Malam temaram bertahtakan bintang. Ketika angin menyelinap menyelimuti rangkaian pekat yang dingin menusuk. Gelegar kicauan burung malam bersahutan merangkak memanggil gulita. Ragaku tertelungkup mencium tanah berdebu. Sesak, mual dan menusukkan aroma busuk yg menyengat. Sementara jiwaku melayang nun jauh ke ujung langit. Semakin jauh, semakin dalam dan semakin aku tak mengerti.
Hening.
Kita tak pernah bertemu. Dan takkan pernah bisa di paksa bertemu. Seonggok sampah yang kau bawa dengan susah payah atau mungkin telah kau bayar tunai dengan hujan keringatmu, bukanlah jaminan bahwa dunia akan segera kau putar. Dan kita akan kembali merajut dari awal.
Belajar lagi dan belajar lagi.
Tidak!!!.
Kebersamaan. Yang seperti kamu bilang. Laksana sungai yang mengalir ke laut lepas, adalah cerita usang yang dengannya punah.
Kita. Oh....bukan kita. Hanya ada aku disini dan kamu yang bertengger jauh di seberang.
Sudahlah.
Buang saja hasratmu sebelum pagi menjelang dan mentari membakar segala impianmu.
Adakah sejarah yang lebih menyeramkan dari segala hal yang pernah kau berikan untukku ?.
Cukup!!.
Kembalilah ke rimba raya dan kamu akan temukan betapa menderitanya berkawan kesepian. Betapa pedihnya berkumpul dengan atap langit yang terus menerus membisu. Dan betapa menyedihkannya menyandang kegelapan yang membosankan.
Bulan.
Hanya itu yang sanggup aku lafalkan.
Bulan.
Hanya satu kata itu yang membuat nyawaku tertahan dalam rapuhnya ragaku. Ia akan terus menghuni pemukiman hatiku yang terdalam. Ia yang akan mengantarkan aku berjalan menuju puing keputus asaan.
Dan hanya Bulan.
Walau aku tak pernah pantas bersanding apalagi mengantarkan bunga bunga mawar tuk sekedar menabur wewangian di sekujur tubuhnya. Tapi bukankah kegigihanku sudah melebihi ambang batas yang telah di janjikan ?.
Lantas apa makna dari kasih yang pernah tumbuh subur, bersemai dan ranum di bawah payung keabadian yang pernah kita ucap ?.
Sekarang kamu membiarkan aku terlempar ke tepian tanpa sanggup meraih raga ayumu. Kau paksa aku menerima segala akibat yang sebenarnya tak harus aku tanggung. Sendirian.
Selamanya aku tak akan akan menyerah. Tidak pula aku melepas tiupan angin kasih yang telah menyatu bersama desiran darah dan detakan nadi yang tersisa. Seperti yang pernah kamu ucap dulu. Fight !!!.
Sewindu sudah berlalu. Aku berharap kamu tetaplah Bulan yang anggun. Yang badai gurunpun tiada mampu menggulung ke elokanmu. Apalagi sekedar penantian yang telah pasti menjanjikan masa depan yang gemilang seperti yang pernah kita guratkan bersama dulu.
Bulan.
Beri aku kesempatan untuk sekedar mendengar bahwa yang kamu lakukan hanyalah keterpaksaan yang sulit kamu terima. Ia hanya sandiwara belaka yang sama sekali kamu tak berminat memerankannya.
Bulan.
Kita harus melawannya. Lawan dan takhlukkan !.
Bulan sadarlah...!.
Lihatlah Bulan. Sekarang aku jauh lebih kuat dari yang pernah kamu kenal dulu. Tiada kalimat terlambat. Dan aku berjanji akan memaafkan mereka. Apalagi yang membuat kamu ragu Bulan ?.
Tinggalkan dia dan kemarilah Bulan.......
Bintang tersentak dari keheningan. Belasan pasang mata menerjang heran menelanjangi tubuhnya. Alunan kalimat kalimat suci terdengar memantul dari ujung sana. Sayup sayup terasa lirih namun menyayat hati. Bintang menggoyangkan kepalanya. Terasa berat. Seperti ada bongkahan batu karang yang menjepit.
Dimana aku ?
Inikah neraka ?
Ya Tuhan....!
Bintang kembali mengatupkan matanya.
Gelap.
Pikirannya musnah entah kemana. Batinnya makin lama makin tenggelam dalam kegalauan. Sementara Bulan, sang kekasih sejatinya tak jua mau beranjak pergi dari hatinya.
Matanya yang bening laksana air telaga nan biru di ujung bukit, terus menerus menghantui pikiran Bintang. Senyum tipis tersungging di sudut bibirnya yang basah merekah.
Memanggil lirih pada Bintang.
'Kak Bintang. Lihatlah aku. Tataplah batinku. Sentuhlah hatiku. Berenanglah bersama lentiknya jemariku. Kamu harus tahu kak Bintang. Harus !!!. Bahwa nyawaku masih tergantung padamu. Bahwa lara hatiku selalu mengayuh bersamamu. Bahwa cinta ini. Sekali lagi !!!. Cinta ini tetaplah indah bersemayam bersama syair syair rindumu'
Bintang mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu menahan ribuan amarah yang mencabik cabik ulu hatinya. Batinnya terkoyak. Bibirnya menggerutu melepaskan sumpah serapah yang seolah olah menampar kedua pipi Bulan.
"Basi !!!" umpat Bintang emosional.
"Berapa kali kamu bilang begitu !. Setia ?. Setia darimana ?. Cinta ?. Cinta dari mana ?" berondong Bintang menumpahkan segala kotoran yang ada dalam otaknya.
"Kamu tak pernah tahu Bintang...!".
"Tahu apa ?. Perasaanmu ?" sungut Bintang dengan nada sinis.
"Kamu tuh seperti sampah !. Tahu gak ?".
"Berapa kamu di bayar ?" tuding Bintang geram.
Bulan terdiam. Mukanya berubah memerah. Darahnya meluap memenuhi ubun ubun. Jantungnya berpacu bersama kegundahan yang meradang menggoyahkan perasaannya. Ingin ia memberontak, berteriak dan melampiaskan segenap kekesalannya. Tapi mulutnya serasa terkatup, terkunci dan terbelenggu dalam ketidak mampuan.
Cinta... Cinta...
Bintang tak mengerti. Dan mungkin tak akan pernah mengerti. Bintang tak bisa pahami hati. Tak akan. Yang Bintang tahu hanyalah bagaimana menunaikan hasrat cinta, mencapai pada level yang ia anggap sempurna dan merengkuh segala impian yang memenuhi otaknya. Mencinta sama halnya dengan memaksa rasa untuk memiliki.
Bintang. Kenapa kamu begitu bodohnya. Apakah kamu pikir aku menikmati apa yang aku alami selama ini ?. Apa kamu pikir ketika penjahat cinta itu merebutku dari tanganmu, aku merasa bahagia ?.
Tidak Bintang !!!.
Kamu salah.
Dia boleh saja menyeretku dengan paksa menuju pelaminan, tapi yakinlah bahwa dia tak pernah berhasil mengikat hatiku. Dia bisa genggam jemariku, mengecup hangat bibirku dan mempermainkan ragaku. Tapi demi Tuhan. Jantung dan desiran darahnya tetap berpacu memanggil namamu. Aku tetap mencintaimu Bintang. Sampai nanti. Dan mungkin sampai mati.
"Lihat ini !!!" kata Bintang seraya menyorongkan lembaran lembaran kertas yang tersusun rapi di dalam sebuah kotak transparan yang terbuat dari plastik.
Brakk !!!
Bintang membanting kotak itu hingga pecah berkeping keping. Sementara tumpukan kertas di dalamnya berhamburan memenuhi lantai. Dengan penuh kekesalan Bintang menginjak injak, mencabik cabik dan merobek kertas kertas itu. Tak cukup melampiaskan kemarahannya, Bintang meludahi serpihan serpihan itu. Seolah hendak mengubur dan mencampakkan segala kenangan yang pernah tertulis di dalamnya.
"Makan tuh !!" semprot Bintang seraya melemparkan sisa sisa serpihan kertas itu ke muka Bulan. Sedetik kemudian Bintang mengayunkan langkahnya keluar ruangan. Berjalan dengan gontai, menembus pekatnya malam yang dingin menyengat. Membawa serta kepedihan tiada tara. Bahwa segala hal yang pernah ia lakukan untuk Bulan terasa sia sia.
Bulan. Sekian lama aku menunggu saat saat dimana cinta ini bisa kita tunaikan. Dengar Bulan. Aku telah memeras keringat, banting tulang, menantang teriknya matahari dan ketika malam harus berselimut udara dingin nan sepi. Aku meretas semua ini dengan susah payah, Bulan. Aku harus menyepi dari segala kesenangan yang harusnya aku bisa nikmati.
Tapi tidak, Bulan. Aku hanya akan menyisakan semua keinginan dan mimpiku denganmu, Bulan. Sekali lagi hanya denganmu Bulan.
Bulan menarik nafas dalam dalam. Matanya terpejam mendongak. Hatinya serasa remuk. Hancur berkeping keping. Tangannya bergetar keluh. Selembar surat yang di kirim Bintang sepekan menjelang pesta pernikahannya dengan pria pilihan orang tuanya melayang jatuh mencium tanah.
Sakit.
Tapi tentu tak separah kehancuran yang di alami Bintang. Bintang telah melakukan semuanya. Bintang telah tunaikan cintanya jauh melebihi segala hal yang pernah di lakukan para pecinta sejati. Bintang laksana Rama Wijaya yang harus berkawan sepi ketika sang Shinta di bawa lari Rahwana.
Tapi Bintang bukan Rama. Dan selamanya tak akan bisa menjadi Rama yang dengan kuasanya merebut kembali Shinta. Bintang tetaplah Bintang. Makhluk malang yang hanya bisa mengayuh kapal berlayar, menyeberangi lautan lepas tanpa pernah sampai ke dermaga.
Bintang kini hanya bisa terdiam dalam keheningan. Termenung dalam kegelapan. Bercengkerama bersama cacing tanah, semut dan para penghuni perut bumi. Bintang telah mencapai nirwana. Menari bersama bidadari. Menyanyi di balik awan putih dan berlari di atas pelangi.
Sementara Bulan terus menatap pilu. Jeritannya mengangkasa. Membumbung tinggi, menyelinap di antara mega mega dan terus terbang mengitari langit biru. Berharap bisa temukan sang Bintang.
Tapi, yang ia temukan hanyalah ruang hampa yang kosong. Fana.
Dan dari balik gumpalan awan pekat yang tersembunyi, Bintang merintih.
Dalam kehidupan nanti, aku selalu berharap untuk tetap bisa menyentuhmu, Bulan.
Penulis : Komandan Gubrak
Penulis : Komandan Gubrak