Menyebut nama KH Hasyim Asy’ari, orang tentu akan berpikir pada pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Tak salah memang, sebab dengan peran sebagai tokoh sentral, NU mampu menjadi organisasi keislaman yang diikuti banyak masyarakat Muslim di Indonesia.
Selain itu, KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang). Namanya juga sangat lekat dengan tokoh pendidikan dan pembaru pesantren di Indonesia. Selain mengajarkan agama pada pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Ia merupakan salah seorang tokoh besar Indonesia abad ke-20.
KH Hasyim Asy’ari dilahirkan pada 14 Februari l871, di Pesantren Gedang, Desa Tambakrejo, sekitar dua kilometer ke arah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ia merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Ayahnya, Kiai Asy’ari, adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Sehingga, sejak kecil, ia sudah mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam dari orang tua dan kakeknya. Ia diharapkan menjadi penerus kepemimpinan pesantren.
Mandiri sejak belia
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada 1876 M, tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras (Diwek), sekitar 8 kilometer ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana. Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang kepala desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya.
Hasyim juga menyaksikan secara langsung cara dan metode Kiai Asy’ari membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.
Selain itu, sejak kecil Kiai Hasyim juga sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya. Pada usia 13 tahun, dia sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar (senior) darinya.
Ia juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek (Kiai Utsman), mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.
Pada usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan menuntut ilmu ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan KH Kholil yang dikenal sangat alim.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub yang kelak menjadi mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama lima tahun.
Semangatnya dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah suci, Makkah. Selama di Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Tirmasi (Tremas, Pacitan), Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah Sayyid juga menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat memengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Tirmasi.
Pada saat tinggal di Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara. Di antaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH R Asnawi (Kudus), KH Dahlan (Kudus), KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH Shaleh (Tayu).
Dan, bersama KH Wahab Hasbullah (Tambakberas), KH Bisri Syansuri (Denanyar), serta KH Bisri Musthofa (Rembang), KH Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebagai wujud perjuangan para ulama dalam membimbing umat sekaligus melawan penjajah Belanda. Beberapa saat setelah merdeka, Kota Surabaya yang ingin direbut kembali oleh penjajah, mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Bersama Bung Tomo, KH Hasyim Asy’ari menyerukan perang jihad melawan Belanda.
Dan selanjutnya, melalui organisasi ini pula, nama KH Hasyim Asy’ari berkibar. Ketokohan dan keilmuan yang dimilikinya menempatkannya sebagai ulama teratas di Indonesia. Tak heran pula bila kemudian beliau mendapat julukan sebagai Hadratus Syekh (penghulu para syekh/ulama). dia/sya/berbagai sumber
Menjadi Pendidik Sejati
KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir sepanjang hidupnya, dirinya mengabdikan diri pada lembaga pendidikan, terutama di Ponpes Tebuireng, Jombang. Saat ini, Ponpes Tebuireng diasuh oleh cucunya, yaitu KH Sholahuddin bin Wahid bin Hasyim, yang akrab disapa dengan Gus Sholah. Gus Sholah adalah adik kandung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan presiden RI keempat.
Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih berjarak satu kilometer. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal.
Dari bangunan kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh Kiai Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah. Sedangkan, bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri yang belajar baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang.
Selain ahli dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran. Di dunia pendidikan, ia merupakan seorang pendidik yang sulit dicari tandingannya. Ia menghabiskan waktu dari pagi hingga malam untuk mengajar para santrinya.
Kegiatan mengajar ia mulai pada pagi hari, yakni selepas memimpin shalat subuh berjamaah. Ia mengajarkan kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Di antara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Kemudian setelah menunaikan shalat dhuha, Kiai Hasyim kembali memberikan pengajaran kitab kepada para santrinya. Namun, sesi pengajaran pada waktu ini khusus ditujukan bagi para santri senior. Kitab yang diajarkannya, antara lain, Kitab al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muwatta karya Imam Malik. Pengajian untuk santri senior ini biasanya berakhir pada pukul 10.00.
Selepas shalat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu ashar. Kegiatan mengajar ini, ia lanjutkan setelah shalat ashar hingga menjelang maghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinu dibaca setiap selesai shalat ashar.
Kegiatan mengajar para santrinya, baru ia mulai kembali setelah shalat Isya. Ia mengajar di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tasawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf, beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir Alquran al-Adzim karya Ibnu Katsir.
Dalam hal menjalankan praktik ibadah, Kiai Hasyim senantiasa membimbing para santrinya. Ini terlihat dalam rutinitas harian beliau yang kerap berkeliling pondok pada dini hari hanya untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudhu guna malaksanakan shalat tahajud dan shalat subuh.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng. ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji,” demikian isi pesan Kiai Hasyim kepada para santrinya.
Sistem pengajaran
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Dalam sistem pengajaran ini, tidak dikenal yang namanya jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, di antaranya dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawarah jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Baru kemudian pada 1916, KH Ma’shum Ali–salah seorang menantu Kiai Hasyim–mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Mulai tahun itu juga, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya.
Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu pada 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. dia/berbagai sumber
Karya Sang Ulama
Selama hidupnya, KH Hasyim Asy’ari banyak menulis karya, diantaranya :
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360 H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’ (1971 M).
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat (1935).
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. Berisi 40 hadis Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada Rasul), ditulis tahun 1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH M Yusuf Hasyim, diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H/1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra
http://rifaimovic.wordpress.com/2009/06/03/kh-hasyim-asyari-sang-ulama-pejuang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar