Selamat

Selamat datang di Santri Gubrak
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis

Sabtu, 29 Oktober 2011

NU Berpotensi Imbangi Gerakan Radikal


Jakarta, Kompas - Nahdlatul Ulama memiliki potensi melakukan gerakan untuk mengimbangi gerakan Islam radikal. Terkait dengan hal itu, NU akan merayakan hari lahirnya yang ke-85 pada 18 Juni 2011, antara lain, dengan menggelar pertemuan para tokoh sufi sedunia (Al Multaqah Sufi Alami).
”Konteksnya, sekarang ini kami memiliki kegelisahan terhadap gerakan Islam kanan yang metamorfosisnya pada gerakan bom bunuh diri di permukaan atau undercover. Jika tidak ada yang melakukan pengereman, gerakan Islam radikal akan makin kuat, ” kata Wakil Ketua Ma’arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masduki Baidowi saat berkunjung ke Kompas di Jakarta, Jumat (13/5) petang.
Para pengurus PBNU yang hadir, selain Masduki, juga hadir Enceng Sobirin, Abdul Mun’im DZ (keduanya Wakil Sekretaris Jenderal PBNU), Wakil Ketua Lajnah Ta’rief Wanasr PBNU Adnan Anwar, dan Pemimpin Umum NU Online Anis Ilahi.
Kegiatan untuk merayakan hari lahir NU digelar 16 Juni-18 Juli 2011 akan menampilkan khazanah NU, antara lain kegiatan seminar, menggelar forum bagi aktor-aktor yang berkonflik dan susah dipertemukan di Afganistan.
”Belum ada solusi bagaimana rekonsiliasi nasional Afganistan dibangun, jadi kami memfasilitasi saja. Akan ada tokoh Afganistan yang datang ke Indonesia,” kata Enceng Sobirin.
Juga akan ditampilkan kreasi ekonomi kreatif kalangan NU, seperti pengembangan singkong raksasa di Lampung, juga seni-seni yang bernuansa keagamaan yang hampir punah, seperti Slamet Gundono dengan wayang suketnya, serta pameran foto sejarah NU. Tidak hanya itu, NU juga akan menggelar rapat akbar dengan mengerahkan Banser.
Menurut Enceng Sobirin, NU masih mempunyai potensi untuk melakukan gerakan guna mengimbangi gerakan Islam radikal, serta penguatan jalan damai.
”Pertemuan sufi sedunia ini akan dihadiri para sufi dari 18 negara. Mereka akan berpidato melihat kehidupan. Jalan sufi adalah jalan yang bisa mempertemukan. Sufi dari berbagai agama bisa bertemu pada hari lahir NU nanti,” kata Enceng Sobirin.
Ia menambahkan, NU sekarang ini resah karena ada sesuatu yang sangat sensitif terjadi, yakni perebutan dasar negara.
”Kalau elite selalu bermain api dengan hal ini, pengeroposan birokrasi terjadi dengan kuat melalui korupsi, kekayaan Indonesia diberikan kepada asing, rakyat dimiskinkan, dan ada ketidakadilan struktural, akan muncul radikalisme,” kata Enceng Sobirin. (LOK)

 http://nasional.kompas.com/read/2011/05/14/04101039/NU.Berpotensi.Imbangi.Gerakan.Radikal

NKRI dan 66 Tahun Resolusi Jihad NU

Oleh Achmad Munif Arpas
Sejarah besar ketelaladan Nabi Muhammad SAW dalam membina kehidupan beragama penuh damai di Madinah, ternyata sering dilupakan, bahkan tidak dipahami oleh sebagian besar umat Islam sendiri. Karena itu, mereka ini memiliki kecenderungan gambaran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang terdiri hanya satu golongan dan satu agama. Mereka ini tidak mengenal kebebasan beragama, kemajemukan, pluralism, toleransi, kerjasama, kebebasan berpendapat, saling membantu sama lain dalam mewujudkan cita-cita suatu bangsa bernama Indonesia, yang Bhinneka Tunggal Ika ini.
Padahal, fakta sejarah sudah membuktikan bahwa sebagai Nabi dan Rasul, kedatangan Muhammad SAW  disambut dengan suka-cita oleh seluruh penduduk Yathrib atau Madinah yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan itu. Masyarakat Madinah berbondong-bondong menyambut datangnya pemimpin besar umat Islam tersebut. Kenapa? Sebelum hijrah dari Makkah, Nabi Muhammad SAW sudah bertemu dengan para pemimpin kaum Yahudi, Nasrani, Qabilah-qobilah Arab, penyembah berhala dan kaum atheis lain untuk menghindari perang. Nabi lebih memilih hidup berdampingan secara damai, menjaga keamanan bersama-sama, membangun perekonomian dan melawan siapapun yang melakukan kedzaliman dan kejahatan terhadap kemansuiaan.
Itulah antara lain salah satu bagian terpenting dari 48 poin perjanjian Nabi dengan penduduk Yathrib yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama tersebut. Perjanjian ini kemudian disebut pula sebagai ‘Konstitusi Madinah, bukan Konstitusi Islam. Sebuah aturan dan perjanjian yang kali pertama ada di dunia. Karena itu, kehidupan beragama di Madinah disebut juga sebagai puncak peradaban dunia Islam, yang sebelumnya tidak pernah terjadi khususnya antara Islam dengan non Islam.
Perjanjian yang sama pernah dilakukan oleh Nabi, secara khusus dengan kaum Nasrani di Yerussalem atau Baitul Maqdis (Al-Quds). Ketika kota suci itu dibebaskan oleh umat Islam dan isinya sejalan dengan Piagam Madinah. Yaitu Nabi Muhammad merupakan pelindung mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka. Kata Muhammad,”Setiap jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku adalah sebagaimana mereka (kaum Nasrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku.”
Al-Quran pun sudah mengingatkan akan kehidupan yang beragam, majemuk dan plural ini  adalah sebagai suatu keniscayaan yang tak terbantahkan. Sebagaimana dalam surat Al-Hujurat: 13,”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu seorang lelaki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah SWT adalah yang paling bertakwa...” Adalah orang yang taat menjalankan perintah agamanya dan menjauhi serta mencegah larangan agamanya. Yaitu orang yang beramal saleh, banyak melakukan kebaikan dan kemaslahatan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara ini, dan bukan merusaknya.

Dengan demikian, sungguh aneh jika dalam keindonesiaan saat ini masih terdapat sekelompok masyarakat muslim mempunyai pandangan dan keyakinan berbeda dengan keyakinan agamanya.Di mana orang yang mempunyai keyakinan agama berbeda dianggap salah, sesat dan kafir. Oleh sebab itu, halal darahnya dan harus diperangi. Memerangi kelompok kafir ini adalah wajib dan dianggap sebagai jihad di jalan Allah dengan jaminan masuk surga, memdapatkan hadiah bidadari dan kenikmatan lainnya di akhirat. Keyakinan yang sesat itulah yang kemudian menumbuh-suburkan keberagamaan yang radikal, fundamentalis dan menjadikan mereka ini sebagai teroris.
Bukankah Allah SWT sudah menegaskan bahwa pembunuhan tanpa alas an yang benar, adalah dosanya sangat besar? Al-Quran Al-Maidah: 32: “Barangsiapa membunuh manusia bukan karena membunuh orang lain (haq) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi ini, maka dosanya seakan-akan dia telah membunuh seluruh umat manusia dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka pahalanya seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” Ayat ini mempertegas bahwa Islam itu sangat menghargai setiap jiwa dan nyawa manusia. Sehingga Islam adalah agama yang mengagungkan kemanusiaan atau al-Basyariyah, al-Insaniyah.
Berangkat dari pemikiran keagamaan di atas, maka menjadi kewajiban bersama bagi seluruh bangsa ini untuk memelihara kerukunan, kedamaian, toleransi, pluralism, dan kelangsungan bernegara untuk terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh anak bangsa. Karena itu wajib pula memerangi siapapun yang coba melakukan penjajahan, kezdaliman, penindasan dan ketidakadilan terhadap anak bangsa ini. Oleh sebab itu para ulama Nahdlatul Ulama (NU) menyebut bahwa mencintai dan membela tanah air itu sebagai bagian dari iman  (hubbul wathon minal iman). Tanpa melihat siapa saja yang menjadi warga Negara: Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu dan kepercayaan lainnya, maka hukumnya wajib membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
Komitmen akan kewajiban mempertahankan NKRI yang Bhinneka Tunggal Ika dan berdasarkan Pancasila ini bagi NU tidak akan pernah pupus dan akan terus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Dari muktamar ke muktamar sejak berdirinya pada 1926, komitmen itu terus dijadikan landasan dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan dalam  Muktamar NU ke 32 di Makassar 2010 komitmen itu dipertegas kembali: Bahwa fungsi imamah atau kenegaraan dalam pandangan politik Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Shulthoniyah, ”al-Imamah mawdhu’atun likhilafatin nubuwwah fi haratsatiddin wasiyasatiddunnya…bahwa pemimpin itu adalah untuk menjaga agama (harasatud din) dan mengatur dunia (siyasatud dunya).
Dengan demikian, maka Negara dan pemerintah wajib memelihara kelangsungan kehidupan beragama dan segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan dunia. Seperti kelangsungan dan pembangunan rumah ibadah, sosial politik, ekonomi, penegakan hukum, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, ketentraman, kedamaian, keamanan Negara dan sebagainya.
Dengan dasar pemikiran keagamaan dan kenegaraan tersebut, ketika Indonesia dalam ancaman penjajahan Inggris, maka ulama NU melakukan ijtihad politik dengan mengeluarkan ‘Resolusi Jihad’ pada 66 tahun silam tepatnya pada 22 Oktober 1945 yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari. Dengan maklumat bahwa wajib bagi umat Islam untuk memerangi penjajahan yang dilakukan tentara Inggris atau Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang mendarat di Surabaya ketika itu. Para kiai NU kemudian membentuk barisan Sabilillah yang dipimpin oleh KH Masykur, barisan Hisbullah dipimpin oleh H Zainul Arifin dan kiai sepuh di barisan Mujahidin yang dipimpin langsung oleh KH Wahab Hasbullah.
Ketika itu, pergerakan tentara Inggeis tidak dapat dibendung. Tentara Inggris sudah menduduki Medan, Padang, Palembang, Bandung, dan Semarang melalui pertempuran-pertempuran sengit yang dibantu tentara Jepang, yang kalah perang, sebagai konsekuensi dari peralihan kekuasaan. Sedangkan kota-kota besar di kawasan Timur Indonesia telah diduduki oleh Australia. Namun, berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, melalui Resolusi Jihad NU itu pada 10 November 1945, arek-arek Suroboyo memenangkan pertempuran sampai tentara Inggris dan Australia keluar dari Indonesia. Ini salah satu bentuk konkret komitmen NU dalam mengawal dan mempertahankan NKRI. Namun, fakta ini sering dilupakan sejarawan Indonesia.
Pancasila
Memang kelangsungan sejarah bangsa ini tak selamanya akan berjalan sebagaimana sejarah berdirinya (founding fathers), yaitu sebagai Negara bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika, berdasarkan Pancasila, NKRI dan  berpegang teguh kepada UUD NRI 1945. Karena pelaku sejarah dan pemerintahan Negara ini berjalan secara bergantian dari masa ke masa, orde ke orde: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Bersamaan dengan itu juga selalu akan lahir dan muncul generasi dengan pemahaman agama, ideology kebangsaan dan kenegaraan yang berbeda pula. Jadi, wajar jika kemudian muncul keinginan suatu Negara berdasarkan satu keyakinan agama, karena mereka ini tidak mendapatkan pengetahuan, wawasan dan tidak memahami pergumulan sejarah bangsa Indonesia dengan baik. Sehingga masih ada yang bermimpi memiliki ideology Negara berdasarkan hukum Islam bahkan akan menjadikan Negara ‘Islam’ dan tentu mengabaikan Pancasila.
Karena itu pemerintahan Orde Baru sangat khawatir akan ancaman tersebut, sehingga harus melakukan sosialisasi terus-menerus terhadap Pancasila atau penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Bahkan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar NU pun meski KH Abdul Wahid Hasyim terlibat dalam perumusan Pancasila itu bersama Bung Karno, Hatta dll, tetap saja diminta secara resmi untuk mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas. Akhirnya, para kiai NU pada Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Jawa Timur 1984, yang dipelopori oleh Rais Aam PBNU KH Ahmad Shiddiq dan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dimaksud.
Penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas itu pada prinsipnya, karena prinsip-prinsip dan nilai-nilai Pancasila itu tidak bertentangan dengan ajaran agama. Baik secara tauhid, ketuhanan maupun sosial amaliahnya. Ada dua penegasan Gus Dur dalam perumusan itu, yaitu “Tanpa Pancasila, negara tidak akan pernah ada  dan  Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat abadi. Sehingga Pancasila membuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak harus diperjuangkan.”
Demikian pula KH Ahmad Shiddiq yang membuat kesimpulan: bahwa mendirikan dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan duniawi wajib dan sah hukumnya dan itu mengikat semua pihak, termasuk ummat Islam. Karena itu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD NRI 1945 dan NKRI wajib dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya.
Persoalannya sekarang adalah apakah komitmen terhadap pengamalan Pancasila sudah terwujud? Jika penyelenggara Negara dan tokoh bangsa ini mengakui bahwa pengamalan Pancasila itu belum bahkan tidak terwujud, utamanya menyangkut keadilan, penagakan hukum, kesejahteraan, kemanusiaan, ekonomi kerakyatan dan sosial politik yang lain, maka tidak salah jika anak bangsa ini melupakan Pancasila. Sedihnya lagi, kini banyak anak-anak sekolah tidak hafal sila-sila Pancasila, sehingga Pancasila itu bisa disebut tidak sakti lagi.
Selama dekade terakhir ini, kita hanya sibuk dengan berbagai seremony dan berbagai kegiatan Negara yang sesungguhnya makin menjauhkan dari nilai-nilai Pancasila tersebut. Misalnya gaya hidup mewah di tengah maraknya korupsi di mana-mana, ketidakadilan dan kedzaliman serta kemaksiatan di mana-mana, hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil, pendidikan dan kesehatan makin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat, dan lain-lain yang tidak sejalan dengan Pancasila. Maka, sudah waktunya untuk interospeksi diri untuk melaksanakan Pancasila dengan benar dan bertanggungjawab.
Sejauh itu, selain dengan pengamalan konkret akan prinsip-prinsip Pancasila, sosialisasi 4 Pilar bangsa yang sudah berjalan saat ini, juga dibutuhkan peningkatan wawasan keagamaan yang benar, baik, utuh dan komprehensif agar mampu meminimalisir gerakan radikalisme, fundamentalisme dan terorisme yang terus mengancam eksistensi NKRI ini.
Achmad Munif Arpas adalah Sekretaris Redaksi NU Online, alumni MAN Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran dan UIN Syahid Ciputat Jakarta, wartawan Harian Bangsa Surabaya, mantan wartawan Duta Masyarakat, Harian Terbit Jakarta, Pengurus Besar Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII)  2010-2015 dll. Pernah juara I dan II penulisan budaya Islam bersama Kompas, Republika dan Gatra pada Festival Istiqlal 1995 dan juara I penulisan berita-berita agama terbaik versi Front Pembela Islam,  1997 dan penghargaan lainnya.
DAFTAR BACAAN
1.       Al-Quran dan terjemahannya Depag RI, 1990
2.      Sejarah hidup Nabi Muhammad SAW, Muhammad Husein Haekal, 1995
3.      Hadis Shohih Bukhori
4.      Hadis Shohih Muslim
5.      Biografi Gus Dur, Greg Barton, 2003
6.      Membumikan Al-Quran, M Quraish Shihab, 1995
7.      Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Choirul Anam, 1999
8.      Hasil-Hasil Muktamar NU ke 32 di Makassar, 2010
9.      Muqoddimah Ibnu Kholdun, 2000
10.   Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholish Madjid, 1995
11.    Islam Agama Kemanusiaan, Nurcholish Madjid, 1995
12.   Islam dan Tata Negara, Munawir Sjadzali, 1993
13.   Al-Ahkam As Shulthoniyah, Imam Al-Mawardi
14.   Al-Mu’jam al-Mufahrus Li-alfadhi Al-Quran Al-Karim, Muhammad Fuad Abdul Baqi’ Daarul Fikr, 1992
15.  NU dan RelasI-Relasi Kuasa, Martin van Bruneissen, 1993
16.  Dll

 http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/4/34336/Kolom/NKRI_dan_66_Tahun_Resolusi_Jihad_NU.html

Sabtu, 15 Oktober 2011

MENGENANG ABAH ANOM Guru Sufi yang Peka Masalah Sosial

Oleh H. Edgar Suratman, SE*
Pengasuh Pesantren Suryalaya KH Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom) telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya pada Senin (5/9). Jenazah Abah Anom (96) dimakamkan di Puncak Suryalaya, Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Selasa (6/9).

Abah Anom dilahirkan di Tasikmalaya, 1 Januari 1915.  Ayahnya adalah KH Abdullah Mubarok atau Abah Sepuh yang tak lain sebagai pendiri Pesantren Suryalaya. Abah Anom sejak kecil tumbuh dalam lingkungan keluarga pegiat ajaran tasauf aliran Thoriqoh Qodiriyah wan Naqsabandiyah (TQN).

Abah Anom merupakan sosok ulama mursyid yang memberikan contoh kemandirian, peka terhadap masalah sosial dan peduli terhadap persoalan bangsa. Beliau tidak hanya terlibat di bidang keagamaan saja, namun juga di bidang sosial, pendidikan, ekonomi hingga politik kebangsaan.

Sosok Mursyid Arif

Abah Anom adalah sosok mursyid yang selalu membimbing para pengikutnya dan umat Islam untuk selalu mendekatakan diri kepada Allah SWT. Sebagai sosok guru mursyid Abah Anom telah memberikan bimbingan terbaik kepada para pengikut dan jutaan umat Islam untuk mewujudkan kehidupan yang berkualitas dan berkelanjutan melalui amal shaleh, memperbanyak dzikir dan taqarrub kepada Allah SWT.

Berkat kepemimpinan Abah Anom di Suryalaya sejak 1956, TQN berkembang luas hingga Mancanegara. TQN Suryalaya kini telah memiliki perwakilan di semua kabupaten/ kota se-Jawa Barat dan daerah-daerah lainnya se-Indonesia, kecuali Papua. TQN Suryalaya juga memiliki banyak perwakilan di berbagai belahan dunia.

Model pendekatan dakwah yang dikembangkan TQN Suryalaya mudah diterima masyarakat luas, termasuk kalangan non-Muslim. Suatu ketika Abah Anom pernah diundang secara khusus oleh PM Singapura Goh Chok Tong untuk menyampaikan tanbih atau wejangan agama. Goh Chok Tong sangat khusyu’ mendengarkan tanbih tersebut dan menyebutkan apa yang disampaikan Abah Anom sebagai kebenaran universal ajaran Islam yang penuh rahmat bagi semesta, kasih sayang dan kedamaian antar sesama manusia.

Ajengan Panutan dan Progresif

Pada usia 18 tahun Abah Anom dipercaya ayahnya, Syaikh Abdullah Mubarok menjadi wakil talqin dzikir TQN. Sejak saat itulah, ia akrab disapa Abah Anom atau Kiai Muda. Anom berasal dari bahasa Sunda, yang artinya muda. Sejak muda ia telah memiliki jiwa kepemimpinan progresif. Sebagai seorang mursyid, ia bukan sosok yang hanya berdiam diri di tempat atau melakukan ‘uzlah dengan meninggalkan kehidupan dunia, namun menyatu dengan masyarakat dan mengambil peran besar dalam mewujudkan transformasi.

Pada masa pemberontakan DII/TII, Tasikmalaya menjadi basis gerakan perlawanan. Abah Anom ikut berjuang bersama TNI dalam melawan dan membasmi DII/TII. Begitu juga saat pemberontakan PKI mewabah, Abah Anom beserta para santrinya ikut berjuang mengganyang PKI.

Abah Sepuh wafat pada 1956 dan kepemimpinan Suryalaya dilanjutkan, Abah Anom. Pada 1961 ia merintis Yayasan Serba Bakti sebagai payung pengembangan pesantren. Pesantren ini dibangun dengan kemandirian, tabu meminta bantuan kepada siapapun atau lembaga manapun. Abah Anom dengan konsisten selalu memberikan wejangan kepada santri dan pengikutnya, agar taat kepada perintah agama dan negara, karena NKRI didirikan oleh para ulama dan syuhada, yang harus didukung demi kemaslahatan bangsa. Karena itu, Pesantren Suryalaya selalu mendukung pemerintahan yang sah dan berada di belakang NKRI.

Pelopor Pemberdayaan Masyarakat

Selama ini publik lebih mengenal kiprah Abah Anom di dunia tasauf melalui TQN Suryalaya dan kesehatan atau sosial melalui pondok Inabah yang konsen dalam rehabilitasi pecandu narkotika. Padahal, Abah Anom memiliki kiprah lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu pemberdayaan masyarakat, baik melalui sektor pertanian, ekonomi, pendidikan dan pesantren hingga politik kebangsaan.

Sejak memimpin Pesantren Suryalaya pada 1956, Abah Anom menunjukkan perhatian besar pada sektor pertanian. Pembangunan irigasi untuk pertanian dan kincir air untuk pembangkit listrik, adalah contoh dari kepeloporan pesantren ini sejak kepemimpinan Abah Anom. Bahkan pada masa sulit pangan di era 1950-an dan 1960-an, Suryalaya memelopori program swasembada beras untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Di bidang ekonomi, Abah Anom merupakan pelopor pemberdayaan ekonomi masyarakat Tasikmalaya. Yayasan Serba Bakti Pesantren Suryalaya memiliki sejumlah unit di bidang ekonomi, antara lain koperasi pesantren (kopontren) dan baitul maal wat tamwil (BMT).

Melalui wadah kopontren dan BMT, Pesantren Suryalaya mengembangkan berbagai program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kopontren dan BMT Suryalaya bekerjasama dengan sejumlah bank dalam mengembangkan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesantren dan pedesaan di Tasikmalaya dan Ciamis. Pesantren Suryalaya memberikan bantuan permodalan maupun simpan pinjam bagi  warga sekitar pesantren maupun warga Tasikmalaya dan Ciamis, sehingga manfaat keberadaan pesantren tersebut dirasakan secara langsung oleh masyarakat luas.

Pada bidang pendidikan, sumbangan lebih besar diberikan Abah Anom bagi masyarakat. Melalui Pesantren Suryalaya, Abah Anom setiap tahunnya membina ribuan kader calon pemimpin masyarakat. Pesantren Suryalaya dihuni ribuan santri dan memiliki 13 unit pendidikan, yaitu mulai jenjang TK, SD, MI, MTs, SMP, MA, SMA, SMK, sekolah tinggi ilmu ekonomi, institut agama islam, majelis taklim, pesantren, dan pengajian umum.

Berjihad Rehabilitasi Narkoba

Komitmen dan ketulusan kecintaan Abah Anom terhadap bangsa dan negara juga ditunjukkan melalui jihad merehabilitasi para pecandu narkotika. Abah Anom berjasa besar dalam menyelamatkan ribuan bahkan jutaan generasi bangsa. Melalui program Inabah, ia memprakarsai penyembuhan narkoba dan berbagai gangguan jiwa berbasis pendekatan spiritual, yakni melalui peningkatan kesadaran beragama. Selama puluhan tahun, Suryalaya berjihad merehabilitasi pecandu narkoba, sehingga pesantren ini menjadi mitra utama Polri dan BNN, baik dalam rehabilitasi pecandu maupun perang melawan peredaran narkoba.

Ketua MK, Prof Mahfud MD menyebut Abah Anom sebagai ulama yang bukan hanya mengajarkan kitab-kitab secara konvensional, namun juga aktif melakukan kegiatan sosial dan terapi untuk korban narkotika melalui kesadaran keagamaan. Banyak pecandu narkoba yang sembuh setelah mengikuti terapi di Suryalaya. “Banyak orang-orang besar, kaya, dan pejabat yang sulit membimbing anaknya sendiri sering meminta pertolongan penyembuhan kepada Abah Anom. Umat Islam dan bangsa Indonesia kehilangan beliau," kata Mahfud.

Wafatnya Abah Anom sebagai kehilangan besar bagi bangsa dan negeri ini. Tak ayal saat pemakaman, banyak karangan bunga terpampang di sepanjang jalan menuju kompleks Suryalaya. Karangan bungan tersebut antara lain diberikan mulai pejabat setingkat bupati/ walikota, pangdam, kapolda, gubernur, ormas Islam, direksi bank-bank nasional, menteri, mantan menteri, pimpinan partai politik nasional hingga Presiden SBY. Inna lillahi wa innaa ilaihi roji’uun. (*)
   
* Ketua Yayasan Serba Bakti Pesantren Suryalaya Perwakilan Kota Bogor
 

http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/4/34299/Kolom/Guru_Sufi_yang_Peka_Masalah_Sosial.html