusia. Sejarah telah meriwayatkan, bahwa seks sesama jenis telah ada dan menjadi salah satu bagian dari pola seks manusia. Berbagai kitab suci seperti al-Quran, Injil, dan Taurat telah memperbincangkan serta menuliskannya....

Meskipun perilaku seksual sejenis itu dikutuk, namun pada kenyataannya, masyarakat Muslim sendiri telah mempraktekkan tradisi tersebut. Sudah barang tentu, dengan latar belakang dan pelaku yang berbeda, seperti yang dilakukan di lingkungan istana dan juga di kalangan masyarakat kebanyakan.

Homoseksual dan kecenderungan seks pada anak laki-laki kecil (pedofilia), serta minum arak di tempat-tempat pertunjukan musik, bukanlah kenyataan yang ganjil dalam sejarah perilaku umat Islam. Pemerintahan Islam, dari Bani Umayyah, Abbasiah, Fathimiyah hingga Utsmaniah, diramaikan oleh kemeriahan suasana seksualitas. Tak hanya terpancang pada kenyataan kuatnya tradisi harem atau pergundikan, tapi juga warna-warni seksualitas yang dianggap menyimpang.

Kehidupan yang heboh tersebut telah menjadi bagian dari perjalanan yang merentang dalam penggapaian ideal pemerintahan Islam. Ini adalah berbagai contoh mengenai apa yang terjadi dalam kelas-kelas masyarakat Muslim yang kesemuanya itu dipandang jauh dari syariat Islam. Kenyataan ini–seperti diungkap kembali oleh Khalil Abdul Karim dan al-Shabah wa al-Shahabah–telah dibedah oleh para sejarahwan Muslim seperti Ibnu Jabir, Ibnu Khaldun, Abu Umar al-Kindi, Ibnu Ilyas dan Nashir Khasru.

Hasil penelitian BF Musallam menunjukkan, bahwa di lingkup bangsa Arab abad Pertengahan, telah beredar cerita-cerita tentang munculnya gejala homoseksual dan lesbian sebagai akibat takut hamil. Arkian, seperti ditulis oleh al-Kathib dalam kitab Jawami’ dikisahkan, ada seorang pelacur terkenal yang menanyai salah seorang wanita lesbian, ”Apa sebabnya anda memilih lesbian?” Jawab wanita itu, “Lebih baik begini dari pada hamil yang mendatangkan skandal.”

Dalam puisi Arab klasik juga terlantun kidung-kidung puitis yang mengungkap tentang pilihan jadi lesbian karena takut hamil. Ibnu Qayyim juga mencatat dalam kitabnya Ighatsat, ada beberapa pria homoseksual mempertahankan diri mereka dengan dalih, “Ini lebih aman daripada kehamilan, kelahiran, beban perkawinan dan sebagainya.”

Seperti juga dalam kitab al-Wasa’il Fi Musamarah al-Awa’il karya Jalaluddin al-Suyuthi, homoseksual ternyata telah mewarnai kehidupan masyarakat pada awal-awal kehadiran Islam. Beberapa penyebab yang disebutkan diantaranya adalah, terjadinya banyak peperangan; lamanya waktu suami meninggalkan keluarga; sibuknya kaum Muslimin mempersiapkan kemenangan; adanya pencercaan terhadap keluarga kaum musyrik yang ditaklukkan yang kemudian banyak dijadikan pelayan; timbulnya perasaan keterasingan, serta pergaulan yang lebih banyak dengan laki-laki.

Faktor-faktor inilah yang kemudian melahirkan laki-laki yang bersifat kewanita-wanitaan. Dalam lingkungan seperti ini, hubungan homoseksual lambat laun terjadi. Disebutkan juga, bahwa perempuan yang pertama kali berani menampakkan praktik lesbian pada masa itu adalah istrinya Nu’man ibn Mundzir.

Keberadaan kaum homoseks senantiasa dihubungkan dengan contoh historis kisah perilaku umat Luth. Dikemukakan bahwa Tuhan sangat murka terhadap kaum Nabi Luth yang berperilaku homoseksual. Kemurkaan Tuhan itu diwujudkan dengan menurunkan hujan batu dari langit dan membalikkan bumi. Akhirnya kaum Luth hancur lebur, termasuk istrinya, kecuali pengikut yang beriman pada Luth.

Kisah ini dipaparkan dalam al-Quran surah al-’Araf ayat 80-84, al-Syu’ara ayat 160, al-‘Ankabut ayat 29 dan al-Qamar ayat 38. Praktik homoseksual umat Nabi Luth ini, seperti juga dinyatakan oleh Ali al-Shabuni dalam kitabnya Qabas Min Nur al-Quran, dianggap perilaku umat yang paling rusak sepanjang sejarah umat para nabi.

Praktik homoseksual, dise-butkan oleh kalangan ahli tafsir diantaranya al-Thabathaba’i dalam kitab al-Mizan, untuk pertama kalinya dilakukan oleh kaum Nabi Luth. Dalam Hadits juga dikatakan, “Yang mengawali perbuatan homoseksual adalah kaum Nabi Luth”. Dalam al-Quran, kaum Luth dilukiskan sebagai penyembah berhala, penyamun, dan menjalankan praktik homo-seksual, sehingga menjadi adat kebiasaan masyarakat.

Dari kisah kaum Luth inilah kemudian ditegaskan hukum keharaman perilaku homoseksual yang terus berurat berakar di benak masyarakat Muslim. Ulama tafsir, Fakhruddin al-Razi berkesimpulan bahwa homoseksual adalah perbuatan keji berdasar pada keputusan alami tanpa memerlukan alasan-alasan yang lebih konkrit. Al-Razi hanya menunjukkan bahwa larangan homoseksual, meskipun bisa mencapai kenikmatan, tetapi menghalangi tujuan mempertahankan keturunan. Padahal, Allah menciptakan kenikmatan senggama untuk meneruskan keturunan.

Homoseks dalam Fikih

Dalam fikih, praktik homoseksual dan lesbian mudah dicari rujukannya. Seks sesama jenis ini sering disebut al-faahisyah (dosa besar) yang sangat menjijikkan dan bertentangan dengan kodrat dan tabiat manusia.

Kalau ditelusuri secara gramatikal, tidak ada perbedaan penggunaan kata antara homoseksual dan lesbian. Dalam bahasa arab kedua-duanya dinamakan al-liwath. Pelakunya dinamakan al-luthiy. Namun Imam Al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir menyebut homoseksual dengan liwath, dan lesbian dengan sihaq atau musaahaqah. Imam Al-Mawardi berkata, “Penetapan hukum haramnya praktik homoseksual menjadi ijma’, dan itu diperkuat oleh nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits”.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam al-Mughni juga menyebutkan, bahwa penetapan hukum haramnya praktik homoseksual adalah ijma’ (kesepakatan) ulama, berdasarkan nash-nash Al-Quran dan Hadits.

Fikih, di samping membahas perilaku seks sejenis ini dalam kaitan dengan hukuman (bab al-hadd), juga melibatkannya dalam bahasan soal tata cara shalat jamaah, masalah peradilan dan pemerintahan.

Pada pokoknya, fikih memang menegaskan bahwa manusia hanya memiliki dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dengan penis (dzakar) dan perempuan dengan vagina (farji).

Fikih juga mengenal istilah khuntsa, yang kalau diartikan menurut kosa kata bahasa Arab adalah seorang waria atau banci. Pada dasarnya, istilah khuntsa ini menempel pada seorang yang secara fisik-biologis laki-laki, tetapi mempunyai naluri perempuan.

Dalam kamus al-Munjid dan Lisan al-Arab, kata-kata khuntsa diartikan sebagai seseorang yang memiliki anggota kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus. Bahasa medis mengenalnya dengan istilah hermaprodite atau orang yang berkelamin ganda. Jenis kelompok ini, yang populer juga dengan sebutan waria, dimasukkan dalam kelompok transeksual, yaitu seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan keadaan jiwanya. Istilah ini dikenakan pada seseorang yang secara fisik laki-laki, tapi berdandan dan berperilaku perempuan. Begitupun sebaliknya, pada kenyataannya ada sesorang yang secara fisik perempuan, tapi berpenampilan laki-laki.

Dalam hal ini, ulama fikih memilahnya menjadi dua jenis. Pertama, yang disebut khuntsa musykil, yaitu seseorang yang memiliki penis dan vagina secara sekaligus pada bagian luar (hermaprodite). Jenis homoseksual yang seperti ini memang sangat langka.

Kedua, yang disebut khuntsa ghairu musykil, yaitu seseorang yang sudah jelas dihukumi sebagai laki-laki atau perempuan. Untuk menentukan kedua jenis ini, maka yang menjadi penentu secara fisik adalah bentuk kelamin dalamnya. Jika di dalam tubuhnya terdapat rahim, maka ia dihukumi sebagai perempuan. Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak ada rahim, maka ia dihukumi sebagai laki-laki.

Tipe seseorang yang berpenis dan tidak punya rahim inilah yang bisa disebut dengan gay. Istilah gay biasanya merujuk pada homoseksual laki-laki. Gay memang secara fisik berpenampilan laki-laki.

Dalam penelusuran terhadap kitab-kitab klasik, tipe homoseks telah menjadi kajian khusus. Misalnya, kita baca dalam kitab fikih klasik al-Iqna’, karya Syarbini Khathib, menjelaskan bahwa seseorang yang bertipe khuntsa musykil tidak sah bermakmum shalat, baik kepada wanita maupun laki-laki. Berbeda dengan khuntsa yang sudah jelas keperempuanannya, maka boleh bermakmum dan mengimami shalat perempuan normal. Demikian pula, khuntsa yang sudah jelas kelaki-lakiannya boleh bermakmum dan mengimami shalat laki-laki normal.

Di dalam fikih, biasa diajukan sebuah kasus, misalnya bagaimana hukum seorang laki-laki normal yang bermakmum pada seseorang khuntsa yang dikira laki-laki tulen. Setelah selesai, baru diketahui ternyata imamnya itu khuntsa yang lebih cenderung ke kewanitaan. Menurut Zakariya al-Anshari dan pendapat yang lebih kuat lainnya menyatakan, bahwa hukum shalat bermakmum itu sah saja, serta tidak perlu diulangi shalatnya.

Dalam kitab Nihayat al-Zain, karya Imam Nawawi, tidak ada pemilahan soal khuntsa ini. Lagi-lagi, pembahasannya dikaitkan dengan shalat jamaah. Shalat jamaah, menurut pendapat sebagian besar ulama, hukumnya adalah fardhu kifayah. Ada juga pendapat Mawardi dan Rafi’i yang menetapkan hukumnya sunnah mu’akkad. Tetapi hukum ini berlaku hanya bagi laki-laki. Sedang khuntsa dan wanita tidak ada pembebanan hukum. Bagi khuntsa lebih utama shalat berjamaah di rumah daripada di masjid. Kedudukan khuntsa dalam konteks ini disamakan dengan hukum yang diberlakukan bagi wanita.

Khuntsa juga didudukkan sama dengan anak laki-laki tampan yang tidak dianjurkan untuk salat jamaah di masjid. Mengajak anak-anak ke masjid sangat dianjurkan, kecuali anak laki-laki yang tampan, supaya tidak menimbulkan fitnah.

Yang membikin ulama fikih saling berseberangan lagi adalah menyangkut sosok gay yang nota bene bernaluri atau berkecenderungan perempuan. Kalau dikembalikan pada pengertian dasar homoseksual, sebenarnya adalah seseorang yang bangkit berahinya dengan melihat, mengkhayal, dan melakukan aktivitas seksualnya dengan sesama jenis. Secara psikologis, homoseksual ini berkait dengan orientasi dan aktivitas seksual. Orientasi seksual mengacu pada obyek dari rangsangan seksual seseorang. Sedangkan, ak-tivitas seksual adalah senggama itu sendiri dengan berbagai variasinya.

Para ulama fikih terbelah menjadi dua pendapat yang berbeda. Sebagian bersiteguh bahwa naluri gay itu sesungguhnya adalah hasil bentukan lingkungan. Solusinya hanya melalui terapi psikologis agar naluri yang bersangkutan bisa berubah. Sebagian lagi berpendapat, jika memang sudah semenjak kecil dan sudah ‘given’ naluri gay itu, maka tidak ada persoalan serius. Karena itu, hukumnya halal bila yang bersangkutan misalnya, ingin melakukan ganti kelamin. Cara ini bertujuan untuk menghilangkan kesamaran identitas gendernya atau kejelasan anatomi seksnya.

Sejatinya, telaah fikih mengenai homoseksualitas berpang-kal pada hakikat orientasi seksual itu sendiri. Apabila orientasi seksual disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat biologis, seperti ketidakseimbangan susunan hormonal atau perbedaan kromosom lainnya, maka bila seseorang menjadi gay, lesbian atau lainnya, sifatnya sangat kodrati. Dalam hal ini, tidak ada keputusan apa-apa, kecuali melihatnya dalam perspektif kekuasaan Tuhan. Kecuali, ada temuan baru yang mampu memengaruhi susunan hormonal seseorang sehingga orientasi seksualnya berubah.

Demikian juga apabila orien-tasi seksual disebabkan oleh faktor non-biologis, misalnya sosial, budaya, politik ataupun lainnya, maka ini sama dengan jender. Perubahan orientasi seksual dalam kasus ini bisa diambil kebijakan, mengingat bukan karena hal-hal yang adikodrati.

Dalam kitab-kitab fikih, tindakan hukum terhadap homoseks atau penyimpangan seks lainnya tidak dibahas secara khusus. Kasus-kasus yang berhubungan de-ngan sanksi hukum terhadap kaum homoseks, baik yang dilakukan dengan paksa maupun suka sama suka, berada dalam pembahasan umum kasus-kasus pelanggaran susila. Meskipun secara umum disepakati bahwa tindakan homoseks dilarang, bentuk sanksi hukumnya tetap kontroversial.
Para ahli fikih umumnya menyamakan perbuatan homoseksual dengan perbuatan zina. Karena itu, segala implikasi hukum yang berlaku pada zina juga berlaku pada kasus homoseksual. Bahkan pembuktian hukum pun mengacu pada kasus-kasus yang terjadi pada zina.

Tiga madzhab besar fikih, yaitu Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa saksi buat kasus homoseks sama dengan saksi pada kasus zina, yaitu empat orang laki-laki yang adil dan dipercaya. Ini kalau ada pengakuan dari pelaku atau korban.

Namun pendapat ini tak disepakati oleh madzhab Hanafi yang membedakan kasus homoseksual dengan kasus zina. Dalam kasus homoseks, menurut madzhab yang banyak dianut di dunia Arab ini, kesaksian bagi tindakan homoseksual tak laik disamakan dengan zina. Soalnya, kemudaratan (bahaya) yang terjadi akibat homoseks lebih kecil ketimbang perbuatan zina. Oleh karena itu, menurut madzhab Hanafi, “Kesaksiannya pun harus lebih sedikit, yaitu hanya satu orang saksi yang adil dan dipercaya”.

Madzhab Hanafi pun tidak memasukkan perbuatan homoseksual sebagai zina. Sebabnya, menurut madzhab Hanafi, perbuatan homoseksual tidak memerlukan akad resmi seperti dalam pernikahan lazim. Jadi hukumnya tidak pasti, dan perbuatannya juga tidak membatalkan haji dan puasa.

Selain itu, argumen yang dikemukakan adalah, bahwa kerugian yang diakibatkan oleh hukuman (jarimah) homoseksual lebih “ringan” daripada kerugian yang diakibatkan hukuman terhadap zina. Perbuatan homoseksual tidak menimbulkan keturunan, tidak demikian dengan perbuatan zina. Hubungan kelamin sejenis tidak menimbulkan masuknya sperma seperti pada kasus zina. Oleh karena itu, paling-paling dihukum ta’zir, semisal dipenjara.

Bagaimana pula dengan Hadits, “Jika kalian menemukan orang yang melakukan hubungan seksual sejenis seperti kaum Nabi Luth, bunuhlah keduanya” (Hadits riwayat Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadits ini, seperti dijelaskan oleh al-Zaila’i, masih banyak menyimpan perdebatan. Abu Hanifah sendiri menolak menggunakan Hadist ini.
Para ahli fikih juga tak sepakat terhadap sanksi hukum yang patut dijatuhkan kepada pelaku tindak homoseksual. Sekurang-kurangnya, ada tiga jenis sanksi hukum yang ditawarkan dalam kitab-kitab fikih. Pertama, pelaku tindakan homoseksual seharusnya dibunuh. Kedua, dikenakan hukuman pidana (had) sebagaimana had zina, yaitu jika pelakunya belum kawin, maka ia harus dicambuk. Tetapi, jika pelakunya orang yang pernah atau sudah kawin, maka ia dikenakan hukuman rajam sampai mati. Ketiga, dipenjara (ta’zir) dalam waktu yang telah ditentukan oleh hakim.

Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki sudah mengingatkan supaya berhati-hati dan tidak main hakim sendiri dalam memperlakukan kaum homoseksual. Kata imam Malik: ”Jika ada seseorang berkata kepada seorang laki-laki; “wahai pelaku perbuatan nabi Luth”, maka justru dialah yang layak dihukum cambuk”. [***]

Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj, MA
Pendidikan
- Univ. Umm al-Qura, Mekkah (S-3)
- Univ. Umm al-Qura, Mekkah (S-2)
- Univ. King Abdul Azzizz, Mekkah (S-1)
- Alumni PP. Hidayatul Mubtadi’in, Lirboyo
- Alumni PP. Krapyak, Yogyakarta
Aktivitas
- Ketua PBNU
- Dosen Pasca Sarjana UI
- Dosen Pasca Sarjana UIN Jakarta
- Penasehat Dosen MKDU, UBAYA, Surabaya
- Dosen Pasca Sarjana UNISMA, Malang
- Dosen Pasca Sarjana Univ. Nahdlatul Ulama, Solo
- Dosen Pasca Sarjana ST Maqdum Ibrahim, Tuban
- Penasehat Masyarakat Pariwisata Indonesia
 
http://www.puanamalhayati.co.cc/2011/01/lgbt-dalam-pandangan-islam_27.html
 

Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah



Oleh Akhmad Sahal*)
Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”
Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.
Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.
Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”
Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.
Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu terjadi.
Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.
Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?
Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “hukum berporos pada alasan”, gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu pada masa Abu Bakr memang wajib diperangi, karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekadar murtad saja tanpa dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu tidak sama. Pada titik inilah kita bisa mengacu pada peristiwa korespondensi antara Nabi Muhammad dan Musailamah seperti saya paparkan di awal tulisan.
Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.
Lagi pula, satu-satunya dalil Al-Quran tentang kemurtadan sama sekali tidak menyeru kaum muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90. Ayat ini tidak menyinggung soal perlunya menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti.
Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling mengaku sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya–toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena, dalam Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.
Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladan sikap Rasulullah.
*) Akhmad Sahal, Kader NU, kandidat PhD Universitas Pennsylvania

Tempointeraktif.com

Selasa, 15 Februari 2011

Ust. Husein Al-Habsyi : Pendiri Yayasan Pesantren Islam Bangil

Ust Husein Al-Habsyi pendiri YAPI
Ustadz Husein Al-Habsyi lahir di Surabaya pada tanggal, 21 April 1921 M. Pada usia yang masih belia  beliau sudah harus erjuang sendiri karena wafatnya orang tuanya. Adapun Ayah beliau, Sayid Abu Bakar Al-Habsyi yang mempunyai garis keturunan dengan Sayid Ali Al-‘Uraidy putra Imam Ja’far Shodiq a.s. Selanjutnya beliau  diasuh, dididik dan ditempa oleh pamannya yang ‘Alim dan wara’, yakni Ustadz Muhammad Baraja’. Dan dari sinilah kemudian ilmu dan wawasanya berkembang.
Berawal dari pendidikan  dasar di Madrasah Al-Khairiyah; sebuah lembaga pendidikan  diniah tertua di Surabaya. Pada umurnya 10 tahun beliau sudah aktif mengikuti pengajian rutin yang membahas masalah-masalah fiqih, tauhid dan lainnya. kemudian pada usia 12  tahun beliau sudah mampu membaca kitab-kitab Berbahasa Arab.
Setelah lulus akhirnya mengajar di madrasah Al-Khoiriyah, bersama kakaknya, Ustaz Ali Al-Habsyi yang kemudian bersama-sama hijrah ke Pinang Malaysia. Beliau juga pernah berguru kepada;Ustadz Abdul Qadir Balfaqih  (seorang ulama besar dan ahli hadis), Syeh Muhammad Robah Hassuna (seorang ulama dari Qolili, Palestina yang berkhidmat mengajar di madrasah Al Khairiyah), Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad (seorang ulama besar dan terkenal dengan analisa-analisa yang sangat dalam, beliau adalah mufti kerajaan Johor Baru, Malaysia dimasanya), Assayid Muhammad Muntasir Al-Kattani (Ulama’ Maghribi, Maroko) dll.
Di Johor  beliau juga mengajar di madrasah Al –Aththas dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga murid beliau banyak tarsebar di berbagai daerah di Malaysia, dan tidak sedikit pula yang di kemudian hari menjadi ulama dan tokoh penting negeri jiran tersebut .  
Setelah beberapa lama tinggal di Malaysia beliau menikah dengan putri pamannya yang bernama Fatimah binti Abdurrahman Al-Habsyi , dan setelah dikaruniahi beberapa putra karena terjadi berbagai peristiwa politik semasa penjajahan Inggris atas semenanjung Malaysia akhirnya dengat sangat terpaksa beliau meninggalkan negeri tersebut dan kembali ke kampung halamannya di Surabaya .
Sepulang dari Malaysia, Ustadz Husein Al-Habsyi memulai aktifitas dakwah dan banyak berkecimpung di dunia politik. Dalam menapaki jenjang karirnya, beliau sempat menduduki kepengurusan teras bersama DR. M. Natsir dalam Partai Syuro Muslimin Indonesia. Bahkan beliau terpilih sebagai Ketua Komisi  Hak Asasi Manusia.
Sekian lama setelah beliau tidak aktif dalam partai, Ustadz Husein mulai berfikir bahwa perjuangan Islam lebih “absah” melalui pendidikan agama bukan “politik praktis”. Dalam pikirannya terbersit keinginan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam.
Sikap beliau yang anti “Barat” dan “Sekularisme” mendorongnya untuk menerapkan sistem pendidikan  dan peraturan yang sangat ketat bagi santri. Ustadz Husein semakin mantap dengan metode pendidikan yang   diterapkan.
Pada tahun 1971 beliau mendirikan Pondok Pesantren di kota Bondowoso Jatim. Keberadaan beliau di Bondowoso sangat menguntungkan bagi perkembangan pendidikan masyarakat di sekitarnya, karena sebagai orator ulung dan ulama’, beliau mampu menjelaskan ajaran Islam dengan baik dan memikat pendengarnya.  Setelah dari Bondowoso, karena berbagai hal, akhirnya  beliau hijrah dan mendirikan  Yayasan Pesantren Islam ( YAPI ) Bangil. Kemudian perkembangan demi perkembangan - disamping karena bertambahnya murid yang cukup banyak - akhirmya  membuka Pesantren-Putra di Kenep-Beji, Pesantren-Putri dan TK di Kota Bangil.  
Dari kehidupan beliau, hampir seluruh Waktu, tenaga dan pikirannya beliau tercurah untuk kemajuan para santri. Selain mengawasi jalannya seluruh perkembangan yang terjadi di Pesantren, beliau juga terjun langsung   ke bawah mengajar para santri dalam berbagai disiplin ilmu seperti; Bahasa Arab, Ushul Fiqh, Tafsir, Tauiyah dan lain-lain, sehingga metodenya mampu membuahkan hasil yang luar biasa bagi anak didiknya. Hal tersebut juga terlihat dari alumni-alumni yang mampu tampil sebagai tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing. Selain  mereka juga dapat dengan mudah melanjutkan pendidikan di berbagai pendidikan tinggi di luar negeri seperti; Mesir, Pakistan, India, Qatar, Saudi Arabiyah dan negara-negara timur tengah lainnya.
Dalam ceramahnya ustadz Husein Al-Habsyi; baik di hadapan santri maupun di hadapan kaum muslimin  dalam mimbar Jum’at, Idlul Fitri, Idul Adha dan kesempatan-kesempatan lain selalu menekankan akan pentingnya persatuan kaum muslimin, toleransi antar madzhab, memberikan kebebasan berfikir (khususnya bagi para santrinya), sehingga mereka tidak mudah dikotak-kotakkan oleh faham-faham/ aliran-aliran yang sempit.
Dengan aplikasi gagasan-gagasannya, beliau telah mampu menciptakan era baru dalam pemikiran kaum muslimin yang lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan Islam di atas kepentingan-kepentingan madzhab atau kelompok. Hal ini terbukti sebagaimana buah hasil didikan beliau pada santri-santrinya yang sekarang tersebar di berbagai belahan bumi Nusantara. Di mana mereka menjadi motor keterbukaan pemikiran dan asatidzah lintas madzhab yang tidak dipersempit oleh pemikiran tertentu yang cupet.
Untuk tujuan yang sama juga, Ustadz Husein Al-Habsyi telah meluangkan waktu-waktunya yang sangat padat dan berharga, untuk mengadakan safari da’wah, menyisir daerah-daerah terpencil kaum muslimin seperti Sorong, pedalaman Ambon, beberapa daerah di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, bahkan di masa  akhir hayatnya beliau juga menyempatkan pergi ke  negeri Jiran demi meniupkan ruh keterbukaan dan semangat da’wah Islam.
Beliau juga seringkali menghadiri berbagai seminar dan konfrensi- baik di dalam maupun di luar negeri - membahas berbagai masalah fondamentaldan urgen umat Islam seperti seminar pendekatan Sunnah – Syi’ah di Kuala Lumpur Malaysia dll. Dan demi menegakkan dakwah Islam, tidak jarang beliau menghadapi berbagai gangguan, teror dan kesulitan-kesulitan yang dilakukan baik oleh kalangan ulama’ yang sempit wawasanya, kaum awam yang terprofokasi oleh isu-isu menyesatkan maupun oleh penguasa.
Fitnah demi fitnah dilontarkan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai beliau dan misi Islam yang sedang beliau perjuangkan. Sehingga tidak jarang beliau harus berhadapan dengan penguasa pada zaman itu sampai dijebloskan ke dalam penjara. Namun semua itu beliau hadapi dengan penuh kesabaran, ketabahan dan ruh tawakkal yang luar biasa.
Bahkan dengan lapang dada dan hati yang tulus, beliau memaafkan mereka yang karena kejahilan dan ketidaktahuan akan misi Islam yang murni melah melakukan hal-hal yang menyulitkan dan menggangu beliau.
Pemakaman Ust. Husein Al-Habysi
Setelah beliau berpuluh-puluh tahun mengabdikan diri demi Islam dalam dunia pendidikan dan dakwah, beliau memenuhi panggilan Ilahi ke alam Baqa’ pada  hari Jum’at 2 Sya’ban 1414/ 14 Januari 1994  dirumah beliau Jl. Lumba-lumba Bangil. 
Sementara itu ribuan para pentakziah larut dalam duka dan dengan khusyu’ turut mengiringi jenazah beliau   dari rumah duka ke Masjid Jamik Bangil untuk di shalatkan , kemudian menghantar ke pemakaman.
Dan beliau dimakamkan  pada hari Sabtu 3 Sya’ban 1414/15 Januari 1994 di belakang Masjid Tsaqalain yang terletak di komplek Pesantren Putra “Al-Ma’hadul Islami” YAPI, Desa Kenep Beji Pasuruan.
Semoga Allah merahmati dan mengumpulkan beliau bersama orang-orang suci yang beliau cintai, Amin
http://www.yapibangil.org/Biografi/biografi-ust-husein-al-habsyi.html