Selamat

Selamat datang di Santri Gubrak
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis

Rabu, 26 Januari 2011

Muslimat NU

Sejarah pergerakan wanita NU memiliki akar kesejarahan panjang dengan pergunulan yang amat sengit yang akhirnya memunculkan berbagai gerakan wanita baik Muslimat, fatayat hingga Ikatan pelajar putri NU.

Sejarah mencatat bahwa kongres NU di Menes tahun 1938 itu merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses katalisis terbentuknya organisasi Muslimat NU. Sejak kelahirannya di tahun 1926, NU adalah organisasi yang anggotanya hanyalah kaum laki-laki belaka.

Para ulama  NU saat itu masih berpendapat bahwa wanita belum masanya aktif di organisasi. Anggapan bahwa ruang gerak wanita cukuplah di rumah saja masih  kuat melekat pada umumnya warga NU saat itu. Hal itu terus berlangsung hingga terjadi polarisasi pendapat yang cukup hangat tentang perlu tidaknya wanita berkecimpung dalam organisasi.

Dalam kongres itu, untuk pertama kalinya tampil seorang muslimat NU di atas podium, berbicara tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU. Verslag kongres NU XIII mencatat : “Pada hari Rebo ddo : 15 Juni ’38 sekira poekoel 3 habis dhohor telah dilangsoengkan openbare vergadering (dari kongres) bagi kaoem iboe, …

Tentang tempat kaoem iboe dan kaoem bapak jang memegang pimpinan dan wakil-wakil pemerintah adalah terpisah satoe dengan lainnja dengan batas kain poetih.” Sejak kongres NU di Menes, wanita telah secara resmi diterima menjadi anggota NU meskipun sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa diperbolehkan menduduki kursi kepengurusan. Hal seperti itu terus berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940.

Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri, mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk pihak-pihak yang secara gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima peserta kongres. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, sehingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.

Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat menyangkut penerimaan Muslimat belum lagi didapat. Dahlanlah yang berupaya keras membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat untuk ditandatangani Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahab Hasbullah. Dengan adanya secarik kertas sebagai tanda persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar.

Bersama A. Aziz Dijar, Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan khusus  yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari. Bersamaan dengan hari penutupan kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara resmi dibentuk, tepatnya tanggla 29 Maret 1946 / 26 Rabiul Akhir 1365. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Muslimat NU sebagai wadah perjuangan wanita Islam Ahlus Sunnah Wal Jama`ah dalam mengabdi kepada agama, bangsa dan negara.

Sebagai ketuanya dipilih Chadidjah Dahlan asal Pasuruan, isteri Dahlan. Ia merupakan salah seorang wanita di lingkungan NU itu selama dua tahun yakni sampai  Oktober 1948. Sebuah rintisan yang sangat berharga dalam  memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya di lingkungan NU, sehingga keberadaannya diakui dunia internasional, terutama dalam kepeloporannya di bidang gerakan wanita.

Pada Muktamar NU XIX, 28 Mei 1952 di Palembang, NOM menjadi badan otonom dari NU dengan nama baru Muslimat NU.

http://www.muslimat-nu.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67&Itemid=56

Meluruskan Makna Jihad







Oleh: Hasani Ahmad Said
Dari segi bahasa, term jihad dalam al-Qur’an berasal dari kata jahd dan juhd. Kata jahd biasanya diterjemahkan dengan sungguh-sungguh atau kesungguhan, letih atau sukar dan sekuat-kuatnya. Adapun kata juhd biasa diterjemahkan dengan kemampuan, kesanggupan, daya upaya, dan kekuatan.
Salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan adalah jihad. Prof Dr M Quraish Shihab menyatakan bahwa banyak para pakar yang menilai Islam sebagai “misunderstood religion”, agama yang disalah pahami. Kesalah pahaman bukan saja terjadi pada non-muslim, melainkan juga kaum muslim.
Persoalan yang disalah pahami pun beragam. Penyebabnya dapat bermacam-macam.Yang disepakati untuk segera diluruskan adalah seputar isu kekerasan dengan merujuk kepada ayat al-Qur’an atau hadis yang memerintahkan berjihad dan berperang. Persoalan ini tidak jarang mengantar musuh-musuh Islam menamai sebagai agama yang merestui dan menyebarkan terror, terlebih ada sebagian umat Islam dengan sikap mereka yang melampaui batas dijadikan bukti pendukung penilaian yang tidak berdasar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti jihad diartikan tiga persepsi. Pertama, jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan kedua, jihad merupakan usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa dan raga, dan ketiga jihad mengandung arti perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Berjihad berarti berperang di jalan Allah.
Dari pengertian ini dipahami, bahwa jihad membutuhkan kekuaan baik tenaga, pikiran maupun harta. Pada sisi lain, dipahami bahwa jihad pada umumnya mengandung resiko kesulitan dan kelelahan di dalam pelaksanaannya.
Sementara itu, istilah ijtihad merupakan terminologi dalam ilmu fiqih yang berarti mencurahkan pikiran untuk menetapkan hukum agama tentang sesuatu kasus yang tidak terdapat hukumnya secara jelas dalam al-Qur’an dan hadis. Sedangkan arti mujahadah merupakan istilah dalam ilmu tasawuf yang berarti perjuangan melawan hawa nafsu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam terminologi Islam, kata jihad diartikan sebagai perjuangan sungguh-sungguh mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan, khususnya dalam mempertahankan kebenaran, kebaikan dan keluhuran. Tetapi istilah jihad yang berarti perjuangan tidak selalu atau tidak semuanya berjuang di jalan Allah karena banyak ayat pula yang berarti berjuang dan berusaha seoptimal mungkin untuk mencapai tujuan. Misalnya, Q.S. al- Ankabut/29:8 dan Luqman/31: 15, yang masing-masing berbicara tentang konteks hubungan antara anak yang beriman dan orang tuanya yang kafir, dalam hal ini juga menggunakan term jihad.
Jihad yang mengandung pengertian berjuang di jalan Allah, ditemukan pada 33 ayat: 13 kali di dalam bentuk fi’il madi’ (kata kerja bentuk lampau), lima kali di dalam bentuk fi’il mudari’ (kata kerja bentuk bentuk sekarang atau yang akan datang), tujuh kali dalam bentuk fi’il amr (kata kerja perintah), empat kali dalam bentuk masdar, dan isim fa’il (kata benda yang menunjukkan pelaku).
Banyaknya bentuk ini mengindikasikan bahwa begitu luasnya dan beraneka ragam makna jihad, yakni perjuangan secara total yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Termasuk juga di dalamnya perang fisik atau mengangkat senjata terhadap para pembangkang atau terhadap musuh.
Dengan demikian, tidak tepatlah kiranya hanya memaknai jihad sebagai jihad yang mengandung pengertian berjuang di jalan Allah atau dalam bahasa lain tidak selalu jihad berkonotasi perang fisik. Apalagi seperti yang telah sedikit diulas di atas, kalau membincangkan ayat jihad tidak serta merta hanya turun pascahijrahnya Nabi SAW, akan tetapi ayat-ayat yang berbicara tentang jihad juga ternyata turun di Makkah.
Sehingga, kalau melihat sejarah ayat-ayat yang turun di Makkah masih berbicara seputar penanaman akidah dan keimanan. Misalnya, pada Q.S. al-Ankabut/29: 6 dan 69. Patron kata yang digunakan ayat ini menggambarkan adanya upaya sungguh-sungguh, atau tepatnya jihad di sini bermakna mujahadah. Jihad yang dimaksudkan adalah mencurahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk mencapai ridha Allah SWT. Karena itu, orang yang berjihad di jalan Allah tidak mengenal putus asa.
Dengan demikian, jihad yang dimaksud di sini, bukan dalam arti mengangkat senjata, karena berperang dan mengangkat senjata baru diizinkan setelah Nabi berada di Madinah, sedang ayat ini bahkan surah ini turun sebelum Nabi berhijrah.
Dalam ayat lain, Q.S. al-Furqan/25: 52, yang juga merupakan ayat Makiyah, Allah memerintahkan Rasul, agar berjihad dengan al-Qur’an. Dalam konteks ini, berjihad dengan al-Qur’an jauh lebih penting untuk dipersiapkan dan dilaksanakan dari pada berjihad dengan senjata. Tetapi berjihad dengan al-Qur’an, hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman kepada al-Qur’an sekaligus memahaminya dengan baik. Selain itu, ayat ini ingin menunjukkan bahwa jihad tidak selalu berkaitan dengan mengangkat senjata.
Uraian di atas sangat jelas, stigma teror yang mengatas namakan agama itu jelas keliru. Karena makna jihad bukan hanya bermakna perang, tetapi sangat luas. Kejadian selama ini yang kita saksikan seolah meligitimasi kebenaran makna jihad, padahal itu sangat salah besar.
Jadi siapa saja yang masih terbius dengan pengungkapan makna yang ekslusif, sadarlah karena pemahaman yang sempit akan menyempitkan pula pemahaman ajaran agam itu.

Penulis kandidat Doktor UIN Jakarta dan dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung
Tulisan ini pernah dimuat di Radar Banten, 25 September 2010

http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/1664-meluruskan-makna-jihad.html

Humor Santri

Jin dan perokok berat


Suatu ketika ada tiga orang masing-masing pemabuk, penggila wanita dan satunya lagi perokok berat

menemukan kendi ajaib.Saat menggosok-gosok nya ternyata ada jin bebas keluar dari kendi tersebut. Karena telah berjasa terhadap jin itu, ketiga orang ditawari imbalan oleh jin sesuai dengan permintaanya.

Si pemabuk minta arak dengan segala jenis. Si penggila wanita pun demikian mendapat kiriman wanita-wanita cantik dibawa ke kamar si penggila wanita tadi.

Sang perokok berat pun meminta hal sama. Ia meminta rokok berbagai merk untuk dirasakan sepuasnya. Setelah diberikan hadiah tadi, Mereka menikmati pemberiannya di kamar masing-masing.

Esok harinya, jin tadi mengecek kepada masing-masing kamar ketiga orang tersebut.

Kamar pemabuk, orangnya lunglai terkapar mati kebanyakan minum arak, begitu  pula si penggila wanita mati kehabisan tenaga bersama wanita-wanita tadi.

Namun, ketika membuka kamar sang perokok berat, jin kaget karena  orang tadi masih segar bugar.

Si perokok berat dengan gagahnya keluar kamar sambil memukuli jin tadi.

” kamu itu gimana to jin, ngasih kesenangan rokok, tapi aku gak bisa menikmati pemberianmua,”kata orang tadi. “Kok bisa…”tanya Jin.

“Lha kamu tuh aneh, mosok ngasih rokok gak ada koreknya. Kapan menikmatinya.”gerutu perokok sambil memukul wajah  sang Jin.

OOOOOOalaah. Ternyata sang perokok dituruti kemauannya tanpa diberi korek api. Tentu saja  perokok berat tidak bisa menikmati pemberian jin..


Mahbub Djunaidi Mendebat Malaikat


Nahdlatul Ulama punya tokoh pers yang masyhur di negeri ini. Selain sukses memimpin Duta Masyarakat, koran milik NU, di era 50 hingga 70-an, mendiang Mahbub juga lihai menulis esai-esai. Esianya sangat khas, unik, dan oleh karena itu berkarakter.

Salah satu karakter yang melekat pada tulisan-tulisannya adalah humor. Ya, dalam tulisan, dia adalah pendekar humor, di samping tentu saja gesit berargumentasi.

Saking pandainya berargumentasi dan menggelontar humor, sampai-sampai dia diimajinasikan berdebat dengan malaikat di pintu pengadilan akhirat.

"Ya Mahbub, silahkan cuci dulu tubuh Anda di kolam sebelah kiri," perintah malaikat sambil mengarahkan tongkatnya ke kolam hitam dan berasap.

"Sebentar Bang. saya sedang kena deadline, ditunggu tukang layout ini." jawab Mahbub.

"Bang-bang, emangnya saya abang mi. Lagian, apa itu deadline dan tukang lay out?" tanya Malaikat.

"Walah Bang-bang, ente dealine aja tidak tahu. Kaya gitu berani perintah ane. Sudah, ane mau langsung ketemu Guse aja," bentak Mahbub.

"Guse itu siapa? tanya Malaikat.

"Ya Gusti Allah. Siapa lagi?"


Tetap Saja Seperti Biasanya


Cerita ini adalah cerita nyata yang diceritakan oleh Naib Amirul Haj 1431 H KH Hasyim Muzadi. Menurut Kiai Hasyim -sapaan akrab KH Hasyim Muzadi, percakapan berikut ini adalah kisah nyata antara dirinya dengan salah seorang pembantu di Pesantrennya al-Hikam Malang Jawa Timur.

"Pada waktu itu sebelum berhaji bersama keluarga dan beberapa orang yang membantu khidmah (bekerja) di Pesantren al-Hikam, saya menerangkan tentang tata cara haji kepada rombongan," tutur Kiai Hasyim memulai ceritanya, Kamis (18/11).

"Di antara pilihan tata cara haji itu ada yang dinamai haji Tamattu', yaitu melakukan umroh terlebih dahulu, baru kemudian berhaji. Ada haji Ifrod, yaitu melakukan haji dahulu baru kemudian Umroh. Dan terakhir adalah haji Qiron, yaitu melakukan haji dan umroh sekaligus," terang Kiai Hasyim.

"Kita boleh memilih manakah di antara nama haji-haji itu yang akan kita pakai. Apakah haji tamattu', Ifrod ataukah Qiron," pungkas Kiai Hasyim.

Seusai bercerita, Kiai Hasyim bertanya kepada salah seorang pembantunya yang bernama Sholeh. "Jadi nanti kamu mau haji apa leh? Mau haji tamattu' atau haji ifrod?"

Dengan lugunya, Sholeh menjawab, "Tidak Pak Kiai, saya mau tetap saja seperti biasa, tidak usah ganti nama. Saya mau jadi Haji Sholeh saja."

"Ha?............??/


Tips Do'a Kilat Khusus Bagi yang Super Sibuk


Do'a itu macam-macam jenisnya, ada yang panjang-panjang, ada pula yang pendek-pendek. Bagi mereka yang punya banyak waktu luang bisa memilih do'a yang panjang-panjang, dan bagi mereka yang sibuk boleh memilih do'a yang pendek-pendek, yang penting do'anya dimunajatkan dengan khusyu' dan ikhlas.

Kalau misalnya anda kebetulan menemui moment yang super sibuk, jangan lupa untuk tetap berdo'a. Misalnya anda memilih do'a yang pendek, do'a yang sudah pendek itu boleh diwinzip atau dikompress menjadi lebih singkat dan padat, yang biasanya satu paragraf menjadi satu baris saja. Lho..., gimana caranya???

Gampang,...
Pertama, inventarisir dulu apa yang akan anda minta dari Tuhan. Boleh dengan membuat daftar permintaan.

Kedua, yakinkan diri anda. Apakah permintaan anda itu sudah cukup atau belum, atau mungkin ada yang mau ditambahkan ataupun dikurangi.

Ketiga, jangan sekali-kali berburuk sangka bahwa do'a anda tidak akan dipenuhi Tuhan. Dari pada su'udzon kepada Tuhan mendingan nggak usah berdoa saja. Karena itu sama saja dengan buang-buang waktu.

Keempat, jika poin di atas sudah selesai, bubuhkanlah bacaan basmallah, hamdallah, dan shalawat Nabi sebelum anda memanjatkan permintaan anda kepada Tuhan, agar do'a anda sampai ke tujuan dan tidak terkatung-katung di bawah  'Arsy.

Kelima, gantilah daftar permintaan anda yang banyak tadi dengan kalimat sederhana dan singkat yang bunyinya kira-kira begini: "Ya Allah Yang Maha Tahu, Engkau Tahu yang Aku Mau, Maka Kabulkanlah Permintaanku, Amiiin"

Jika ternyata do'a anda tidak dikabulkan Tuhan, jangan segan-segan untuk sering-sering berdo'a kepada-Nya, karena pada akhirnya Dia akan merasa iba juga kepada anda, karena Tuhan memang memang Maha Iba kepada semua makhluk-Nya.


Kata Gus Dur, Sakit Gigi Lebih Sakit dari Sakit Hati


Saat Gus Dur sakit gigi, ia masih bisa bergurai. Kepada seorang pengawalnya ia bergumam, ”Ternyata sakit gigi itu lebih sakit dari sakit hati.”

”Lho kog bisa Gus? Bukannya malah terbalik, sakit hati itu lebih sakit rasanya dibanding sakit gigi?” kata pengawal Gus Dur, mungkin dia mengingat syair lagu dangdut Meggi Z.

Tapi Gus Dur langsung menjawab, ”Lha wong sekarang saya sakitnya sakit gigi kog,” katanya.

Pengawal Gus Dur itu tak bisa menjawab.

 http://www.nu.or.id/page.php

Penciptaan Alam Semesta Menurut Al Ghazali dan Ibnu Rusyd



Penciptaan Alam Semesta Menurut Al Ghazali dan Ibnu Rusyd
Alam Semesta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Al-Ghazali merupakan tokoh penentang dan penyanggah falsafa (filsafat Islam) yang paling brilian. Oliver Leaman dalam Pengantar Filsafat Islam menulis bahwa Al-Ghazali seringkali menyerang para filsuf dengan dasar argumen yang mereka pergunakan sendiri, sambil menyampaikan pendapatnya secara filosofis dengan menyatakan bahwa tesis-tesis utama mereka adalah tidak benar dilihat dari sudut-sudut dasar logika itu sendiri.

Sebagai contoh, dalam bukunya The Incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh pernyataan yang ia coba buktikan kesalahannya. Tujuh belas di antaranya menimbulkan bid’ah karena dianggap menyimpang dari ajaran yang asli, yakni Alquran. Dan, tiga di antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia ka tegorikan sebagai orang yang tidak beriman, bahkan dengan tuduhan yang lebih berat lagi.

Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini, Al-Ghazali mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat dalam ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam logika. Maka, dalam banyak hal mereka berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan metafisik. Ajaran Aristoteles tentang masalah-masalah ini, sebagaimana yang dilansir oleh Farabi dan Ibnu Sina, mendekati inti pokok ajaran filsafat Islam”.

Salah satu filsuf Muslim yang mendapat kritikan dari Al-Ghazali adalah Ibnu Rusyd. Menurut Leaman, silang pendapat antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sangat menarik karena argumen-argumen yang disampaikan oleh keduanya selalu melahirkan masalah-masalah khusus yang bersifat kontroversial. Contohnya adalah perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tentang penciptaan alam.

Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim. Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya.

Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).

Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam.

Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut para filsuf Muslim, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah dari pada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta.

Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan dengan ajaran Alquran. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam Alquran.

Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al-'adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan.

Sementara itu, menurut Sulaiman Dunya dalam pengantarnya tentang "Al-Ghazali: Biografi dan Pemikirannya", dalam Terjemahan Tahafut al-Falasifah, karya Al-Ghazali ini belum menggambarkan secara keseluruhan pemikiran Al-Ghazali. Sebab, komentar AlGhazali tentang kehancuran para filsuf ini, kata Sulaiman, sebelum ia mendapatkan pencerahan petunjuk mengenai `ketersingkapan tabir­sufistik' (al-kasyf ash-Shufiyyah). Maksudnya, secara keseluruhan AlGhazali menerima pemikiran filsafat selama pandangan itu sesuai dengan pandangan Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/islam-digest/10/12/01/149868-penciptaan-alam-semesta-menurut-al-ghazali-dan-ibnu-rusyd

Inilah Rute Hijrah Nabi Muhammad SAW Dahulu



Inilah Rute Hijrah Nabi Muhammad SAW Dahulu
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketika berbagai cobaan dan ujian silih berganti dialami umat Islam, Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk segera berhijrah ke Yatsrib. Perihal tempat untuk hijrah ini, Allah SWT telah memberitahukan Rasulullah.

Dalam buku berjudul Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Martin Lings mengungkapkan, Nabi SAW sudah mengetahui bahwa Yastrib adalah lahan subur di antara dua jalur batu-batu hitam yang beliau lihat dalam mimpinya. Beliau juga tahu bahwa tibalah waktunya untuk hijrah.

Sementara itu, Dr Ahzami Samiun Jazuli dalam bukunya mengenai Hijrah dalam Pandangan Al-Quran menuliskan, Imam Muslim mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Aku melihat dalam tidur bahwa aku berhijrah dari Makkah menuju suatu tempat yang banyak terdapat pohon kurma. Aku mencoba menebak apakah itu Yamamah atau Hajar? Namun, ternyata, itulah Kota Yatsrib.” (Shahih Muslim: 2272).

Rasul pun memerintahkan para sahabatnya untuk segera berhijrah, baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok. Adapun Rasul SAW, rencananya akan menyusul setelah semua umat Islam berhijrah ke Madinah. Sebab, Rasul mengetahui, yang dimusuhi oleh kaum kafir Quraisy adalah diri beliau, dan bukan kaum Muslimin.

Kaum Quraisy pun menyiapkan strategi untuk melakukan penangkapan terhadap Rasul SAW. Namun, rencana kaum Quraisy ini diketahui oleh Nabi SAW. Saat itu, Rasulullah sendiri memang masih tinggal di Makkah dan kaum Muslim sudah tidak ada lagi yang tinggal, kecuali sebagian kecil. Sambil menunggu perintah Allah SWT untuk berhijrah, Nabi SAW menemui Abu Bakar dan memberitahukannya untuk bersiap hijrah ke Madinah.

“Dan, katakanlah, Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.”(Al-Isra [17]: 80).

Di sinilah, sebagaimana dipaparkan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya Hayatu Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya demi kebenaran, keyakinan, dan keimanan.

Untuk mengelabui kaum Quraisy, Rasulullah memutuskan akan menempuh jalan lain (rute yang berbeda) dari jalur yang biasa digunakan penduduk Makkah untuk menuju Madinah. Rasulullah SAW memutuskan akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.
Padahal, Abu Bakar sudah menyiapkan dua ekor unta sebagai kendaraan yang akan dipergunakan Nabi SAW pada saat berhijrah. Hijrah ini dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan dakwah dan akidah Islam serta kaum Muslimin.

Rute yang ditempuh Rasul itu adalah setelah keluar dari rumah beliau, jalan yang ditempuh adalah Gua Tsur, berjarak sekitar 6-7 kilometer di selatan Makkah. Sedangkan Madinah berada di sebelah utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy. Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar tinggal selama kurang lebih tiga hari.

Selanjutnya, beliau mengambil jalur ke arah barat menuju Hudaibiyah, arah sebelah timur desa Sarat. Kemudian, menuju arah Madinah dan berhenti di sebuah kawasan di al-Jumum dekat wilayah Usfan. Lalu, bergerak ke arah barat dan memutar ke perkampungan Ummul Ma'bad dan berhenti di wilayah Al-Juhfah.

Selanjutnya, beliau menuju Thanniyat al-Murrah, Mulijah Laqaf, Muwijaj Hujaj, Bath Dzi Katsir, hingga tiba di Dzu Salam. Di sini, beliau memutar ke arah barat sebelum meneruskan ke arah Madinah dan berhenti di daerah Quba. Di sinilah beliau mendirikan Masjid Quba, yaitu Masjid pertama yang didirikan Rasul SAW.

Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilometer dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya, melaksanakan shalat Jumat. Untuk memperingati peristiwa itu, dibangunlah masjid di lokasi ini dengan nama Masjid Jumat. Setelah itu, barulah Rasul SAW menuju Madinah.

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/islam-digest/10/12/08/151083-inilah-rute-hijrah-nabi-muhammad-saw-dahulu

Iwan Fals Selami Islam di Pesantren Pandanaran







“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang untuk aku anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan, walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah…”.
Alunan lagu yang mengajak setiap pendengar menghormati seorang ibu itu biasanya terdengar di tape, radio atau nada dering telepon genggam. Tapi malam itu, sang pelantun, Iwan Fals, membawakannya langsung di hadapan para santri Pesantren Sunan Pandanaran.
Kali ini, pemilik nama asli Virgiawan Listanto itu tidak sedang konser untuk memenuhi hasrat anak muda yang tenggelam dalam hura-hura. Tetapi bersama santri ingin menyelami nilai-nilai keislaman lewat lagu yang pernah ia ciptakan. Maka, lagu pembuka bertema Ibu ia bawakan untuk mengajak semua pendengar menjunjung tinggi harkat ibu yang begitu dihormati dalam ajaran Islam.
Malam itu, 26 April 2010, suasana di Komplek al-Khandaq memang berbeda dari hari-hari biasanya. Para santri melewati malam di tengah hingar-bingar suara musik rock yang dipadu dengan musik Jawa, racikan grup musik Ki Ageng Ganjur. Menurut Zastrouw al-Ngatawi, pimpinan Ki Ageng Ganjur, konser tersebut merupakan rangkaian dakwah menyebarkan ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Zastrouw menyampaikan pesan-pesan agama dalam bingkai ceramah budaya, sedangkan Bang Iwan, panggilan akrab Iwan Fals, melantunkan lagu-lagu bernafas keislaman. Perpaduan keduanya menghasilkan model dakwah “gaya baru”. Tetapi justru berhasil menyihir para santri, hingga mereka betah berlama-lama duduk termangu di atas rumput tanpa alas.
Sesaat sebelum Iwan Fals tampil di panggung, Zastrouw mengatakan bahwa esensi dari syair lagu Iwan selaras dengan ayat-ayat Al-Quran. “Kepekaan batin Mas Iwan melahirkan lagu-lagu yang selaras dengan ayat-ayat Al-Qur’an,” kata lelaki yang selalu mengenakan blangkon ini.
Zastrouw mengaitkan syair-syair lagu Iwan Fals dengan kisah-kisah yang masyhur di telinga umat Islam. Lagu Ibu, misalnya, mengingatkan kita pada hadis Nabi yang menyebut “ibu” sebanyak tiga kali, baru kemudian beliau menyebut “ayah” yang hanya sekali ketika ditanya tentang siapa orang yang paling berhak dihormati.
Setelah Zastrouw selesai menyampaikan nilai keislaman dalam lagu Ibu tersebut, Iwan pun keluar menuju panggung yang disambut teriakan dan tepuk tangan para santri dan OI (penggemar Iwan Fals).
Malam itu Iwan Fals tampil sangat sederhana. Ia hanya mengenakan kaos oblong putih, syal biru melilit di leher, plus celana bercorak batik. Tak ketinggalan, ia menenteng gitar dengan lubang resonansi menyerupai buah jeruk.
Saat melantunkan tembang Ibu, raut muka Iwan tampak sangat serius. Tidak sedikit pun senyum yang tersungging dari bibirnya. Boleh jadi, itulah perasaan terdalam yang ingin ia bagi kepada para pendengar.
KH Mu’tashim Billah, pengasuh Pesantren Pandanaran, mengaku takjub akan daya magis yang dimiliki seorang Iwan Fals. Beliau mengungkapkan, banyak santri yang seolah-olah ruhnya ikut bernyanyi ketika Iwan Fals beraksi di atas panggung.
Iwan Fals memang dikenal sebagai musisi yang menciptakan lagu untuk menyuarakan suara hati dan pikirannya. Ide dan pikiran yang berkecamuk di kepalanya ia tuangkan ke dalam lagu. Termasuk juga tentang pengalaman spiritualitas. Tak mengherankan jika lagu-lagu Iwan Fals terkini banyak mengangkat tema religi, bukan lagi tentang “pemberontakan” seperti dulu. Sebut saja Hadapi Saja, Doa dan Ya Allah Kami, dan sebagainya.
Dalam konser bertajuk Perjalanan Spiritual Iwan Fals malam itu, Iwan membawakan lima lagu bertema kemanusiaan. Usai membawakan lagu Ibu, ia menyanyikan lagu Siang Seberang Istana, disusul Tanam Siram Tanam, Dendam Damai dan diakhiri dengan Bento. Lagu Bento, menurut Zastrouw, mirip dengan kisah dalam Al-Qur’an tentang Qarun. Qarun adalah kroni Fir’aun yang kaya raya. Tetapi kekayaannya ia belanjakan untuk mendukung kezaliman. Akhirnya, ia pun dibenamkan oleh Allah ke dalam bumi.
Mengarungi dunia spiritual
Setelah menciptakan begitu banyak lagu yang sarat nilai hikmah, Iwan pun akhirnya melangkah ke dalam dunia yang lebih tinggi. Dunia spiritual. Ketika ditemui Suara Pandanaran, Iwan mengakui bahwa kunjungannya ke Ponpes Sunan Pandanaran ini untuk memperkaya jiwa.
“Saya terbentur cobaan-cobaan hidup yang membuat saya, mau tidak mau, harus mengadu kepada Tuhan. Itulah mengapa saya berkunjung ke berbagai pesantren dan berziarah ke makam para ulama”, ungkap Iwan.
Dalam kunjungannya itu pun, Iwan tak lupa menziarahi makam KH Mufid Mas’ud, pendiri Ponpes Sunan Pandanaran. “Ketika berziarah ke makam ulama, kita membaca Fatihah, alif lam mim dan seterusnya, sehingga batin kita menjadi adem dan damai. Dari ziarah ini, kita juga akan lebih menghormati para leluhur,” jelas Iwan mengungkapkan pengalamannya.
Selain berkunjung ke Ponpes Pandanaran, perjalanan spiritual Iwan Fals juga membawanya ke banyak pesantren di Pulau Jawa. Sejak 19 April 2010, Iwan telah menyambangi Ponpes Mambaul Huda (Pekalongan), Ponpes Raudhatut Thalibin (Rembang), Ponpes Raudhatul Ath-Thohiriyyah (Pati), Ponpes Hasyim Asy’ari (Jepara), Ponpes Al-Muttaqien Pancasila Sakti (Klaten), dan Ponpes Sunan Pandanaran (Yogyakarta).

http://pandanaran.org/index.php/component/content/article/1-latest-news/47-iwanfals

Biografi KH Mufid Mas'ud : Pendiri PP Pandan Aran Jogjakarta






Buah jatuh tak pernah jauh dari pohonnya. Demikian pepatah Melayu yang menggambarkan adanya kedekatan kepribadian dan kualitas seseorang dengan nenek moyangnya. Nah, kalau kita melihat garis silsilah KH. Mufid Mas’ud, pepatah Melayu itu tampaknya tidak salah.
KH. Mufid merupakan keturunan ke-14 dari Sunan Pandanaran. Beliau adalah wali Allah yang menyebarkan Islam di daerah Tembayat, Klaten, Jawa Tengah, atas perintah Sunan Kalijaga. Karena besarnya jasa beliau dalam penyebaran Islam, banyak orang yang beranggapan bahwa ziarah ke makam Wali Songo belum lah sempurna jika tidak menziarahi makam Sunan Pandanaran (Sunan Bayat).
KH. Mufid berazam untuk melanjutkan syiar Islam pendahulunya dengan mendirikan sebuah pondok yang kemudian beliau namakan Pesantren Sunan Pandanaran. Sejak berdirinya hingga sekarang, pondok ini sudah mencetak banyak alumni yang berkecimpung dalam dakwah islamiyah di berbagai daerah.
Di antara mereka ada yang menjadi da’i, pimpinan pondok, guru, pejabat pemerintah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, syiar Islam di bawah keturunan Sunan Pandanaran tetap berlanjut hingga sekarang dan masa-masa yang akan datang.
Al-Mukarram KH. Mufid sendiri lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tahun 1928, bertepatan dengan hari Ahad Legi 25 Ramadhan. Beliau merupakan putra kedua dari tujuh bersaudara. Ayahanda beliau bernama Kiai Ali Mas’ud yang kini makamnya berada di kompleks makam Golo Paseban Bayat, Klaten.
Melihat garis keturunan KH. Mufid tersebut dapat dipastikan bahwa beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agamis. Di samping mendapatkan bimbingan keagamaan langsung dari orang tua, pendidikan dasar KH Mufid ditempuh di Madrasah Ibtidaiyah Manbaul ‘Ulum, cabang Solo. Lembaga pendidikan Islam ini didirikan oleh Paku Buwono X. Dan ketika KH Mufid menempah pendidikan di sana, madrasah tersebut diasuh oleh KH. Sofwan.
KH. Mufid mengenyam pendidikan dasar di Manbaul ‘Ulum selama lima tahun, yaitu mulai tahun 1937 hingga 1942. Kemudian, pada tahun 1942 pula, beliau nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Tahun itu bertepatan dengan tujuh bulan setelah kedatangan tentara kolonial Jepang di Indonesia.
Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1945, beliau melanjutkan hafalan Al-Qur’an kepada KH. Muntaha di Wonosobo. Langkah ini beliau tempuh atas anjuran gurunya di Klaten, KH Sofwan. Namun di tahun 1950, KH Mufid kembali ke Krapyak dan menikah dengan putri KH. Munawir (pengasuh Pesantren Krapyak), Hj. Jauharoh.
Sejak saat itu, KH Mufid termasuk salah satu pengasuh Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Meski demikian, beliau masih tetap mengaji Al-Qur’an kepada KH Abdul Qadir dan KH Abdullah Affandi. Sedangkan untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya, beliau mengaji kitab kepada KH Ali Maksum.
Keuletan KH Mufid saat mendalami ilmu agama tidak pernah disangsikan oleh orang-orang terdekatnya. Adik beliau, Hj. Qomariyah Abdul Chanan misalnya, menyatakan bahwa kakak kandungnya itu sangat rajin menuntut ilmu. Menurutnya, sampai-sampai beliau pernah dikabarkan hilang saat terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Tetapi akhirnya dapat kembali bertemu dengan keluarga.
Agaknya, rajin belajar saja bagi KH Mufid tidaklah cukup. Ada hal lain yang menurutnya harus dijalankan oleh seorang pencari ilmu agar mendapatkan ilmu yang berkah, yaitu shuhbatu ustazin atau taat dan bersahabat karib dengan guru. Hal itu pula yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i, bahwa ilmu tidak akan bermanfaat kecuali bila seorang murid melakukan enam perkara. Salah satunya shuhbatu ustazin.
KH Mufid, dalam banyak kesempatan menekankan pentingnya shuhbatu ustazin itu. Beliau mengaku sering bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh Islam. Bahkan, mengakui pula telah terpengaruh oleh mereka.
Di antaranya adalah KHAbdul Hamid (Pasuruan), Sayyid Muhammad Ba’abud (Malang), KH Muntaha (Wanosobo), KH Ali Maksum (Yogyakarta), Syeikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa (Makkah), dan Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwy Al-Hasani Al Maliky Al-Makky (Makkah).
Mendirikan Pesantren Pandanaran
Dengan modal Al-Qur’an, pengetahuan keislaman, dan jalinan silaturahmi yang erat dengan tokoh-tokoh Islam itu, KH Mufid berketetapan hati mendirikan pesantren yang hingga kini dikenal dengan Pondok Pesantren Sunan Pandananaran (PPSPA).
Mula-mula, pesantren ini berdiri di atas tanah wakaf seluas 2000 meter persegi, dengan satu rumah dan mushalla di atasnya. Secara resmi PPSPA berdiri pada 17 Dzulhijjah 1395 H, bertepatan dengan tanggal 20 Desember 1975 M. Peresmiannya dilakukan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII, dengan disaksikan Bupati Sleman, Drs. Projosuyoto, serta tokoh-tokoh agama dan masyarakat.
Terdapat harapan besar dari masyarakat yang dipikulkan di pundak KH Mufid. Pasalnya, PPSPA dinilai akan mampu menjadi agen perubahan bagi masyarakat sekitar, baik itu perubahan moral ataupun pemantapan akidah. Masyarakat di kawasan candi ketika itu masih belum banyak yang taat beragama, meskipun secara formal mereka memeluk Islam. Nah, salah satu tugas berat KH Mufid adalah mendidik masyarakat agar semakin taat beragama. Itu di satu sisi.
Di sisi yang lain, keberadaan PPSPA diharapkan mengubah tatanan masyarakat. Dari masyarakat yang kurang memegang nilai-nilai moral, menuju masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas kemanusiaan.
Bu Sri, sorang penduduk asli Candi mengatakan, “Dulu di sini sepi, tidak hanya maling yang banyak, makhluk halus juga banyak”. Suasana di malam hari terasa mencekam, karena sangat sepi dan minim penerangan. Keadaan semacam ini yang mendorong para pencuri untuk segera beraksi.
Berdirinya PPSPA, berlahan tapi pasti dapat mengubah keadaan itu menjadi lebih baik. Masyarakat sekitar tidak hanya menjadi baik agama dan moralitasnya, tetapi juga meningkat kualitas ekonominya. Karena, dengan semakin banyaknya santri di PPSPA, masyarakat sekitar ikut menikmati kegiatan ekonomi dengan mendirikan warung makan, toko kelontong, dan lain sebagainya. (Rido)

http://pandanaran.org/index.php/khmufid/biografi

Ponpes Sunan Pandanaran







Pondok Pesantren  Sunan  Pandanaran didirikan oleh Al-Maghfurlah  Al-‘Alim Al-Khafidz KH. Mufid Mas’ud dan istrinya Ny. Hj. Jauharoh Munawwir. KH. Mufid Mas’ud dilahirkan di Solo tahun 1928 pada hari Ahad Legi 25 Ramadhan, wafat tanggal 2 April 2007 silam di Jogjakarta. PPSPA didirikan tanggal 20 Desember 1975 di dusun Candi Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Sebelum hijrah ke Candi, KH. Mufid Mas’ud merupakan salah satu pengasuh di PP. Al Munawwir Krapyak Bantul Yogyakarta.
Di atas tanah wakaf sekitar 2000 m2 dengan bangunan di atasnya berupa sebuah rumah dan sebuah masjid, area yang sekarang disebut komplek satu. Seiring perjalanan waktu, PPSPA telah mampu mengembangkan pendidikan-pendidikan yang dikelolanya. PPSPA sekarang memiliki lima komplek asrama yang terpisah-pisah, dengan jumlah santri mukim kurang lebih 1300-an anak.
PPSPA identik dengan al-Qur’an, lembaga ini sejak awalnya memang bertujuan untuk menjadi kawah candradimukanya para calon-calon khaafid-khaamil al-Qur’an. Falsafah pendidikan al-Qur’an menerangkan bahwa Ia merupakan kitab petunjuk (hidâyah) yang mampu menuntun manusia keluar dari kegelapan (dzulumât) menuju arah kehidupan yang penuh pancaran cahaya keimanan (nur). Falsafah itulah yang dijadikan landasan berjalannya roda-roda pendidikan di PPSPA. PPSPA sebagai sebuah institusi pendidikan mengemban misi membebaskan manusia dari gelap-gulitanya kejahiliyahan, mengangkat mereka ke atas kemuliaan hidup dunia-akhirat yang berselimutkan cahaya keagungan Tuhan.
Pada mulanya PPSPA hanya memiliki program pendidikan Tahfidz al-Quran. Kini, unit kegiatan pendidikan yang di selenggarakan PPSPA telah berkembang menjadi lima program.  Selain program tahfidz, sistem pendidikan yang diadopsi PPSPA merupakan formulasi sistem pendidikan pesantren salafi dan formal (madrasah) sesuai dengan standar kurikulum Diknas. Pengembangan dan penyempurnaan kurikulum serta metode pembelajaran terus dikembangkan oleh pihak pengelola. Ini dimaksudkan agar cita-cita PPSPA untuk mampu mencetak generasi bangsa yang mumpuni dari segi  ilmu agama dan umum dapat diwujudkan. Kurikulum yang diterapkan di madrasah (TK, MI, MTs, dan MA) mengacu pada ketentuan pemerintah dengan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP).

 http://pandanaran.org/index.php/tentang

Mengenang Sejarah Persis dari masa ke masa jamiyyah


Mengenang Sejarah Persis dari masa ke masa
Kurang dari sebulan lagi, Persatuan Islam (Persis) beserta otonomnya akan mengadakan muktamar ke-I4, tepatnya tanggal 25-27 September 2010 yang akan diselenggarakan di dua kota, Tasikmalaya dan Garut. Untuk menyegarkan kembali semangat kejamiyyahan mari sejenak kita tengok kembali bagaimana kiprah Persis sepanjang sejarahnya.
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (Salamadani Publishing, Oktober 2009, hal. 470-483) menulis bahwa atas prakarsa Haji Zamzam (1894-1952 M) dan Haji Yunus di Bandung pada 30 Muharram 1342 H/Rabu Legi, 12 September 1923 M. didirikan organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis) untuk menyatukan pemahaman keislaman di masyarakat Indonesia dengan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah, Arab Saudi, ini tampil berdakwah sekaligus menentang segala praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam.
Selain berupaya memurnikan akidah umat Islam, juga—menurut Ahmad Mansur—menentang imperialis Barat, Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintahan kolonial Belanda yang bercokol di Indonesia.
“Para ulama aktivis organisasi ini, semuanya berupaya membangkitkan kesadaran beragama, kesadaran berbangsa dan bernegara serta menumbuhkan kesadaran bersyariah Islam. Pada umumnya, para aktivis menggunakan dana pribadi dalam aktivitas gerakannya,” tulis Ahmad Mansur.
Dalam bukunya, Ahmad Mansur Suryanegara juga menguraikan tentang biografi A.Hassan sejak kelahiran sampai mendirikan Persis di Bandung dan Bangil. Bahkan, disebutkan bahwa A.Hasan merupakan tokoh yang menolak asas gerakan kebangsaan atau nasionalisme yang sedang diperjuangkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) (baca hal.478).
Dakwah yang dilakukan A.Hassan melalui Persis dengan gerakan pemurnian mendapat tantangan dari masyarakat, bahkan berdebat dengan Mama Adjengan Gedong Pesantren Sukamiskin dan KH.Hidayat dengan latar belakang budaya Sunda.
Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi.
Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis.
Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan.
Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll.
Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis).
Pada masa ini terdapat perbedaan yang cukup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Pada masa ini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Di bawah kepemimpinan KH. Shiddiq Amienullah, anggota simpatisa Persis beserta otonomnya tercatat kurang lebih dari tiga juta orang yang tersebar di 14 provinsi dengan 7 pimpinan wilayah, 33 Pimpinan Daerah dan 258 Pimpinan Cabang.
Bersama lima organisasi otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri (Persistri), Pemuda Persis, Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, Himpunan Mahasiswi Persis, aktifitas Persis telah meluas ke dalam aspek-aspek lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan dan tabligh.
Tetapi aktifitas Persis meluas ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh umat Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi), dakwah, bimbingan haji, perzakatan, social ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik yakni pembangunan-pembangunan masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan luar negeri, menyelenggarakan berbagai seminar, pelatihan dan diskusi pengkajian Islam.
Demikian pula fungsi Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan hokum Islam di kalangan Persis serta Dewan Tafkir semakin ditingkatkan aktiftasnya dan semakin intensif dalam penelaahan berbagai masalah hokum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian social semakin banyak dan beragam. 
http://www.persis.or.id/?mod=content&cmd=news&berita_id=1246

Sejarah Muhammadiyah


MasjidMasjid Gedhe Kauman
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Disamping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namnaya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
Tabel Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Periode Kepemimpinannya
No Nama Awal Menjabat Akhir Menjabat
1 KH Ahmad Dahlan 1912 1923
2 KH Ibrahim 1923 1932
3 KH Hisyam 1932 1936
5 KH Mas Mansur 1936 1942
6 Ki Bagoes Hadikoesoemo 1942 1953
7 Buya AR Sutan Mansur 1953 1959
8 HM Yunus Anis 1959 1962
9 KH Ahmad Badawi 1962 1968
10 KH Faqih Usman 1968 1971
11 KH AR Fakhruddin
1971 1990
12 KHA Azhar Basyir 1990 1995
13 Amien Rais 1995 2000
14 Syafii Ma'arif
2000 2005
15 Din Syamsuddin 2005 sekaran

Sabtu, 22 Januari 2011

Hana Tajima Simpson: Muda, Modis, Enerjik, dan ...(Kini) Muslim



.
Hana Tajima Simpson: Muda, Modis, Enerjik, dan ...(Kini) Muslim
Hana Tajima Simpson
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Hana Tajima Simpson, siapa fashionista Inggris yang tak mengenalnya? Lama bergelut dengan dunia mode, ia kini menekuni lini busana Muslimah trendy namun tetap syar'i, dengan label Maysaa.

Busana-busana rancangannya kerap diulas majalah mode negeri itu. Bahkan, majalah sekelas Vogue pun pernah memajang kreasinya.

Ciri rancangan Hana adalah simpel, mengikuti tren, dan tentu saja, tetap syar'i. Rancangannya jauh dari kesan bahwa busana Muslimah itu harus kedodoran, padanan warnanya norak, dan tak rapi.

"Menjadi Muslimah di negara barat dapat sedikit enakutkan. Anda tahu, busana juga bisa menciptakan sesuatu yang akan membantu Muslimah di mana-mana terus termotivasi untuk tetap mengenakan hijab namun juga "diterima" karena pakaian mereka," ujarnya.

Hana belajar dari pengalamannya. Ia menjadi mualaf lima tahun lalu. Sejak bersyahadat, ia memutuskan untuk berbusana Muslimah. "Seluruh pakaian masa lalu, saya wariskan pada adik perempuan saya," ujarnya.

Ia memadupadan sendiri penampilannya. Hingga akhirnya ia sadar, harus berbuat sesuatu untuk "mendandani" Muslimah. Maka ia merintis blog fashion, sebelum akhirnya membuat majalah mode dan lini produk sendiri, Maysaa.

***

Mengorek masa lalu Hana, tak semudah menemukan artikel tentang karya-karyanya. Ia memang tak begitu suka mengumbar kisah pribadinya. Hana hanya memberi sedikit bocoran: ayahnya, Tajima, berasal dari Jepang dan ibunya dari Inggris. Mereka kemudian menetap di London.

Ia menjadi Muslim saat menginjak bangku kuliah. Hana menyatakan, ia muak dengan kehidupan anak muda London yang  tak bisa lepas dari pub dan pergaulan bebas. Dia sendiri mengaku sangat berminat pada filsafat.

Suatu ketika, ia mengaku bingung dengan kehidupannya. Bukan ikut-ikutan teman-temannya lari ke pub, ia memilih untuk menenggelamkan diri melahap buku-buku filsafat. Juga isu-isu gender.

"Semakin banyak saya membaca, semakin saya  menemukan diri saya setuju dengan ide-ide Islam," ujarnya. Namun saat itu ia masih tidak ingin menjadi Muslim. "Hingga tiba di  suatu titik di mana saya tidak bisa mengatakan tidak pada diri saya tentang kebenaran agama ini, maka saya bersyahadat," ujarnya.
***
Hana mulai mengenakan jilbab di hari yang sama ia bersyahadat. "Pada tingkat pribadi, itu adalah cara yang baik untuk membedakan apa yang telah terjadi sebelumnya dalam hidup saya, dengan apa yang akan terjadi di depan saya," ujarnya.

Ia pergi bersyahadat di antar sang adik yang berprofesi sebagai seorang fotografer. Sepanjang perjalanan, ia menjadi objek fotografi adiknya.

Pada awal berjilbab, ia merasa "keluar dari diri saya". Padahal, ia sudah merancang busana-busananya -- Hana menjadi perancang sejak usia belia -- senyaman mungkin.  "Ada hari-hari ketika saya mendapatkan seseorang memberi saya tatapan kritis, tapi saya tahu kenapa inilah salah satu risiko penegasan konstan dari apa yang saya percaya," ujarnya.

Bahkan di lingkungan teman dekatnya, semua agak berubah menjadi canggung setelah ia berjilbab. "Ketika aku menjadi lebih nyaman dengan itu semua, orang-orang lebih santai. Pada umumnya diperlukan waktu sekitar 5 menit bagi seseorang untuk berhenti berpikir 'mengapa ia memakai hal di atas kepalanya' dan benar-benar berkomunikasi dengan kita secara wajar," ujarnya.

Berbarengan dengan itu, ia membuat blog StyleCovered, berisi panduan berjilbab. Ia mengambil arus yang berbeda berdasar pengalamannya: busana casual yang simpel, hampir seperti "busana sopan" yang dikenakan wanita lain sehari-hari. Dengan gaya busana ini, orang lain tak akan "kaget" atau canggung.

Tak diduga, blognya laris manis dan jadi rujukan Muslimah tak hanya di Inggris tapi juga berbagai negara. Ia pun mulau rajin mengeluarkan rancangan-rancangannya sendiri.

Ia mengaku banyak terinspirasi Muslimah Indonesia dalam merancang busana. "Saya mendapatkan inspirasi begitu banyak dari gadis-gadis Indonesia yang memakai jilbab. Cara mereka memadankan warna tidak seperti tempat lain, dan itu sesuatu yang saya sedang mencoba untuk dimasukkan ke dalam gaya saya sendiri," ujarnya.

Kini, ia menjadi ikon baru generasi muda Inggris. Muda, energik, modis, dan...Muslim.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/01/14/158542-hana-tajima-simpson-muda-modis-enerjik-dan-kini-muslim

Tarekat Qodiriyah

Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi QS. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dal lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka'iyah, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia.
Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan ulama Indonesia pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram. Selanjutnya jalur salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nur Annaum Suryadipraja bin Haji Agus Tajudin yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis salsilah ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin.
Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Ia sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya yang bertempat di Bogor Baru kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat. Rekaman suara tausiahnya pada setiap pelaksanaan kholaqoh dzikirnya dapat didengarkan melalui http://www.SyaikhAchmadSyaechudin.org

http://id.wikipedia.org/wiki/Qodiriyah

Jejak Perjalanan Sains dalam Dunia Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Transformasi peradaban menyentuh bangsa Arab. Para sejarawan mencatat terjadinya perubahan besar berupa pencapain luar biasa di bidang sains dan teknologi. Pada awalnya, tak banyak yang bersentuhan dengan ilmu pengetahuan. Kedatangan Islam mengantarkan mereka pada beragam literatur.

Istilah ilmu atau ilmu yang terdapat dalam kitab suci dan hadis, mendorong geliat tradisi keilmuan. Mereka menyerap ilmu pengetahuan dari beragam sumber. Pedagang dan penjelajah Muslim berperan besar dalam memajukan gairah perubahan di kalangan masyarakat Arab Muslim pada masa awal.

Mereka berasal dari Makkah, Madinah, dan Yaman. Setelah mengadakan perjalanan melintasi gurun pasir, mereka mencapai Mesir, Mesopotamia, dan Suriah yang dikenal sebagai pusat peradaban kuno. Dari wilayah-wilayah itu, berbagai pemikiran ilmiah maupun teknik instrumen lawas dibawa dan diperkenalkan ke jazirah Arab.

Di saat yang bersamaan, muncul kelompok baru di masyarakat Muslim, yakni kalangan terpelajar yang terdiri dari ulama, filsuf, dan cendekiawan. Para tokoh ini sangat tertarik dengan keunggulan peradaban kuno. Mereka menjelma sebagai pendorong utama percepatan kemajuan ilmu di dunia Islam.

Hanya dalam waktu singkat, terjadi perkembangan pesat di bidang politik, sosial, budaya, dan pemikiran. Muhammad Abdul Jabar Beg, peneliti tamu di Cambridge Universtity, Inggris, dalam tulisannya The Origins of Islamic Science menyatakan, Muslim tak hanya mengubah cara pikir, tetapi juga pandangan dunia.

Menurut dia, sikap ini mendorong mereka mengkaji dan mempelajari warisan peradaban kuno yang mereka temukan. Kegiatan itu terus berlangsung hingga masa kekhalifahan pada abad ke-8 Masehi. Para penguasa memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan bidang ilmu.

Buku berjudul Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern karya sejarawan Ehsan Masood mengungkapkan, salah satu ciri periode pembangunan Islam yakni menyerap keunggulan peradaban lain, memodifikasi, dan melakukan inovasi. Islam kemudian melahirkan sejumlah ilmuwan terkemuka di bidang sains dan teknologi.

Kota-kota pusat ilmu, bermunculan di seantero dunia Islam, mulai dari Damaskus, Basra, Kordoba hingga Kairo. Kegiatan intelektual mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang ditandai gencarnya gerakan penerjemahan literatur ilmiah asing.

Beberapa cendekiawan Muslim klasik secara khusus mencatat fenomena perubahan yang terjadi pada masyarakat Arab, terutama kecenderungan akan pen carian ilmu. Mereka itu antara lain Ibnu Qutaibah, AlKhawarizmi, serta Ibnu Al-Qifti. Karya Ibnu Qutaibah berjudul AlMa'arif mengulas hal tersebut dalam perspektif sejarah.

Pada buku ensiklopedia ilmu ini, Ibnu Qutaibah menyingkap beragam pemikiran kuno, termasuk legenda, mitos, dan kepercayaan yang diketahui komunitas Muslim pada masa awal. Terdapat pula kajian terkait ilmu pengetahuan, misalnya, teori penciptaan, astronomi, maupun ilmu bumi.

Deskripsi dari Ibnu Qutaibah menjadi rujukan ilmiah para sarjana Muslim berikutnya, bahkan memengaruhi perkembangan sains di dunia Barat. Sedangkan, buku Mafatih AlUlum (Kunci Ilmu), yang disusun AlKhawarizmi, dipandang sebagai karya umat Islam pertama yang meneliti asal mula sains Islam.

Gagasan itu lantas diperluas AlQifti lewat karyanya, Tarikh AlHukama. Ia menuliskan secara perinci sebanyak 144 biografi filsuf dan cendekiawan kondang pada masa Yunani kuno hingga masa kekhalifahan. Menurut dia, proses transfer ilmu pada masa awal Islam berlangsung lebih pesat di kawasan Semenanjung Arab.

Wilayah itu berdekatan dengan pusat-pusat peradaban kuno. Pengetahuan kuno dalam bidang seni, teknologi, dan pemikiran, disam paikan oleh para hukama (tetua) melalui cerita, dongeng, dan mitos, dari generasi ke generasi. Informasi ihwal pengetahuan dan teknologi itu juga berasal dari para pengembara dan pedagang Islam.

Bangsa Arab menye but sains kuno itu dengan Ulum Al Awa'il, yang segera disesuaikan dengan tradisi setempat dan mulai digunakan secara luas. Misalnya, roda dan kapal layar yang dite mukan peradaban Mesopotamia. Begitu pula standar timbangan dari bangsa Sumeria. Sistem angka Arab berasal dari peradaban India kuno. Proses peralihan Al Qifti mencatat, hingga akhir abad ke-7 Masehi, orang-orang Arab melakukan proses peralihan pengetahuan masih secara lisan, belum dengan tulisan ilmiah. Keingintahuan yang besar dan semangat keilmuan yang membuncah mampu meningkatkan intensitas interaksi antara umat Islam dan sains teknologi kuno.

Penyebaran agama Islam yang kian luas semakin menambah jumlah orang dari berbagai wilayah untuk memeluk agama ini. Hal itu akan memperbanyak khazanah pengetahuan asing yang dapat diserap. Umat Islam menjadi begitu dekat dengan tradisi, sejarah, dan sains peradaban kuno.

"Sebagai contoh, Khalifah Khalid bin Yazid mengawali studi kimia yang diperolehnya dari literatur kuno," urai Muhammad Abdul Jabar Beg. Catatan sejarah mengungkapkan, sang khalifah merupakan salah satu pakar kimia pertama di dunia Islam. Ia memiliki peran besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Khalifah Khalid bin Yazid mendorong para ilmuwan dari Damaskus, Suriah dan Kairo, serta Mesir untuk menerjemahkan buku-buku bidang kimia, kedokteran, dan astronomi dari literatur Yunani kuno dan Koptik ke dalam bahasa Arab. Selanjutnya, kaum cendekia Muslim mengembangkan pemikiran dan inovasinya sendiri.

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/10/09/13/134489-jejak-perjalanan-sains-dalam-dunia-islam

Tarekat Naqsyabandiyah

Tarekat/Tariqat/Tariqah Naqshbandiyah/Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani ("Pembaru Milenium kedua"). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Kata Naqsyabandiyah/Naqsyabandi/Naqshbandi نقشبندی berasal dari Bahasa Arab iaitu Murakab Bina-i dua kalimah Naqsh dan Band yang bererti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Baha-ud-Din Naqshband Bukhari. Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai "pembuat gambar", "pembuat hiasan". Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai "Jalan Rantai", atau "Rantai Emas". Perlu dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsyabandiyah, silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhahu.

PENDIRI TARIQAT NAQSHBANDIYAH

BELIAU adalah Imam Tariqat Hadhrat Khwajah Khwajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah ‘alaih, dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan 1317 Masihi iaitu pada abad ke 8 Hijrah bersamaan dengan abad ke 14 Masihi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan berdekatan Bukhara. Ia menerima pendidikan awal Tariqat secara Zahir dari gurunya Hadhrat Sayyid Muhammad Baba As-Sammasi Rahmatullah ‘alaih dan seterusnya menerima rahsia-rahsia Tariqat dan Khilafat dari Syeikhnya, Hadhrat Sayyid Amir Kullal Rahmatullah ‘alaih. Ia menerima limpahan Faidhz dari Hadhrat Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menerusi Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang telah 200 tahun mendahuluinya secara Uwaisiyah.
Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata: Pada suatu hari aku dan sahabatku sedang bermuraqabah, lalu pintu langit terbuka dan gambaran Musyahadah hadir kepadaku lalu aku mendengar satu suara berkata, “Tidakkah cukup bagimu untuk meninggalkan mereka yang lain dan hadir ke Hadhrat Kami secara berseorangan?”
Suara itu menakutkan daku hingga menyebabkan daku lari keluar dari rumah. Daku berlari ke sebuah sungai dan terjun ke dalamnya. Daku membasuh pakaianku lalu mendirikan Solat dua raka’at dalam keadaan yang tidak pernah daku alami, dengan merasakan seolah-olah daku sedang bersalat dalam kehadiranNya. Segala-galanya terbuka dalam hatiku secara Kashaf. Seluruh alam lenyap dan daku tidak menyedari sesuatu yang lain melainkan bersalat dalam kehadiranNya.
Aku telah ditanya pada permulaan penarikan tersebut, “Mengapa kau ingin memasuki jalan ini?”
Aku menjawab, “Supaya apa sahaja yang aku katakan dan kehendaki akan terjadi.”
Aku dijawab, “Itu tidak akan berlaku. Apa sahaja yang Kami katakan dan apa sahaja yang Kami kehendaki itulah yang akan terjadi.”
Dan aku pun berkata, “Aku tidak dapat menerimanya, aku mesti diizinkan untuk mengatakan dan melakukan apa sahaja yang aku kehendaki, ataupun aku tidak mahu jalan ini.”
Lalu daku menerima jawapan, “Tidak! Apa sahaja yang Kami mahu ianya diperkatakan dan apa sahaja yang Kami mahu ianya dilakukan itulah yang mesti dikatakan dan dilakukan.”
Dan daku sekali lagi berkata, “Apa sahaja yang ku katakan dan apa sahaja yang ku lakukan adalah apa yang mesti berlaku.”
Lalu daku ditinggalkan keseorangan selama lima belas hari sehingga daku mengalami kesedihan dan tekanan yang hebat, kemudian daku mendengar satu suara, “Wahai Bahauddin, apa sahaja yang kau mahukan, Kami akan berikan.”
Daku amat gembira lalu berkata, “Aku mahu diberikan suatu jalan Tariqat yang akan menerajui sesiapa jua yang menempuhnya terus ke Hadhrat Yang Maha Suci.” Dan daku telah mengalami Musyahadah yang hebat dan mendengar suara berkata, “Dikau telah diberikan apa yang telah dikau minta.”
Beliau telah menerima limpahan Keruhanian dan prinsip dasar Tariqat Naqshbandiyah dari Hadhrat Khwajah ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang terdiri dari lapan perkara iaitu:
Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan, Khalwat Dar Anjuman.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga lagi prinsip menjadikannya sebelas iaitu:
Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Jalan Tariqat kami adalah sangat luarbiasa dan merupakan ‘Urwatil Wutsqa (Pegangan Kukuh), dengan berpegang teguh secara sempurna dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Mereka telah membawa daku ke jalan ini dengan Kekurniaan. Dari awal hingga ke akhir daku hanya menyaksikan Kekurniaan Allah bukan kerana amalan. Menerusi jalan Tariqat kami, dengan amal yang sedikit, pintu-pintu Rahmat akan terbuka dengan menuruti jejak langkah Sunnah Baginda Rasulullah Sallahllu ‘Alaihi Wasallam.”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih mempunyai dua orang Khalifah besar iaitu Hadhrat Khwajah ‘Alauddin ‘Attar Rahmatullah ‘alaih dan Hadhrat Khwajah Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih, pengarang kitab Risalah Qudsiyyah.
Dia adalah ibarat lautan ilmu yang tak bertepi dan dianugerahkan dengan mutiara-mutiara hikmah dari Ilmu Laduni. Dia menyucikan hati-hati manusia dengan lautan amal kebaikan. Dia menghilangkan haus sekelian Ruh dengan air dari pancuran Ruhaniahnya.
Dia amat dikenali oleh sekelian penduduk di langit dan di bumi. Dia ibarat bintang yang bergemerlapan yang dihiasi dengan mahkota petunjuk. Dia mensucikan Ruh-Ruh manusia tanpa pengecualian menerusi nafasnya yang suci. Dia memikul cahaya Kenabian dan pemelihara Syari’at Muhammadiyah serta rahsia-rahsia MUHAMMADUR RASULULLAH.
Cahaya petunjuknya menerangi segala kegelapan kejahilan Raja-raja dan orang awam sehingga mereka pun datang berdiri di pintu rumahnya. Cahaya petunjuknya juga meliputi seluruh Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Dia adalah Ghauts, Sultanul Auliya dan rantai bagi sekelian permata Ruhani.
Semoga Allah Merahmatinya Dan Mengurniakan Limpahan Faidhznya Yang Berkekalan Kepada Kita. Amin.

KEKHUSUSAN TARIQAT NAQSHBANDIYAH

HADHRAT Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih yang merupakan salah seorang dari Para Masyaikh Akabirin Naqshbandiyah telah berkata di dalam surat-suratnya yang terhimpun di dalam Maktubat Imam Rabbani, “Ketahuilah bahawa Tariqat yang paling Aqrab dan Asbaq dan Aufaq dan Autsaq dan Aslam dan Ahkam dan Asdaq dan Aula dan A’la dan Ajal dan Arfa’ dan Akmal dan Ajmal adalah Tariqah ‘Aliyah Naqshbandiyah, semoga Allah Ta’ala mensucikan roh-roh ahlinya dan mensucikan rahsia-rahsia Para Masyaikhnya. Mereka mencapai darjat yang tinggi dengan berpegang dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menjauhkan dari perkara Bida’ah serta menempuh jalan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Mereka berjaya mencapai kehadiran limpahan Allah secara berterusan dan syuhud serta mencapai maqam kesempurnaan dan mendahului mereka yang lain.”
Adapun Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Rahmatullah ‘alaih telah menerangkan kelebihan dan keunggulan Tariqah Naqshbandiyah dengan beberapa lafaz yang ringkas dan padat adalah menerusi pengalaman keruhaniannya. Ia merupakan seorang pembaharu agama (Mujaddid/Reformer) pada abad ke 11 Hijrah. Sebelum beliau menerima Silsilah Naqshbandiyah beliau telah menempuh beberapa jalan Tariqat seperti Chishtiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah dan beberapa Tariqat yang lain dengan cemerlang serta memperolehi Khilafah dan Sanad Ijazah. Ia telah menerima Tariqat Silsilah ‘Aliyah Khwajahganiyah Naqshbandiyah dari gurunya Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Beliau telah berpendapat bahawa dari kesemua jalan Tariqat, yang paling mudah dan paling berfaedah adalah Tariqat Naqshbandiyah dan telah memilihnya serta telah menunjukkan jalan ini kepada para penuntut kebenaran.
“Allahumma Ajzahu ‘Anna Jaza An Hasanan Kafiyan Muwaffiyan Li Faidhanihil Faidhi Fil Afaq”
Terjemahan: “Wahai Allah, kurniakanlah kepada kami kurnia yang baik, cukup lagi mencukupkan dengan limpahan faidhznya yang tersebar di Alam Maya.”
Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih telah bersujud selama lima belas hari di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan penuh hina dan rendah diri, berdoa memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ditemukan dengan jalan Tariqat yang mudah dan senang bagi seseorang hamba bagi mencapai Zat Maha Esa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkabulkan doanya dan menganugerahkan Tariqat yang khas ini yang masyhur dengan nisbat Naqshband atau digelar Naqshbandiyah.
Naqsh bererti lukisan, ukiran, peta atau tanda dan Band pula bererti terpahat, terlekat, tertampal atau terpateri. Naqshband pada maknanya bererti “Ukiran yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan kalimah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hati sanubari sehingga ianya benar-benar terpahat di dalam pandangan mata hati yakni pandangan Basirah. Adalah dikatakan bahawa Hadhrat Shah Naqshband tekun mengukirkan Kalimah Allah di dalam hatinya sehingga ukiran kalimah tersebut telah terpahat di hatinya. Amalan zikir seumpama ini masih diamalkan dalam sebilangan besar Tariqat Naqshbandiyah iaitu dengan menggambarkan Kalimah Allah dituliskan pada hati sanubari dengan tinta emas atau perak dan membayangkan hati itu sedang menyebut Allah Allah sehingga lafaz Allah itu benar-benar terpahat di lubuk hati.
Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah ini dinisbatkan kepada Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu yang mana telah disepakati oleh sekalian ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai sebaik-baik manusia sesudah Para Nabi ‘Alaihimus Solatu Wassalam. Asas Tariqat ini adalah seikhlas hati menuruti Sunnah Nabawiyah dan menjauhkan diri dari segala jenis Bida’ah merupakan syarat yang lazim.
Tariqat ini mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syeikh yang sempurna akan terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat yang dengannya Zauq dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperolehi ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah disebut sebagai Majzub.
Dalam Tariqat Naqshbandiyah ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan darjat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syeikh dan Tawajjuh Syeikh. Bersahabat dengan Syeikh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdamping dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Murid hendaklah bersahabat dengan Syeikh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan Syeikh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam Tariqat ini adalah sepertimana Para Sahabat menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berkat dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majlis Hadharat Naqshbandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang hanya akan diperolehi setelah begitu lama menuruti jalan-jalan Tariqat yang lain.
Kerana itulah Para Akabirin Naqshbandiyah Rahimahumullah mengatakan bahawa, “Tariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Tariqat Para Sahabat”.
Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad.” Yang bermaksud, “Dalam Tariqat kami sesiapa pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Tariqat kami pasti tidak akan dapat datang.”
Yakni barangsiapa yang menuruti Tariqat kami, dia takkan diharamkan dari menurutinya dan barangsiapa yang Taqdir Allah semenjak azali lagi telah diharamkan dari menuruti jalan ini, mereka itu sekali-kali takkan dapat menurutinya.
Di dalam Tariqat Naqshbandiyah, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci yang mana di sisi Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah ianya disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau ‘Ainul Yaqin. Ianya merupakan hakikat:
“Bahawa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”.
Semoga Allah Mengurniakan Kita Taufiq.

PERKEMBANGAN TARIQAT NAQSHBANDIYAH

ADAPUN gelaran nama Naqshbandiyah ini mula masyhur di zaman Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih. Menurut Hadhrat Syeikh Najmuddin Amin Al-Kurdi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Tanwirul Qulub bahawa nama Tariqat Naqshbandiyah ini berbeza-beza menurut zaman.
Di zaman Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu sehingga ke zaman Hadhrat Syeikh Taifur Bin ‘Isa Bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih dinamakan sebagai Shiddiqiyyah dan amalan khususnya adalah Zikir Khafi.
Di zaman Hadhrat Syeikh Taifur bin ‘Isa bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan Taifuriyah dan tema khusus yang ditampilkan adalah Cinta dan Ma’rifat.
Kemudian di zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan sebagai Khwajahganiyah. Pada zaman tersebut Tariqat ini telah diperkuatkan dengan lapan prinsip asas Tariqat iaitu Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan dan Khalwat Dar Anjuman.
Kemudian pada zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ini mulai masyhur dengan nama Naqshbandiyah. Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga asas sebagai penambahan dari Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih iaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani.
Pada zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dikenali dengan nama Ahrariyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Bermula dari zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini mula dikenali sebagai Mujaddidiyah dan ilmu tentang Lataif Fauqaniyah dan Daerah Muraqabah pun diperkenalkan. Semenjak itu Tariqat ini mulai dikenali dengan nama Naqshbandiyah Mujaddidiyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Mirza Mazhar Jan Janan Syahid Rahmatullah ‘alaih.
Kemudian Tariqat ini dikenali dengan nama Mazhariyah sehingga ke zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih.
Pada zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, seorang Syeikh dari Baghdad yang bernama Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih telah datang ke Delhi sekembalinya beliau dari Makkah untuk berbai’ah dengan Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih setelah beliau menerima isyarah dari Ruhaniah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengambil Tariqat ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah ini dan beliau telah membawanya ke negara Timur Tengah.
Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih mula memperkenalkan amalan Suluk iaitu Khalwat Saghirah dan Tariqat ini mula dikenali sebagai Naqshbandiyah Khalidiyah di Timur Tengah khususnya di Makkah dan tersebar di kalangan jemaah Haji dari rantau Nusantara dan tersebarlah ia di serata Tanah Melayu dan Indonesia. Walaubagaimanapun di Tanah Hindi, Tariqat ini masih dikenali sebagai Tariqat Naqshbandiyah Mujaddidiyah.
Adapun Para Masyaikh Mutaakhirin yang datang sesudah itu sering menambahkan nama nisbat mereka sendiri untuk membezakan Silsilah antara satu dengan yang lain seperti Naqshbandiyah Khalidiyah dan Naqshbandiyah Mujaddidiyah. Silsilah Naqshbandiyah ini telah berkembang biak dari Barat hingga ke Timur. Meskipun Silsilah ini telah dikenali dengan beberapa nama yang berbeza, namun ikatan keruhanian dari rantaian emas yang telah dipelopori oleh Hadhrat Khalifah Rasulullah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu akan tetap berjalan sehingga ke Hari Qiyamat menerusi keberkatan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kurniakan kepada sekelian Para Masyaikh yang ditugaskan menyambung Silsilah ini.
Dalam perjalanan mencapai kebenaran yang hakiki, terdapat dua kaedah jalan yang biasa diperkenalkan oleh Para Masyaikh Tariqat, iaitu sama ada sesebuah Tariqat itu menuruti Tariqat Nafsani ataupun Tariqat Ruhani.
Tariqat Nafsani mengambil jalan pendekatan dengan mentarbiyahkan Nafs dan menundukkan keakuan diri. Nafs atau keakuan diri ini adalah sifat Ego yang ada dalam diri seseorang. Nafs dididik bagi menyelamatkan Ruh dan jalan Tariqat Nafsani ini amat sukar dan berat kerana Salik perlu melakukan segala yang berlawanan dengan kehendak Nafs. Ianya merupakan suatu perang Jihad dalam diri seseorang Mukmin. Tariqat Ruhani adalah lebih mudah yang mana pada mula-mula sekali Ruh akan disucikan tanpa menghiraukan tentang keadaan Nafs. Setelah Ruh disucikan dan telah mengenali hakikat dirinya yang sebenar, maka Nafs atau Egonya dengan secara terpaksa mahupun tidak, perlu menuruti dan mentaati Ruh.
Kebanyakan jalan Tariqat yang terdahulu menggunakan pendekatan Tariqat Nafsani, namun berbeza dengan Para Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah, mereka menggunakan pendekatan Tariqat Ruhani iaitu dengan mentarbiyah dan mensucikan Ruh Para Murid mereka terlebih dahulu, seterusnya barulah mensucikan Nafs.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memimpin kita ke jalan Tariqat yang Haq, yang akan membawa kita atas landasan Siratul Mustaqim sepertimana yang telah dikurniakanNya nikmat tersebut kepada Para Nabi, Para Siddiqin, Para Syuhada dan Para Salihin. Mudah-mudahan dengan menuruti Tariqat yang Haq itu dapat menjadikan kita insan yang bertaqwa, beriman dan menyerah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Seorang Penyair Sufi pernah berkata,
Al –‘Ajzu ‘An Darakil Idraki Idraku, Wal Waqfu Fi Turuqil Akhyari Isyraku.
Seseorang yang berasa lemah dari mendapat kefahaman adalah seorang yang mengerti; Dan berhenti dalam menjalani perjalanan orang-orang yang berkebaikan adalah suatu Syirik.
Apa maksudnya???
ALLAH HUWA ALLAH HAQQ ALLAH HAYY

Riwayat Tariqah

TARIQAT atau Tariqah merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf yang mana dengannya seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya dengan sifat-sifat Akhlaq yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakikat amalan-amalan Salih di dalam Agama Islam.
Ilmu Tariqat juga merupakan suatu jalan yang khusus untuk menuju Ma’rifat dan Haqiqat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia termasuk dalam Ilmu Mukasyafah dan merupakan Ilmu Batin, Ilmu Keruhanian dan Ilmu Mengenal Diri. Ilmu Keruhanian ini adalah bersumber dari Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diwahyukan kepada Hadhrat Jibrail ‘Alaihissalam dan diwahyukan kepada sekelian Nabi dan Rasul khususnya Para Ulul ‘Azmi dan yang paling khusus dan sempurna adalah kepada Hadhrat Baginda Nabi Besar, Penghulu Sekelian Makhluk, Pemimpin dan Penutup Sekelian Nabi dan Rasul, Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Alihi Wa Ashabihi Wasallam.
Kemudian ilmu ini dikurniakan secara khusus oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada dua orang Sahabatnya yang unggul iaitu Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma. Melalui mereka berdualah berkembangnya sekelian Silsilah Tariqat yang muktabar di atas muka bumi sehingga ke hari ini.
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengurniakan Ilmu Keruhanian yang khas kepada Hadhrat Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu.
Di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang Tabi’in yang bernama Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu juga telah menerima limpahan Ilmu Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam meskipun dia berada dalam jarak yang jauh dan tidak pernah sampai ke Makkah dan Madinah bertemu Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan beliau hidup pada suatu zaman yang sama dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Pada tahun 657 Masihi Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu Wa Rahmatullah ‘Alaih telah membangunkan suatu jalan Tariqat yang mencapai ketinggian yang terkenal dengan Nisbat Uwaisiyah yang mana seseorang itu boleh menerima limpahan Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sekelian Para Masyaikh Akabirin meskipun pada jarak dan masa yang jauh.
Di dalam kitab ‘Awariful Ma’arif ada dinyatakan bahawa di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma telah menghidupkan perhimpunan jemaah-jemaah dimana upacara Bai’ah dilakukan dan majlis-majlis zikir pun turut diadakan.
Tariqat menurut pengertian bahasa bererti jalan, aliran, cara, garis, kedudukan tokoh terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama. Berasaskan tiga huruf iaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang menyatakan bahawa huruf Ta bererti Taubat, Ra bererti Redha dan Qaf bererti Qana’ah. Lafaz jamak bagi Tariqat ialah Taraiq atau Turuq yang bererti tenunan dari bulu yang berukuran 4 hingga 8 hasta dan dipertautkan sehelai demi sehelai. Tariqat juga bererti garisan pada sesuatu seperti garis-garis yang terdapat pada telur dan menurut Al-Laits Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ialah tiap garis di atas tanah, atau pada jenis-jenis pakaian.

Silsilah Tariqah

SETIAP hari sewaktu terbit dan sebelum terbenam matahari, bacalah "A'uzubillahi Minash-Syaitanir Rajim", lalu membaca "Bismillahir Rahmanir Rahim" dan "Surah Al-Fatihah" sekali dan "Surah Al-Ikhlas" sebanyak 3 kali beserta "Bismillahir Rahmanir Rahim", kemudian dihadiahkan pahala bacaan tersebut kepada sekalian Ruhaniyah Para Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah seperti berikut: "Ya Allah, telah ku hadiahkan seumpama pahala bacaan Fatihah dan Qul Huwa Allah kepada sekelian Arwah Muqaddasah Masyaikh Akabirin Silsilah 'Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah." Seterusnya membaca Syajarah Tayyibah ini pada kedua-dua waktu yang tersebut.
Bismillahir Rahmaanir Rahiim
Kepada hamba yang faqir dan hina yang di bawah telapak kaki Para Masyaikh yang tiada apa-apa lagi miskin ……............................….………………… semoga di ampunkan, Rahmatilah kami dan kurniakanlah Kasih Sayang dan Makrifat serta Jam'iyat Zahir dan Batin serta ‘Afiyat di Dunia dan Akhirat dan Lautan Kesempurnaan dari Limpahan Faidhz dan keberkatan Para Masyaikh ini.
Ya Tuhan kami, matikanlah kami sebagai Muslim dan sertakanlah kami bersama Para Salihin.

AJARAN ASAS NAQSHBANDIYAH

TARIQAT Naqshbandiyah mempunyai prinsip asasnya yang tersendiri yang telah diasaskan oleh Hadhrat Khwajah Khwajahgan Maulana Syeikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih. Ia telah meletakkan lapan prinsip asas ini sebagai dasar Tariqat Naqshbandiyah. Prinsip-prinsip ini dinyatakannya dalam sebutan bahasa Parsi dan mengandungi pengertian dan pangajaran yang amat tinggi nilainya. Adapun prinsip-prinsipnya adalah seperti berikut:
Hadhrat Syeikh Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih yang merupakan sahabat, khalifah dan penulis riwayat Hadhrat Maulana Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menyatakan di dalam kitabnya bahawa ajaran Tariqat Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih berkenaan zikir dan ajaran lapan prinsip asas seperti yang dinyatakan di atas turut dianuti dan diamalkan oleh 40 jenis Tariqat. Tariqat lain menjadikan asas ini sebagai panduan kepada jalan kebenaran yang mulia iaitu jalan kesedaran dalam menuruti Sunnah Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan meninggalkan sebarang bentuk Bida’ah dan bermujahadah melawan hawa nafsu. Kerana itulah Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih mencapai ketinggian Ruhani dan menjadi seorang Mahaguru Tariqat dan penghulu pemimpin keruhanian pada zamannya.

1. YAD KARD

Yad bererti ingat yakni Zikir. Perkataan Kard pula bagi menyatakan kata kerja bagi ingat yakni pekerjaan mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan ianya merupakan zat bagi zikir. Berkata Para Masyaikh, Yad Kard bermaksud melakukan zikir mengingati Tuhan dengan menghadirkan hati. Murid yang telah melakukan Bai‘ah dan telah ditalqinkan dengan zikir hendaklah senantiasa sibuk mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan kalimah zikir yang telah ditalqinkan.
Zikir yang telah ditalqinkan oleh Syeikh adalah zikir yang akan membawa seseorang murid itu mencapai ketinggian darjat Ruhani. Syeikh akan mentalqinkan zikir kepada muridnya sama ada Zikir Ismu Zat ataupun Zikir Nafi Itsbat secara Lisani ataupun Qalbi. Seseorang murid hendaklah melakukan zikir yang sebanyak-banyaknya dan sentiasa menyibukkan dirinya dengan berzikir. Pada setiap hari, masa dan keadaan, sama ada dalam keadaaan berdiri atau duduk atau berbaring ataupun berjalan, hendaklah sentiasa berzikir.
Pada lazimnya seseorang yang baru menjalani Tariqat Naqshbandiyah ini, Syeikh akan mentalqinkan kalimah Ismu Zat iaitu lafaz Allah sebagai zikir yang perlu dilakukan pada Latifah Qalb tanpa menggerakkan lidah. Murid hendaklah berzikir Allah Allah pada latifah tersebut sebanyak 24 ribu kali sehari semalam setiap hari sehingga terhasilnya cahaya Warid.
Ada sebahagian Syeikh yang menetapkan jumlah permulaan sebanyak lima ribu kali sehari semalam dan ada juga yang menetapkannya sehingga tujuh puluh ribu kali sehari semalam.
Seterusnya murid hendaklah mengkhabarkan segala pengalaman Ruhaniahnya kepada Syeikh apabila menerima Warid tersebut. Begitulah pada setiap Latifah, murid hendaklah berzikir sebanyak-banyaknya pada kesemua Latifah seperti yang diarahkan oleh Syeikh sehingga tercapainya Warid. Mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara sempurna adalah dengan berzikir menghadirkan hati ke Hadhrat ZatNya.
Setelah Zikir Ismu Zat dilakukan pada setiap Latifah dengan sempurna, Syeikh akan mentalqinkan pula Zikir Nafi Itsbat iaitu kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH yang perlu dilakukan sama ada secara Lisani iaitu menerusi lidah atau secara Qalbi iaitu berzikir menerusi lidah hati.
Zikir Nafi Itsbat perlu dilakukan menurut kaifiyatnya. Syeikh akan menentukan dalam bentuk apa sesuatu zikir itu perlu dilakukan. Yang penting bagi Salik adalah menyibukkan diri dengan zikir yang telah ditalqinkan oleh Syeikh sama ada ianya Zikir Ismu Zat ataupun Zikir Nafi Itsbat. Salik hendaklah memelihara zikir dengan hati dan lidah dengan menyebut Allah Allah iaitu nama bagi Zat Tuhan yang merangkumi kesemua Nama-NamaNya dan Sifat-SifatNya yang mulia serta dengan menyebut Zikir Nafi Itsbat menerusi kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH dengan sebanyak-banyaknya. Salik hendaklah melakukan Zikir Nafi Itsbat sehingga dia mencapai kejernihan hati dan tenggelam di dalam Muraqabah. Murid hendaklah melakukan Zikir Nafi Itsbat sebanyak 5 ribu ke 10 ribu kali setiap hari bagi menanggalkan segala kekaratan hati. Zikir tersebut akan membersihkan hati dan membawa seseorang itu kepada Musyahadah.
Zikir Nafi Itsbat menurut Akabirin Naqshbandiyah, seseorang murid yang baru itu hendaklah menutup kedua matanya, menutup mulutnya, merapatkan giginya, menongkatkan lidahnya ke langit-langit dan menahan nafasnya. Dia hendaklah mengucapkan zikir ini dengan hatinya bermula dari kalimah Nafi dan seterusnya kalimah Itsbat. Bagaimanapun, bagi murid yang telah lama hendaklah membukakan kedua matanya dan tidak perlu menahan nafasnya.
Bermula dari kalimah Nafi iaitu LA yang bererti Tiada, dia hendaklah menarik kalimah LA ini dari bawah pusatnya ke atas hingga ke otak. Apabila kalimah LA mencapai otak, ucapkan pula kalimah ILAHA di dalam hati yang bererti Tuhan. Kemudian hendaklah digerakkan dari otak ke bahu kanan sambil menyebut ILLA yang bererti Melainkan, lalu menghentakkan kalimah Itsbat iaitu ALLAH ke arah Latifah Qalb. Sewaktu menghentakkan kalimah ALLAH ke arah Qalb, hendaklah merasakan bahawa kesan hentakan itu mengenai kesemua Lataif di dalam tubuh badan.
Zikir yang sebanyak-banyaknya akan membawa seseorang Salik itu mencapai kepada kehadiran Zat Allah dalam kewujudan secara Zihni yakni di dalam pikiran. Salik hendaklah berzikir dalam setiap nafas yang keluar dan masuk. Yad Kard merupakan amalan dipikiran yang bertujuan pikiran hendaklah sentiasa menggesa diri supaya sentiasa ingat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melakukan zikir bagi mengingati ZatNya. Pekerjaan berzikir mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah suatu amalan yang tiada batas dan had. Ianya boleh dikerjakan pada sebarang keadaan, masa dan tempat. Hendaklah sentiasa memperhatikan nafas supaya setiap nafas yang keluar dan masuk itu disertai ingatan terhadap Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

2. BAZ GASHT

Baz Gasht bererti kembali. Menurut Para Masyaikh, maksudnya ialah seseorang yang melakukan zikir dengan menggunakan lidah hati menyebut Allah Allah dan LA ILAHA ILLA ALLAH, begitulah juga setelah itu hendaklah mengucapkan di dalam hati dengan penuh khusyuk dan merendahkan diri akan ucapan ini:
“Ilahi Anta Maqsudi, Wa Ridhoka Matlubi, A’tini Mahabbataka Wa Ma’rifataka”
Yang bererti, “Wahai Tuhanku Engkaulah maksudku dan keredhaanMu tuntutanku, kurniakanlah Cinta dan Makrifat ZatMu.”
Ianya merupakan ucapan Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, ucapan ini akan meningkatkan tahap kesedaran kepada kewujudan dan Keesaan Zat Tuhan, sehingga dia mencapai suatu tahap dimana segala kewujudan makhluk terhapus pada pandangan matanya. Apa yang dilihatnya walau ke mana jua dia memandang, yang dilihatnya hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ucapan kata-kata ini juga memberikan kita pengertian bahawa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menjadi maksud dan matlamat kita dan tidak ada tujuan lain selain untuk mendapatkan keredhaanNya. Salik hendaklah mengucapkan kalimah ini bagi menghuraikan segala rahsia Keesaan Zat Tuhan dan supaya terbuka kepadanya keunikan hakikat Kehadiran Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sebagai murid, tidak boleh meninggalkan zikir kalimah ini meskipun tidak merasakan sebarang kesan pada hati. Dia hendaklah tetap meneruskan zikir kalimah tersebut sebagai menuruti anjuran Syeikhnya.
Makna Baz Gasht ialah kembali kepada Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Mulia dengan menunjukkan penyerahan yang sempurna, mentaati segala kehendakNya dan merendahkan diri dengan sempurna dalam memuji ZatNya. Adapun lafaz Baz Gasht dalam bahasa Parsi seperti yang diamalkan oleh Para Akabirin Naqshabandiyah Mujaddidiyah adalah seperti berikut:
“Khudawandah, Maqsudi Man Tui Wa Ridhai Tu, Tarak Kardam Dunya Wa Akhirat Baraey Tu, Mahabbat Wa Ma’rifati Khud Badih.”
Yang bererti, “Tuhanku, maksudku hanyalah Engkau dan keredaanMu, telahku lepaskan Dunia dan Akhirat kerana Engkau, kurniakanlah Cinta dan Makrifat ZatMu.”
Pada permulaan, jika Salik sendiri tidak memahami hakikat kebenaran ucapan kata-kata ini, hendaklah dia tetap juga menyebutnya kerana menyebut kata-kata itu dengan hati yang khusyuk dan merendahkan diri akan menambahkan lagi pemahamannya dan secara sedikit demi sedikit Salik itu akan merasai hakikat kebenaran perkataan tersebut dan Insya Allah akan merasai kesannya. Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menyatakan dalam doanya, “Ma Zakarnaka Haqqa Zikrika Ya Mazkur.” Yang bererti, “Kami tidak mengingatiMu dengan hak mengingatiMu secara yang sepatutnya, Wahai Zat yang sepatutnya diingati.”
Seseorang Salik itu tidak akan dapat hadir ke Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi zikirnya dan tidak akan dapat mencapai Musyahadah terhadap rahsia-rahsia dan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi zikirnya jika dia tidak berzikir dengan sokongan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menerusi ingatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap dirinya.
Seorang Salik itu tidak akan dapat berzikir dengan kemampuan dirinya bahkan dia hendaklah sentiasa menyedari bahawa Allah Subhanahu Wa Ta’ala lah yang sedang berzikir menerusi dirinya. Hadhrat Maulana Syeikh Abu Yazid Bistami Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Apabila daku mencapai ZatNya, daku melihat bahawa ingatanNya terhadap diriku mendahului ingatanku terhadap diriNya.”

3. NIGAH DASYAT

Nigah bererti menjaga, mengawasi, memelihara dan Dasyat pula bererti melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Maksudnya ialah seseorang Salik itu sewaktu melakukan zikir hendaklah sentiasa memelihara hati dari sebarang khatrah lintasan hati dan was-was Syaitan dengan bersungguh-sungguh. Jangan biarkan khayalan kedukaan memberi kesan kepada hati.
Setiap hari hendaklah melapangkan masa selama sejam ke dua jam ataupun lebih untuk memelihara hati dari segala ingatan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Selain DiriNya, jangan ada sebarang khayalan pada pikiran dan hati. Lakukan latihan ini sehingga segala sesuatu selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, segala-galanya menjadi lenyap.
Nigah Dasyat juga bermakna seseorang Salik itu mesti memperhatikan hatinya dan menjaganya dengan menghindarkan sebarang ingatan yang buruk masuk ke dalam hati. Ingatan dan keinginan yang buruk akan menjauhkan hati dari kehadiran Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesufian yang sebenar adalah daya untuk memelihara hati dari ingatan yang buruk dan memeliharanya dari sebarang keinginan yang rendah. Seseorang yang benar-benar mengenali hatinya akan dapat mengenali Tuhannya. Di dalam Tariqat Naqshbandiyah ini, seseorang Salik yang dapat memelihara hatinya dari sebarang ingatan yang buruk selama 15 minit adalah merupakan suatu pencapaian yang besar dan menjadikannya layak sebagai seorang ahli Sufi yang benar.
Hadhrat Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih menyatakan di dalam kitabnya Idhahut Tariqah bahawa, “Nigah Dasyat adalah merupakan syarat ketika berzikir, bahawa ketika berzikir hendaklah menghentikan segala khayalan serta was-was dan apabila sebarang khayalan yang selain Allah terlintas di dalam hati maka pada waktu itu juga hendaklah dia menjauhkannya supaya khayalan Ghairullah tidak menduduki hati.”
Hadhrat Maulana Syeikh Abul Hassan Kharqani Rahmatullah ‘alaih pernah berkata, “Telah berlalu 40 tahun dimana Allah sentiasa melihat hatiku dan telah melihat tiada sesiapa pun kecuali DiriNya dan tiada ruang bilik di dalam hatiku untuk selain dari Allah.”
Hadhrat Syeikh Abu Bakar Al-Qittani Rahmatullah ‘alaih pernah berkata, “Aku menjadi penjaga di pintu hatiku selama 40 tahun dan aku tidak pernah membukanya kepada sesiapa pun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehinggakan hatiku tidak mengenali sesiapapun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Seorang Syeikh Sufi pernah berkata, “Oleh kerana aku telah menjaga hatiku selama sepuluh malam, hatiku telah menjagaku selama dua puluh tahun.”

4. YAD DASYAT

Yad Dasyat bererti mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan bersungguh-sungguh dengan Zauq Wijdani sehingga mencapai Dawam Hudhur yakni kehadiran Zat Allah secara kekal berterusan dan berada dalam keadaan berjaga-jaga memperhatikan limpahan Faidhz dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesedaran ini diibaratkan sebagai Hudhur Bey Ghibat dan merupakan Nisbat Khassah Naqshbandiyah.
Yad Dasyat juga bermakna seseorang yang berzikir itu memelihara hatinya pada setiap penafian dan pengitsbatan di dalam setiap nafas tanpa meninggalkan Kehadiran Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ianya menghendaki agar Salik memelihara hatinya di dalam Kehadiran Kesucian Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara berterusan. Ini untuk membolehkannya agar dapat merasai kesedaran dan melihat Tajalli Cahaya Zat Yang Esa atau disebut sebagai Anwaruz-Zatil-Ahadiyah.
Menurut Hadhrat Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, Yad Dasyat merupakan istilah Para Sufi bagi menerangkan keadaan maqam Syuhud atau Musyahadah yang juga dikenali sebagai ‘Ainul Yaqin atau Dawam Hudhur dan Dawam Agahi.
Di zaman para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in ianya disebut sebagai Ihsan. Ia merupakan suatu maksud di dalam Tariqah Naqshbandiyah Mujaddidiyah bagi menghasilkan Dawam Hudhur dan Dawam Agahi dengan Hadhrat Zat Ilahi Subhanahu Wa Ta’ala dan di samping itu berpegang dengan ‘Aqidah yang sahih menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan melazimkan diri beramal menuruti Sunnah Nabawiyah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Jika Salik tidak memiliki ketiga-tiga sifat ini iaitu tetap mengingati Zat Ilahi, beri’tiqad dengan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan menuruti Sunnah Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ataupun meninggalkan salah satu darinya maka dia adalah terkeluar dari jalan Tariqat Naqshbandiyah, Na’uzu Billahi Minha!

5. HOSH DAR DAM

Hosh bererti sedar, Dar bererti dalam dan Dam bererti nafas, yakni sedar dalam nafas. Seseorang Salik itu hendaklah berada dalam kesedaran bahawa setiap nafasnya yang keluar masuk mestilah beserta kesedaran terhadap Kehadiran Zat Allah Ta’ala. Jangan sampai hati menjadi lalai dan leka dari kesedaran terhadap Kehadiran Zat Allah Ta’ala. Dalam setiap nafas hendaklah menyedari kehadiran ZatNya.
Menurut Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih bahawa, “Seseorang Salik yang benar hendaklah menjaga dan memelihara nafasnya dari kelalaian pada setiap kali masuk dan keluarnya nafas serta menetapkan hatinya sentiasa berada dalam Kehadiran Kesucian ZatNya dan dia hendaklah memperbaharukan nafasnya dengan ibadah dan khidmat serta membawa ibadah ini menuju kepada Tuhannya seluruh kehidupan, kerana setiap nafas yang disedut dan dihembus beserta KehadiranNya adalah hidup dan berhubung dengan Kehadiran ZatNya Yang Suci. Setiap nafas yang disedut dan dihembus dengan kelalaian adalah mati dan terputus hubungan dari Kehadiran ZatNya Yang Suci.”
Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih berkata, “Maksud utama seseorang Salik di dalam Tariqah ini adalah untuk menjaga nafasnya dan seseorang yang tidak dapat menjaga nafasnya dengan baik maka dikatakan kepadanya bahawa dia telah kehilangan dirinya.”
Hadhrat Syeikh Abul Janab Najmuddin Al-Kubra Rahmatullah ‘alaih berkta dalam kitabnya Fawatihul Jamal bahawa, “Zikir adalah sentiasa berjalan di dalam tubuh setiap satu ciptaan Allah sebagai memenuhi keperluan nafas mereka biarpun tanpa kehendak sebagai tanda ketaatan yang merupakan sebahagian dari penciptaan mereka. Menerusi pernafasan mereka, bunyi huruf ‘Ha’ dari nama Allah Yang Maha Suci berada dalam setiap nafas yang keluar masuk dan ianya merupakan tanda kewujudan Zat Yang Maha Ghaib sebagai menyatakan Keunikan dan Keesaan Zat Tuhan. Maka itu amatlah perlu berada dalam kesedaran dan hadir dalam setiap nafas sebagai langkah untuk mengenali Zat Yang Maha Pencipta.”
Nama Allah yang mewakili kesemua Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah dan Af’alNya adalah terdiri dari empat huruf iaitu Alif, Lam, Lam dan Ha.
Para Sufi berkata bahawa Zat Ghaib Mutlak adalah Allah Yang Maha Suci lagi Maha Mulia KetinggianNya dan DiriNya dinyatakan menerusi huruf yang terakhir dari Kalimah Allah iaitu huruf Ha. Huruf tersebut apabila ditemukan dengan huruf Alif akan menghasilkan sebutan Ha yang memberikan makna “Dia Yang Ghaib” sebagai kata ganti diri. Bunyi sebutan Ha itu sebagai menampilkan dan menyatakan bukti kewujudan Zat DiriNya Yang Ghaib Mutlak (Ghaibul Huwiyyatil Mutlaqa Lillahi ‘Azza Wa Jalla). Huruf Lam yang pertama adalah bermaksud Ta‘arif atau pengenalan dan huruf Lam yang kedua pula adalah bermaksud Muballaghah yakni pengkhususan. Menjaga dan memelihara hati dari kelalaian akan membawa seseorang itu kepada kesempurnaan Kehadiran Zat, dan kesempurnaan Kehadiran Zat akan membawanya kepada kesempurnaan Musyahadah dan kesempurnaan Musyahadah akan membawanya kepada kesempurnaan Tajalli Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah. Seterusnya Allah akan membawanya kepada penzahiran kesemua Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah dan Sifat-SifatNya yang lain kerana adalah dikatakan bahawa Sifat Allah itu adalah sebanyak nafas-nafas manusia.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih menegaskan bahawa hendaklah mengingati Allah pada setiap kali keluar masuk nafas dan di antara keduanya yakni masa di antara udara disedut masuk dan dihembus keluar dan masa di antara udara dihembus keluar dan disedut masuk. Terdapat empat ruang untuk diisikan dengan Zikrullah. Amalan ini disebut Hosh Dar Dam yakni bezikir secara sedar dalam nafas. Zikir dalam pernafasan juga dikenali sebagai Paas Anfas di kalangan Ahli Tariqat Chistiyah.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Tariqat ini dibina berasaskan nafas, maka adalah wajib bagi setiap orang untuk menjaga nafasnya pada waktu menghirup nafas dan menghembuskan nafas dan seterusnya menjaga nafasnya pada waktu di antara menghirup dan menghembuskan nafas.”
Udara Masuk - Allah Allah Antara - Allah Allah Udara Keluar - Allah Allah Antara - Allah Allah
Perlu diketahui bahawa menjaga nafas dari kelalaian adalah amat sukar bagi seseorang Salik, lantaran itu mereka hendaklah menjaganya dengan memohon Istighfar yakni keampunan kerana memohon Istighfar akan menyucikan hatinya dan mensucikan nafasnya dan menyediakan dirinya untuk menyaksikan Tajalli penzahiran manifestasi Allah Subhanahu Wa Ta’ala di mana-mana jua.

6. NAZAR BAR QADAM

Nazar bererti memandang, Bar bererti pada, dan Qadam pula bererti kaki. Seseorang Salik itu ketika berjalan hendaklah sentiasa memandang ke arah kakinya dan jangan melebihkan pandangannya ke tempat lain dan setiap kali ketika duduk hendaklah sentiasa memandang ke hadapan sambil merendahkan pandangan. Jangan menoleh ke kiri dan ke kanan kerana ianya akan menimbulkan fasad yang besar dalam dirinya dan akan menghalangnya dari mencapai maksud.
Nazar Bar Qadam bermakna ketika seseorang Salik itu sedang berjalan, dia hendaklah tetap memperhatikan langkah kakinya. Di mana jua dia hendak meletakkan kakinya, matanya juga perlu memandang ke arah tersebut. Tidak dibolehkan baginya melemparkan pandangannya ke sana sini, memandang kiri dan kanan ataupun di hadapannya kerana pandangan yang tidak baik akan menghijabkan hatinya.
Kebanyakan hijab-hijab di hati itu terjadi kerana bayangan gambaran yang dipindahkan dari pandangan penglihatan mata ke otak sewaktu menjalani kehidupan seharian. Ini akan mengganggu hati dan menimbulkan keinginan memenuhi berbagai kehendak hawa nafsu seperti yang telah tergambar di ruangan otak. Gambaran-gambaran ini merupakan hijab-hijab bagi hati dan ianya menyekat Cahaya Kehadiran Zat Allah Yang Maha Suci.
Kerana itulah Para Masyaikh melarang murid mereka yang telah menyucikan hati mereka menerusi zikir yang berterusan dari memandang ke tempat yang selain dari kaki mereka. Hati mereka ibarat cermin yang menerima dan memantulkan setiap gambaran dengan mudah. Ini akan mengganggu mereka dan akan menyebabkan kekotoran hati.
Maka itu, Salik diarahkan agar merendahkan pandangan supaya mereka tidak terkena panahan dari panahan Syaitan. Merendahkan pandangan juga menjadi tanda kerendahan diri. Orang yang bongkak dan sombong tidak memandang ke arah kaki mereka ketika berjalan. Ia juga merupakan tanda bagi seseorang yang menuruti jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika berjalan tidak menoleh ke kiri dan ke kanan tetapi Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam hanya melihat ke arah kakinya, bergerak dengan pantas menuju ke arah destinasinya. Pengertian batin yang dituntut dari prinsip ini ialah supaya Salik bergerak dengan laju dan pantas dalam melakukan perjalanan suluk, yang mana apa jua maqam yang terpandang olehnya maka dengan secepat yang mungkin kakinya juga segera sampai pada kedudukan maqam tersebut. Ia juga menjadi tanda ketinggian darjat seseorang yang mana dia tidak memandang kepada sesuatu pun kecuali Tuhannya. Sepertimana seseorang yang hendak lekas menuju kepada tujuannya, begitulah seorang Salik yang menuju Kehadhrat Tuhan hendaklah lekas-lekas bergerak, dengan cepat dan pantas, tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, tidak memandang kepada hawa nafsu duniawi sebaliknya hanya memandang ke arah mencapai Kehadiran Zat Tuhan Yang Suci.
Hadhrat Maulana Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih telah berkata dalam suratnya yang ke-259 di dalam Maktubat, “Pandangan mendahului langkah dan langkah menuruti pandangan. Mi’raj ke maqam yang tinggi didahului dengan pandangan Basirah kemudian diikuti dengan langkah. Apabila langkah telah mencapai Mi’raj tempat yang dipandang, maka kemudian pandangan akan diangkat ke suatu maqam yang lain yang mana langkah perlu menurutinya. Kemudian pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi dan langkah akan menurutinya. Begitulah seterusnya sehingga pandangan mencapai maqam kesempurnaan yang mana langkahnya akan diberhentikan. Kami katakan bahawa, apabila langkah menuruti pandangan, murid telah mencapai maqam kesediaan untuk menuruti jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah merupakan sumber asal bagi segala langkah.”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Jika kita memandang kesalahan sahabat-sahabat, kita akan ditinggalkan tanpa sahabat kerana tiada seorang juapun yang sempurna.”



7. SAFAR DAR WATAN
Safar bererti menjelajah, berjalan atau bersiar, Dar bererti dalam dan Watan bererti kampung. Safar Dar Watan bermakna bersiar-siar dalam kampung dirinya yakni kembali berjalan menuju Tuhan. Seseorang Salik itu hendaklah menjelajah dari dunia ciptaan kepada dunia Yang Maha Pencipta.
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda yang mafhumnya, “Daku sedang menuju Tuhanku dari suatu hal keadaan ke suatu hal keadaan yang lebih baik dan dari suatu maqam ke suatu maqam yang lebih baik.”
Salik hendaklah berpindah dari kehendak hawa nafsu yang dilarang kepada kehendak untuk berada dalam Kehadiran ZatNya. Dia hendaklah berusaha meninggalkan segala sifat-sifat Basyariyah (Kemanusiawian) yang tidak baik dan meningkatkan dirinya dengan sifat-sifat Malakutiyah (Kemalaikatan) yang terdiri dari sepuluh maqam iaitu:
[1] Taubat [2] Inabat [3] Sabar [4] Syukur [5] Qana’ah [6] Wara’ [7] Taqwa [8] Taslim [9] Tawakkal [10] Redha.
Para Masyaikh membahagikan perjalanan ini kepada dua kategori iaitu Sair Afaqi yakni Perjalanan Luaran dan Sair Anfusi yakni Perjalanan Dalaman. Perjalanan Luaran adalah perjalanan dari suatu tempat ke suatu tempat mencari seorang pembimbing Ruhani yang sempurna bagi dirinya dan akan menunjukkan jalan ke tempat yang dimaksudkannya. Ini akan membolehkannya untuk memulakan Perjalanan Dalaman.
Seseorang Salik apabila dia sudah menemui seorang pembimbing Ruhani yang sempurna bagi dirinya adalah dilarang dari melakukan Perjalanan Luaran. Pada Perjalanan Luaran ini terdapat berbagai kesukaran yang mana seseorang yang baru menuruti jalan ini tidak dapat tidak, pasti akan terjerumus ke dalam tindakan yang dilarang, kerana mereka adalah lemah dalam menunaikan ibadah mereka.
Perjalanan yang bersifat dalaman pula mengkehendakkan agar seseorang Salik itu meninggalkan segala tabiat yang buruk dan membawa adab tertib yang baik ke dalam dirinya serta mengeluarkan dari hatinya segala keinginan Duniawi. Dia akan diangkat dari suatu maqam yang kotor zulmat ke suatu maqam kesucian. Pada waktu itu dia tidak perlu lagi melakukan Perjalanan Luaran. Hatinya telah dibersihkan dan menjadikannya tulin seperti air, jernih seperti kaca, bersih bagaikan cermin lalu menunjukkannya hakikat setiap segala suatu urusan yang penting dalam kehidupan sehariannya tanpa memerlukan sebarang tindakan yang bersifat luaran bagi pihak dirinya. Di dalam hatinya akan muncul segala apa yang diperlukan olehnya dalam kehidupan ini dan kehidupan mereka yang berada di sampingnya.
Hadhrat Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Ketahuilah bahawa apabila hati tertakluk dengan sesuatu selain Allah dan khayalan yang buruk menjadi semakin kuat maka limpahan Faidhz Ilahi menjadi sukar untuk dicapai oleh Batin. Jesteru itu dengan kalimah LA ILAHA hendaklah menafikan segala akhlak yang buruk itu sebagai contohnya bagi penyakit hasad, sewaktu mengucapkan LA ILAHA hendaklah menafikan hasad itu dan sewaktu mengucapkan ILLA ALLAH hendaklah mengikrarkan cinta dan kasih sayang di dalam hati. Begitulah ketika melakukan zikir Nafi Itsbat dengan sebanyak-banyaknya lalu menghadap kepada Allah dengan rasa hina dan rendah diri bagi menghapuskan segala keburukan diri sehinggalah keburukan dirinya itu benar-benar terhapus. Begitulah juga terhadap segala rintangan Batin, ianya perlu disingkirkan supaya terhasilnya Tasfiyah dan Tazkiyah. Latihan ini merupakan salah satu dari maksud Safar Dar Watan.”

8. KHALWAT DAR ANJUMAN

Khalwat bererti bersendirian dan Anjuman bererti khalayak ramai, maka pengertiannya ialah bersendirian dalam keramaian. Maksudnya pada zahir, Salik bergaul dengan manusia dan pada batinnya dia kekal bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Terdapat dua jenis khalwat iaitu Khalwat Luaran atau disebut sebagai Khalwat Saghir yakni khalwat kecil dan Khalwat Dalaman atau disebut sebagai Khalwat Kabir yang bermaksud khalwat besar atau disebut sebagai Jalwat. Khalwat Luaran menghendaki Salik agar mengasingkan dirinya di tempat yang sunyi dan jauh dari kesibukan manusia. Secara bersendirian Salik menumpukan kepada Zikirullah dan Muraqabah untuk mencapai penyaksian Kebesaran dan Keagungan Kerajaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila sudah mencapai fana menerusi zikir pikir dan semua deria luaran difanakan, pada waktu itu deria dalaman bebas meneroka ke Alam Kebesaran dan Keagungan Kerajaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini seterusnya akan membawa kepada Khalwat Dalaman.
Khalwat Dalaman bermaksud berkhalwat dalam kesibukan manusia. Hati Salik hendaklah sentiasa hadir ke Hadhrat Tuhan dan hilang dari makhluk sedang jasmaninya sedang hadir bersama mereka. Dikatakan bahawa seseorang Salik yang Haq sentiasa sibuk dengan zikir khafi di dalam hatinya sehinggakan jika dia masuk ke dalam majlis keramaian manusia, dia tidak mendengar suara mereka. Kerana itu ianya dinamakan Khalwat Kabir dan Jalwat yakni berzikir dalam kesibukan manusia. Keadaan berzikir itu mengatasi dirinya dan penzahiran Hadhrat Suci Tuhan sedang menariknya membuatkannya tidak menghiraukan segala sesuatu yang lain kecuali Tuhannya. Ini merupakan tingkat khalwat yang tertinggi dan dianggap sebagai khalwat yang sebenar seperti yang dinyatakan dalam ayat Al-Quran Surah An-Nur ayat 37:
Para lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah, dan dari mendirikan sembahyang, dan dari membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang hati dan penglihatan menjadi goncang.
"Rijalun La Tulhihim Tijaratun Wala Bay’un ‘An Zikrillah," bermaksud para lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingati Allah. Inilah merupakan jalan Tariqat Naqshbandiyah. Hadhrat Khwajah Shah Bahauddin Naqshband Qaddasallahu Sirrahu telah ditanyakan orang bahawa apakah yang menjadi asas bagi Tariqatnya?
Beliau menjawab, “Berdasarkan Khalwat Dar Anjuman, yakni zahir berada bersama Khalaq dan batin hidup bersama Haq serta menempuh kehidupan dengan menganggap bahawa Khalaq mempunyai hubungan dengan Tuhan. Sebagai Salik dia tidak boleh berhenti dari menuju kepada maksudnya yang hakiki.”
Sepertimana mafhum sabdaan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Padaku terdapat dua sisi. Satu sisiku menghadap ke arah Penciptaku dan satu sisi lagi menghadap ke arah makhluk ciptaan.”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Tariqatuna As-Suhbah Wal Khayru Fil Jam’iyyat.” Yang bererti, “Jalan Tariqah kami adalah dengan cara bersahabat dan kebaikan itu dalam jemaah Jam’iyat.”
Khalwat yang utama di sisi Para Masyaikh Naqshbandiyah adalah Khalwat Dalaman kerana mereka sentiasa berada bersama Tuhan mereka dan pada masa yang sama mereka berada bersama dengan manusia. Adalah dikatakan bahawa seseorang beriman yang dapat bercampur gaul dengan manusia dan menanggung berbagai masaalah dalam kehidupan adalah lebih baik dari orang beriman yang menghindarkan dirinya dari manusia.
Hadhrat Imam Rabbani Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Perlulah diketahui bahawa Salik pada permulaan jalannya mungkin menggunakan khalwat luaran untuk mengasingkan dirinya dari manusia, beribadat dan bertawajjuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehingga dia mencapai tingkat darjat yang lebih tinggi. Pada waktu itu dia akan dinasihatkan oleh Syeikhnya seperti kata-kata Sayyid Al-Kharraz Rahmatullah ‘alaih iaitu kesempurnaan bukanlah dalam mempamerkan karamah yang hebat-hebat tetapi kesempurnaan yang sebenar ialah untuk duduk bersama manusia, berjual beli, bernikah kahwin dan mendapatkan zuriat dan dalam pada itu sekali-kali tidak meninggalkan Kehadiran Allah walaupun seketika.”
Hadhrat Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih berkata, “Daripada masamu, jangan ada sebarang waktu pun yang engkau tidak berzikir dan bertawajjuh serta mengharapkan Kehadiran Allah Ta’ala dan bertemulah dengan manusia dan berzikirlah walaupun berada di dalam keramaian dan sentiasa berjaga-jaga memperhatikan limpahan Allah.”
Berkata Penyair, "Limpahan Faidhz Al-Haq datang tiba-tiba tetapi hatiku memperhatikan waridnya, Biarpun di waktu sekali kerdipan mata namun diriku sekali-kali tidak leka, Boleh jadi Dia sedang memperhatikanmu dan dikau tidak memperhatikannya."
Hal keadaan ini dinamakan Khalwat Dar Anjuman iaitu Kainun Haqiqat Wa Bainun Surat yakni hakikat dirinya berzama Zat Tuhan dan tubuh badan bersama makhluk ciptaan Tuhan. Masyaikh menggelarkannya sebagai Sufi Kain Bain. Kelapan-lapan asas Tariqat ini diperkenalkan oleh Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih dan menjadi ikutan 40 Tariqat yang lain dan sehingga ke hari ini menjadi asas yang teguh untuk seseorang hamba Allah kembali menuju kepada Tuhannya.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaihi telah menerima kelapan-lapan asas Tariqat ini dari Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani dan beliau telah menambahkan tiga asas Tariqat iaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani menjadikannya sebelas asas.
Hosh Dar Dam Khalwat Dar Anjuman; Yad Kard Yad Dasyat. Nazar Bar Qadam Safar Dar Watan; Baz Gasht Nigah Dasyat.
Sentiasalah sedar dalam nafas ketika berkhalwat bersama khalayak; Kerjakanlah Zikir dan ingatlah ZatNya dengan bersungguh-sungguh. Perhatikan setiap langkah ketika bersafar di dalam kampung; Sekembalinya dari merayau, perhatikanlah limpahan Ilahi bersungguh-sungguh.
Wuquf Qalbi Wuquf ‘Adadi, Wuquf Zamani Bi Dawam Agahi.
Ingatlah Allah tetap pada hati, bilangan dan masa dengan sentiasa sedar berjaga-jaga.

TAMBAHAN SHAH NAQSHBAND

HADHRAT Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih merupakan Imam bagi Tariqat Naqshbandiyah dan seorang Mahaguru Tariqat yang terkemuka. Ia telah mengukuhkan lagi jalan ini dengan tiga prinsip penting dalam Zikir Khafi sebagai tambahan kepada lapan prinsip asas yang telah dikemukakan oleh Hadhrat Khwajah Khwajahgan Syeikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih iaitu:
1. WUQUF QALBI
Mengarahkan penumpuan terhadap hati dan hati pula mengarahkan penumpuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada setiap masa dan keadaan. Sama ada dalam keadaan berdiri, berbaring, berjalan mahupun duduk. Hendaklah bertawajjuh kepada hati dan hati pula tetap bertawajjuh ke Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wuquf Qalbi merupakan syarat bagi zikir.
Kedudukan Qalbi ini adalah pada kedudukan dua jari di bawah tetek kiri dan kedudukan ini hendaklah sentiasa diberikan penumpuan dan Tawajjuh. Bayangan limpahan Nur dari Allah hendaklah sentiasa kelihatan melimpah pada Qalbi dalam pandangan batin.
Ini merupakan suatu kaedah Zikir Khafi yakni suatu bentuk zikir yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh Para Malaikat. Ia merupakan suatu kaedah zikir yang rahsia.
2. WUQUF ‘ADADI
Sentiasa memperhatikan bilangan ganjil ketika melakukan zikir Nafi Itsbat. Zikir Nafi Itsbat ialah lafaz LA ILAHA ILLA ALLAH dan dilakukan di dalam hati menurut kaifiyatnya. Dalam melakukan zikir Nafi Itsbat ini, Salik hendaklah sentiasa mengawasi bilangan zikir Nafi Itsbatnya itu dengan memastikannya dalam jumlah bilangan yang ganjil iaitu 7 atau 9 atau 19 atau 21 atau 23 atau sebarang bilangan yang ganjil.
Menurut Para Masyaikh, bilangan ganjil mempunyai rahsia yang tertentu kerana Allah adalah Ganjil dan menyukai bilangan yang ganjil dan ianya akan menghasilkan ilmu tentang Rahsia Allah Ta’ala. Menurut Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih, “Memelihara bilangan di dalam zikir adalah langkah pertama dalam menghasilkan Ilmu Laduni.”
Memelihara bilangan bukanlah untuk jumlahnya semata-mata bahkan ianya untuk memelihara hati dari ingatan selain Allah dan sebagai asbab untuk memberikan lebih penumpuan dalam usahanya untuk menyempurnakan zikir yang telah diberikan oleh Guru Murshidnya.
3. WUQUF ZAMANI
Setiap kali selepas menunaikan Solat, hendaklah bertawajjuh kepada hati dan sentiasa memastikan hati dalam keadaan bertawajjuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lakukan selama beberapa minit sebelum bangkit dari tempat Solat. Kemudian setelah selang beberapa jam hendaklah menyemak semula keadaan hati bagi memastikannya sentiasa dalam keadaan mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila seseorang Murid itu telah naik ke peringkat menengah dalam bidang Keruhanian maka dia hendaklah selalu memeriksa keadaan hatinya sekali pada tiap-tiap satu jam untuk mengetahui sama ada dia ingat ataupun lalai kepada Allah dalam masa-masa tersebut. Jika dia lalai maka hendaklah dia beristighfar dan berazam untuk menghapuskan kelalaian itu pada masa akan datang sehinggalah dia mencapai peringkat Dawam Hudhur atau Dawam Agahi iaitu peringkat hati yang sentiasa hadir dan sedar ke Hadhrat ZatNya.
Ketiga-tiga prinsip ini adalah tambahan dari Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih dalam membimbing sekelian para murid dan pengikutnya dan terus menjadi amalan yang tetap dalam Tariqat Naqshbandiyah.

Beberapa tokoh Tariqat Naqshbandiyah

Beberapa tokoh Tariqat Naqshbandiyah Indonesia

1. 'Yang di muliakan Allah Tuan Guru Dr Syekh Salman Daim' Mursyid Tareqat Naqsbandiyah Alkholidiyah Jalaliyah Bandr Tinggi Sumatera Utara Indonesia 2. Tn Guru SM Karimuddin, Mursyid Pondok Pesantren Darul Hikmah Bahjoga 3. KH Muhammad Arifin Syah MPd, Mursyid pondok pesantren Nurul Hidayah, Sibargot. 4. SM Andra Najmu Assyihab,Pimpinan pondok pesantren Darul Maimanah,Manuk dadali, Sibolga..

http://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Naqsyabandiyah