Sepulang dari Madinah, setumpuk kegiatan telah menanti Kiai muda yang berwawasan luas ini. Sontak, beliau sibuk membina pengajian di kampung? kampung. Salah satunya, mengasuh pengajian di Gang Paneli Talangsari Jember. Di tengah kesibukan mengasuh beberapa pengajian, beliau juga tengah mempersiapkan embrio pesantrennya, Darus Sholah. Tepatnya, pada 27 Rajab tahun 1987, Gus Yus meresmikan kelahiran pesantrennya. Pesantren ini didirikan di JI. Moh. Yamin 25, Tegal Besar Jember di atas tanah seluas 8 hektare. Saat itu, keadaan di lokasi pesantren masih sunyi, tidak seramai sekarang. Belum ada kendaraan, waktu itu. listrik juga masih menggunakan diesel. Hanya ada beberapa gelintir santri yang menimba ilmu di pondok Gus Yus tersebut. Adalah Kiai As'ad Syamsul Arifin, seorang kiai kharismatik asal Situbondo, yang meletakkan batu pertama Pesantren Darus Sholah. Sewaktu itu, Kiai As'ad sudah menjadi orang yang demikian dituakan di jam'iyyah Nahdlatul Ulama. Kiai As'ad lah yang bersama sejumlah kiai senior seperti KH. Achmad Shiddiq dan KH. Ali Maksum, pada tahun 1984, menjadi tokoh kunci yang sangat menentukan derap langkah Nahdlatul Ulama. Saat itu, Nahdlatul Ulama berada dalam ambang kehancuran karena badai konflik internal. Untungnya, kiai As'ad dan beberapa kiai kharismatik yang lain berhasil menyelesaikan konflik ini. Makanya, sangat tepat kiranya jika kiai yang juga abah KH Fawa'id Situbondo ini yang didaulat Gus Yus untuk meresmikan pesantrennya. Apalagi, ternyata KH Muhammad, abah Gus Yus, adalah senior Kiai As'ad. Sebaliknya, ketika Kiai As'ad bermaksud mendirikan Ma'had Aly pada tahun 1990, Gus Yus dan juga Gus Nadzir, kakaknya dimintai bantuannya untuk turut serta merumuskan pendirian program pendidikan pasca pesantren tersebut. Bersama sejumlah kiai senior, beliau didapuk untuk turut menyumbangkan pikiran bagi pendirian dan pengembangan Ma'had Aly ke depan. MA sendiri diangankan oleh para pendirinya, untuk mampu mencetak kader kader ulama yang, menurut Kiai As'ad, kian langka. Tidak hanya itu. Pasca pendirian MA, Gus Yus juga dimohon untuk menjadi salah satu staf pengajar di sana. Hanya karena beliau belakangan sibuk di dunia politik, kiai politisi ini hanya dimintai mengajar satu bulan sekali sebagai dosen tamu. Sedikit demi sedikit, Gus Yus pun membangun "pondasi" pondoknya. Santri santrinya pun dari tahun ke tahun, kian banyak. Tidak hanya dari Jember, tapi juga dari luar kota suwar-suwir tersebut. Karena maksud memodernisasi pondok, Gus Yus akhirnya juga mendirikan sekolah umurn seperti TK, SD, SMP Plus, SMA Unggulan, MA /MAK dan lain lain. Kendati demikian, aura salaf pondok pesantren Darus Sholah tetap dipertahankan. Nampaknya, Gus Yus hendak menerapkan kaidah :"al muhafadlah alal qadi mi as shalih wal akh dzu bil jadidi ashlah". Meneruskan tradisi salaf yang baik, tapi juga mengambil nilai modem yang baik. Selain itu, kiai yang juga politisi ini membangun masjid megah yang rencananya dijadikan Islamic Centre. Mungkin, benar juga kata Kiai As'ad pada Gus Yus, ketika bertiga: beliau, Gus Nadzir dan KH Hasan Bash pada 10 Ramadlan tahun 1990, secara khusus dipanggil oleh kiai kharismatik asal Situbondo tersebut. "Raje pondukke sampean (akan besar pondok anda)", tukas kiai As'ad sambil menepuk dada Gus Yus yang berada di sebelahnya. Nampaknya, ramalan kiai sepuh ini benar-benar menjadi kenyataan. Setapak demi setapak, Darus Sholah semakin ditata dengan baik. Santri santrinya juga semakin meluber. Sungguh, prestasi yang luar biasa. Dalam usia yang belia, pesantren baru ini cukup dikatakan maju dan besar. Gus Yus berharap, pesantrennya akan menjadi mandiri. Mandiri, dalam arti kata, segala sesuatu yang berjalan di pesantren, lebih karena sistem yang berjalan. Memang, banyak orang cukup risau, siapa yang nanti menggantikan Gus Yus, jika sewaktu-waktu beliau tidak ada. Karena, pengaruh kiai muda ini sangatlah menentukan. Tapi, kerisauan ini sendiri sudah dijawab.Setelah ditinggalkan Gus Yus kegiatan Darus Sholah tidak terganggu dan tidak terbengkalai,hal ini dikarenakan Gus Yus telah meletakkan dasar-dasar manajemen pondok yang profesional. Segalanya berjalan apa adanya sesuai dengan sistem yang berlaku, dan bahkan Darus Sholah tambah menjelma menjadi pondok yang sangat diminati oleh masyarakat, hal ini dibuktikan dengan semakin bertambah banyak santri yang mondok dipesantren ini, bahkan Darus Sholah kekurangan gedung (Ruang sekolah dan asrama) untuk menampung santri yang semakin membeludak. Hanya saja, banyak obsesi beliau yang belum selesai. Pertama, keinginan Gus Yus mendirikan Perguruan Tinggi yang bersifat kejuruan di pesantren. Seperti Akademi Perawat, Fakultas Kedokteran dan lain lain. Kedua, membangun studio radio yang dapat menjadi media dakwah ke masyarakat. Ini mengingatkan kita, tatkala beliau aktif menjadi penyiar radio di masa remaja. Dan ketiga, meneruskan pembangunan masjid yang beliau cita-citakan bakal menjadi Islamic Centre, yang hingga kini baru 75 persen. Inilah tugas kolektif yang bakal dipikul, baik oleh Gus Nadzir, selaku penerus/pengasuh Darus Sholah, ataupun perangkat sistemik Darus Sholah yang lain seperti guru, ustadz dan lain sebagainya. (Sumber: Gus Yus Dari Pesantren Ke Senayan) |
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Selamat
Selamat datang di Santri Gubrak
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis
Rabu, 22 Desember 2010
Pondok Pesantren Darus Sholah
Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin
Rembang sebuah kota di pantai utara Jawa Tengah. Kota ini menjadi populer karena di sinilah gerakan emansipasi perempuan dimulai, oleh RA Kartini. Namun, di samping terkenal sebagai cikal bakal gerakan emansipasi perempuan, sebenarnya kota ini sarat dengan nilai-nilai religius. Meski bukan menjadi satu-satunya barometer religiusitas, beberapa pondok pesantren yang tumbuh dan berkembang di sana menjadi isyarat bahwa kota ini pernah menjadi pusat pengembangan Islam. Pondok Pesantren (PP) Raudlatut Tholibin adalah satu di antara beberapa pesantren yang ada di Rembang. PP ini didirikan oleh KH Bisri Musthofa, ketika beliau menginjak usia relatif muda, sekitar 30 tahun ebelum mendirikan PP, Bisri “muda” telah melanglang Indonesia, mondok dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Obsesinya untuk mendirikan PP setelah memiliki bekal ilmu agama yang cukup, dimotivasi oleh sebuah keinginan luhur yakni memberdayakan masyarakat setempat melalui pendidikan agama. Semboyan hidup yang selalu tertanam di sanubarinya ialah li i’lai kalimatillah. KH Bisri menikah dengan salah seorang putri pengasuh PP Lasem Rembang. Dalam usia 63 tahun KH Bisri wafat, sehingga tingkat estafet kepemimpinan diturunkan kepada putra tertua, yakni KH Cholil Bisri, dibantu KH Musthofa Bisri, seorang ulama sekaligus budayawan terkenal. Masyarakat dan Potensi WilayahPP Raudlatut Tholibin berada di Desa Leteh, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Propinsi Jawa Tengah. Lokasi PP berada di antara rumah-rumah penduduk dan dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten Rembang. Jumlah penduduk Desa Leteh kurang lebih 2.500 orang, terdiri atas 250 KK, dengan tingkat pendidikan yang cukup beragam. Keberadaan PP di tengah kota ini menambah semarak kehidupan beragama masyarakat. Lantunan shalawat yang mendayu-dayu dan bergemanya kalimat-kalimat Allah, menjadi tanda bahwa kota ini sarat dengan nilai-nilai religius. Potensi wilayah sekitar PP yang bisa dikembangkan adalah sektor pertanian, perikanan, perdagangan dan pariwisata. Organisasi Kelembagaan Pengelolaan PP Raudlatut Tholibin pada awalnya menganut sistem manajemen “tradisional” dengan figur sentral seorang kyai. Pada masa kepemimpinan KH Cholil Bisri dan KH Musthofa Bisri, manajemen PP mengalami perkembangan, yaitu dengan didirikannya Yayasn “al-Ibriz” yang artinya penjelas. Meskipun penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan ditangani oleh yayasan, namun keberadaan yayasan tersebut hanyalah sebuah organisasi pelaksana dari kepemimpinan kolektif KH. Cholil Bisri dan KH. Musthofa Bisri, dalam arti kyai tetap merupakan figur sentral dalam pengambilan keputusan. Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan kepengurusan PP sehari-hari, terutama dalam mengasuh santri putri, pimpinan dibantu oleh para istri pimpinan pondok. Sementara untuk kegiatan penunjang santri, pengelolaannya diserahkan pada santri sendiri, mulai dari perencanaan sampai realisasi program. Pihak pimpinan hanya memberikan saran dan petunjuk setelah menerima laporan dari santri. Struktur organisasi Yayasan terdiri: 2 orang penasehat, seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris, seorang wakil sekretaris, seorang bendahara, dan beberapa anggota yang menangani bidang-bidang tertentu. Kegiatan Pendidikan 1. Pendidikan sekolah Pendidikan sekolah yang diselenggarakan di PP Raudlatut Tholibin adalah Raudlatul Atfal (RA), dan kurikulum yang dipergunakan mengacu pada kurikulum Departemen Agama. Sedangkan MTs menggunakan kurikulum Yayasan dengan mengacu pada kurikulum sebuah lembaga pendidikan di Mekah (walaupun saat ini lembaga pendidikan tersebut sudah digusur oleh Raja Fahd). 2. Pendidikan kepesantrenan Kegiatan pendidikan kepesantrenan di PP meliputi: Madrasah Diniyah (I’dad), Taman Pendidikan al-Quran (TPA/TPQ), kajian kitab salafi dengan metode sorogan dan bandongan. TPA/ TPQ dengan materi Qiroati, dibuka untuk kalangan santri sendiri maupun masyarakat sekitar. Materi kajian kitab yang diwajibkan meliputi: fiqih, ushul fiqih, tauhid, nahwu, sharaf, balaghah, akhlak/tasawuf, tafsir al-Quran, hadis, mustholah hadis, bahasa Arab, tajwid, qowaidul fiqih, ilmu tafsir, tarih Islam, tarikh tasyri’, mantiq, dan imla’. Kegiatan tasawuf diselenggarakan di pesantren. Tujuannya tidak untuk menjadi seorang sufi, karena sifatnya hanya pengenalan. Dengan metode tadabur alam, diharapkan santri dapat menghayati, meresapi dan memahami hikmah di balik peristiwa-peristiwa alam. Dalam kegiatan ini diselingi dengan pembacaan syair munfarija, kumpulan syair Islam dan hadis berbahasa Arab. Sedangkan kitab yang digunakan untuk masing-masing materi adalah: Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Mabadi (fiqih); Latho’iful Isyroh. Alluma’ (ushul fiqih); Kifayatul Awam, Husnul Hamidiyah (tauhid); Jurumiyah, Imriti, Alfiyah (nahwu); Amtsilatut Tashrifiyah (sharaf), Jawahirul Balaghah (balaghah); Bidayatul Hidayah (akhlak/ tasawuf); Tafsir Jalalain (tafsir al-Quran); Bulughul Marom (hadis), Lughotul Arabiyah (bahasa Arab); Tuhfatul Athfal, Mustholahut Tajwid (tajwid); Faroidul Bahiyah (qowaidul fiqih); al-Isir, dan Khulashat Nuril Yaqin. 3. Kegiatan ekstrakurikuler Kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan di PP Raudlatut Tholibin meliputi: komputer, menjahit, pertukangan, olahraga dan pengelasan. Kegiatan penunjang utama santri, khususnya santri putra, adalah sepak bola dengan peserta siapa saja yang berminat. PP ini mempunyai tim kesebelasan yang permanen dan sering bermain bersama dengan kesebelasan lain di Rembang. Tim kesebelasan PP bekerjasama dengan persatuan sepak bola Krida milik Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang. Di PP ini juga tersedia berbagai fasilitas olah raga seperti bulu tangkis dan tenis meja. 4. Ciri khas Sistem pendidikan di PP ini menganut sistem pendidikan salafi. Sedangkan yang menjadi kajian utama adalah nahwu dan sharaf. Dijadikannya materi nahwu dan sharaf sebagai kajian utama dimaksudkan untuk memberi pengetahuan secara mendalam kepada santri tentang metode mengkaji kitab. Santri, Kyai dan Ustadz/ Guru Jumlah santri yang mendalami ilmu agama di PP Raudlatut Tholibin sebanyak 2.507 orang yang terdiri atas 1.317 santri putra dan 1.190 santri putri. Mereka terbagi menjadi 507 santri mukim dan 2.000 santri tidak mukim. Khusus santri mukim, yang berasal dari Kabupaten Rembang adalah 317 santri dan sebanyak 190 santri berasal dari luar Kabupaten Rembang. Para santri tersebut diasuh oleh 2 kyai, 2 nyai, 5 badal (3 laki-laki dan 2 perempuan), 60 ustadz/guru (35 laki-laki dan 25 perempuan). Sarana Prasarana Untuk menunjang kelancaran proses pen¬didikan, PP Raudlatut Tholibin memiliki sarana dan prasarana yang terdiri dari: 5 ruang belajar/ mengaji, 2 ruang pimpinan pondok, 1 ruang pim¬pinan madrasah, 1 ruang ustadz/guru, 2 ruang administrasi, 1 ruang perpustakaan, 7 ruang per¬temuan, 3 lapangan olahraga, 3 unit peralatan olahraga, 4 masjid, 1 ruang BP3, 45 asrama putra, 26 asrama putri, 2 unit rumah pengasuh, 22 unit kamar mandi/WC, 8 unit kom¬puter, 1 unit mesin jahit, dan beberapa peralatan pertukangan. Dari 8 komputer yang ada, lima di antara¬nya berasal dari Menteri Agama KH Tholhah Hasan. Usaha Ekonomi Dana penyelenggaraan dan pengelolaan PP selain berasal dari iuran santri, dari sumbangan para donatur baik pemerintah maupun swasta, perorangan maupun lembaga dan juga dari alumni. Di samping itu, pondok juga menggali dana sendiri melalui usaha ekonomi dengan mendirikan koperasi yang sudah mempunyai badan hukum dan NPWP. Bentuk usaha koperasi meliputi usaha penyediaan kebutuhan sehari-hari dan pelayanan jasa telepon. Usaha koperasi tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan santri dan masyarakat sekitar. Modal koperasi berasal dari iuran pokok dan iuran wajib santri. Program Pengembangan Program pengembangan PP Raudlatut Tholibin meliputi pengembangan fisik dan nonfisik.Dalam pengembangan fisik, pihak PP telah mengusahakan perbaikan dan penambahan kamar mandi/WC, asrama, ruang belajar, dan sebagainya. Di samping itu, pihak pondok juga menyelenggarakan pelatihan pertukangan yang hasilnya dapat langsung diaplikasikan dalam pembangunan fisik pondok. Pengembangan nonfisik (pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia), meliputi: mengembangkan partisipasi para alumni, masyarakat dan keluarga besar PP; memperluas jaringan komunikasi dan bekerjasama dengan berbagai kalangan; bekerjasama dengan Departemen Agama Kabupaten Rembang dalam program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS); sedangkan untuk kaderisasi, pimpinan pondok telah mengirimkan salah seorang putra pengasuh untuk menimba ilmu di Mekah. (posted from majalah pesantren) http://www.pondokpesantren.net/ |
Selasa, 21 Desember 2010
Selamat Natal Menurut Al-Qur'an
| |||
KH Hasyim Asy’ari Sang Ulama Pejuang
Menyebut nama KH Hasyim Asy’ari, orang tentu akan berpikir pada pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Tak salah memang, sebab dengan peran sebagai tokoh sentral, NU mampu menjadi organisasi keislaman yang diikuti banyak masyarakat Muslim di Indonesia.
Selain itu, KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang). Namanya juga sangat lekat dengan tokoh pendidikan dan pembaru pesantren di Indonesia. Selain mengajarkan agama pada pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Ia merupakan salah seorang tokoh besar Indonesia abad ke-20.
KH Hasyim Asy’ari dilahirkan pada 14 Februari l871, di Pesantren Gedang, Desa Tambakrejo, sekitar dua kilometer ke arah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ia merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Ayahnya, Kiai Asy’ari, adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Sehingga, sejak kecil, ia sudah mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam dari orang tua dan kakeknya. Ia diharapkan menjadi penerus kepemimpinan pesantren.
Mandiri sejak belia
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada 1876 M, tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras (Diwek), sekitar 8 kilometer ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana. Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang kepala desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya.
Hasyim juga menyaksikan secara langsung cara dan metode Kiai Asy’ari membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.
Selain itu, sejak kecil Kiai Hasyim juga sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya. Pada usia 13 tahun, dia sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar (senior) darinya.
Ia juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek (Kiai Utsman), mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.
Pada usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan menuntut ilmu ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan KH Kholil yang dikenal sangat alim.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub yang kelak menjadi mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama lima tahun.
Semangatnya dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah suci, Makkah. Selama di Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Tirmasi (Tremas, Pacitan), Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah Sayyid juga menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat memengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Tirmasi.
Pada saat tinggal di Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara. Di antaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH R Asnawi (Kudus), KH Dahlan (Kudus), KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH Shaleh (Tayu).
Dan, bersama KH Wahab Hasbullah (Tambakberas), KH Bisri Syansuri (Denanyar), serta KH Bisri Musthofa (Rembang), KH Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebagai wujud perjuangan para ulama dalam membimbing umat sekaligus melawan penjajah Belanda. Beberapa saat setelah merdeka, Kota Surabaya yang ingin direbut kembali oleh penjajah, mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Bersama Bung Tomo, KH Hasyim Asy’ari menyerukan perang jihad melawan Belanda.
Dan selanjutnya, melalui organisasi ini pula, nama KH Hasyim Asy’ari berkibar. Ketokohan dan keilmuan yang dimilikinya menempatkannya sebagai ulama teratas di Indonesia. Tak heran pula bila kemudian beliau mendapat julukan sebagai Hadratus Syekh (penghulu para syekh/ulama). dia/sya/berbagai sumber
Menjadi Pendidik Sejati
KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir sepanjang hidupnya, dirinya mengabdikan diri pada lembaga pendidikan, terutama di Ponpes Tebuireng, Jombang. Saat ini, Ponpes Tebuireng diasuh oleh cucunya, yaitu KH Sholahuddin bin Wahid bin Hasyim, yang akrab disapa dengan Gus Sholah. Gus Sholah adalah adik kandung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan presiden RI keempat.
Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih berjarak satu kilometer. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal.
Dari bangunan kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh Kiai Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah. Sedangkan, bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri yang belajar baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang.
Selain ahli dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran. Di dunia pendidikan, ia merupakan seorang pendidik yang sulit dicari tandingannya. Ia menghabiskan waktu dari pagi hingga malam untuk mengajar para santrinya.
Kegiatan mengajar ia mulai pada pagi hari, yakni selepas memimpin shalat subuh berjamaah. Ia mengajarkan kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Di antara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Kemudian setelah menunaikan shalat dhuha, Kiai Hasyim kembali memberikan pengajaran kitab kepada para santrinya. Namun, sesi pengajaran pada waktu ini khusus ditujukan bagi para santri senior. Kitab yang diajarkannya, antara lain, Kitab al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muwatta karya Imam Malik. Pengajian untuk santri senior ini biasanya berakhir pada pukul 10.00.
Selepas shalat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu ashar. Kegiatan mengajar ini, ia lanjutkan setelah shalat ashar hingga menjelang maghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinu dibaca setiap selesai shalat ashar.
Kegiatan mengajar para santrinya, baru ia mulai kembali setelah shalat Isya. Ia mengajar di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tasawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf, beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir Alquran al-Adzim karya Ibnu Katsir.
Dalam hal menjalankan praktik ibadah, Kiai Hasyim senantiasa membimbing para santrinya. Ini terlihat dalam rutinitas harian beliau yang kerap berkeliling pondok pada dini hari hanya untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudhu guna malaksanakan shalat tahajud dan shalat subuh.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng. ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji,” demikian isi pesan Kiai Hasyim kepada para santrinya.
Sistem pengajaran
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Dalam sistem pengajaran ini, tidak dikenal yang namanya jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, di antaranya dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawarah jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Baru kemudian pada 1916, KH Ma’shum Ali–salah seorang menantu Kiai Hasyim–mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Mulai tahun itu juga, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya.
Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu pada 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. dia/berbagai sumber
Karya Sang Ulama
Selama hidupnya, KH Hasyim Asy’ari banyak menulis karya, diantaranya :
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360 H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’ (1971 M).
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat (1935).
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. Berisi 40 hadis Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada Rasul), ditulis tahun 1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH M Yusuf Hasyim, diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H/1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra
http://rifaimovic.wordpress.com/2009/06/03/kh-hasyim-asyari-sang-ulama-pejuang/
Selain itu, KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang). Namanya juga sangat lekat dengan tokoh pendidikan dan pembaru pesantren di Indonesia. Selain mengajarkan agama pada pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Ia merupakan salah seorang tokoh besar Indonesia abad ke-20.
KH Hasyim Asy’ari dilahirkan pada 14 Februari l871, di Pesantren Gedang, Desa Tambakrejo, sekitar dua kilometer ke arah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ia merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Ayahnya, Kiai Asy’ari, adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Sehingga, sejak kecil, ia sudah mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam dari orang tua dan kakeknya. Ia diharapkan menjadi penerus kepemimpinan pesantren.
Mandiri sejak belia
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada 1876 M, tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras (Diwek), sekitar 8 kilometer ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana. Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang kepala desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya.
Hasyim juga menyaksikan secara langsung cara dan metode Kiai Asy’ari membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.
Selain itu, sejak kecil Kiai Hasyim juga sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya. Pada usia 13 tahun, dia sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar (senior) darinya.
Ia juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek (Kiai Utsman), mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.
Pada usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan menuntut ilmu ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan KH Kholil yang dikenal sangat alim.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub yang kelak menjadi mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama lima tahun.
Semangatnya dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah suci, Makkah. Selama di Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Tirmasi (Tremas, Pacitan), Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah Sayyid juga menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat memengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Tirmasi.
Pada saat tinggal di Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara. Di antaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH R Asnawi (Kudus), KH Dahlan (Kudus), KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH Shaleh (Tayu).
Dan, bersama KH Wahab Hasbullah (Tambakberas), KH Bisri Syansuri (Denanyar), serta KH Bisri Musthofa (Rembang), KH Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebagai wujud perjuangan para ulama dalam membimbing umat sekaligus melawan penjajah Belanda. Beberapa saat setelah merdeka, Kota Surabaya yang ingin direbut kembali oleh penjajah, mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Bersama Bung Tomo, KH Hasyim Asy’ari menyerukan perang jihad melawan Belanda.
Dan selanjutnya, melalui organisasi ini pula, nama KH Hasyim Asy’ari berkibar. Ketokohan dan keilmuan yang dimilikinya menempatkannya sebagai ulama teratas di Indonesia. Tak heran pula bila kemudian beliau mendapat julukan sebagai Hadratus Syekh (penghulu para syekh/ulama). dia/sya/berbagai sumber
Menjadi Pendidik Sejati
KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir sepanjang hidupnya, dirinya mengabdikan diri pada lembaga pendidikan, terutama di Ponpes Tebuireng, Jombang. Saat ini, Ponpes Tebuireng diasuh oleh cucunya, yaitu KH Sholahuddin bin Wahid bin Hasyim, yang akrab disapa dengan Gus Sholah. Gus Sholah adalah adik kandung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan presiden RI keempat.
Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih berjarak satu kilometer. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal.
Dari bangunan kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh Kiai Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah. Sedangkan, bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri yang belajar baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang.
Selain ahli dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran. Di dunia pendidikan, ia merupakan seorang pendidik yang sulit dicari tandingannya. Ia menghabiskan waktu dari pagi hingga malam untuk mengajar para santrinya.
Kegiatan mengajar ia mulai pada pagi hari, yakni selepas memimpin shalat subuh berjamaah. Ia mengajarkan kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Di antara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Kemudian setelah menunaikan shalat dhuha, Kiai Hasyim kembali memberikan pengajaran kitab kepada para santrinya. Namun, sesi pengajaran pada waktu ini khusus ditujukan bagi para santri senior. Kitab yang diajarkannya, antara lain, Kitab al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muwatta karya Imam Malik. Pengajian untuk santri senior ini biasanya berakhir pada pukul 10.00.
Selepas shalat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu ashar. Kegiatan mengajar ini, ia lanjutkan setelah shalat ashar hingga menjelang maghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinu dibaca setiap selesai shalat ashar.
Kegiatan mengajar para santrinya, baru ia mulai kembali setelah shalat Isya. Ia mengajar di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tasawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf, beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir Alquran al-Adzim karya Ibnu Katsir.
Dalam hal menjalankan praktik ibadah, Kiai Hasyim senantiasa membimbing para santrinya. Ini terlihat dalam rutinitas harian beliau yang kerap berkeliling pondok pada dini hari hanya untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudhu guna malaksanakan shalat tahajud dan shalat subuh.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng. ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji,” demikian isi pesan Kiai Hasyim kepada para santrinya.
Sistem pengajaran
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Dalam sistem pengajaran ini, tidak dikenal yang namanya jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, di antaranya dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawarah jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Baru kemudian pada 1916, KH Ma’shum Ali–salah seorang menantu Kiai Hasyim–mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Mulai tahun itu juga, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya.
Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu pada 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. dia/berbagai sumber
Karya Sang Ulama
Selama hidupnya, KH Hasyim Asy’ari banyak menulis karya, diantaranya :
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360 H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’ (1971 M).
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat (1935).
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. Berisi 40 hadis Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada Rasul), ditulis tahun 1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH M Yusuf Hasyim, diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H/1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra
http://rifaimovic.wordpress.com/2009/06/03/kh-hasyim-asyari-sang-ulama-pejuang/
Sufisme
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara orang penganut paham tersebut disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad .
Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.
Beberapa definisi sufisme:
“...Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (As Shaad; 72)”
Sehingga ruh manusia dan Ruh Allah dapat dikatakan bersatu dalam salat karena salat adalah me-mi'rajkan ruh manusia kepada Ruh Allah Azza wa Jalla . Atas dasar pengaruh 'penyatuan' inilah maka kezuhudan dalam sufi dianggap bukan sebagai kewajiban tetapi lebih kepada tuntutan bathin karena hanya dengan meninggalkan/ tidak mementingkan dunia lah kecintaan kepada Allah semakin meningkat yang akan bepengaruh kepada 'penyatuan' yang lebih mendalam.
Paham ini dikalangan penganut paham kebatinan juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti yang berarti bersatunya antara hamba dan Tuhan.
Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme
Etimologi
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
Sejarah paham
Banyak pendapat pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkanSebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara orang penganut paham tersebut disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad .
Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.
Beberapa definisi sufisme:
- Yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
- Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B. Van Haeringen).
- Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995)
- Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.] .
- Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
- (Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).
- Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan mempengaruhi aliran-aliran di daam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).
- Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980).
- Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc) .
Tokoh tasawuf di Indonesia
Tokoh –tokoh yang mempengaruhi tasawuf di Indonesia yaitu: Hamzah Al-Fasuri, Nurddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf As-Sinkili, [[Syekh Yusuf Al-Makasari]].Contoh paham
Berikut contoh paham Sufi atau paham tasauf :Paham kesatuan wujud
Paham ini berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Quran yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS:“...Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (As Shaad; 72)”
Sehingga ruh manusia dan Ruh Allah dapat dikatakan bersatu dalam salat karena salat adalah me-mi'rajkan ruh manusia kepada Ruh Allah Azza wa Jalla . Atas dasar pengaruh 'penyatuan' inilah maka kezuhudan dalam sufi dianggap bukan sebagai kewajiban tetapi lebih kepada tuntutan bathin karena hanya dengan meninggalkan/ tidak mementingkan dunia lah kecintaan kepada Allah semakin meningkat yang akan bepengaruh kepada 'penyatuan' yang lebih mendalam.
Paham ini dikalangan penganut paham kebatinan juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti yang berarti bersatunya antara hamba dan Tuhan.
Kedudukan syariat dalam empat tingkatan spiritual
Syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.
Kekuatan tasawuf
Tasawuf merupakan suatu kekuatan. Hal itu karena jiwa kaum sufi tiada harganya di jalan Allah. Mereka merelakan jiwa mereka untuk menegakan kalimat tuhan. Mereka membebani diri dengan kepayahan untuk menyebarkan agama (khususnya) Islam di wilayah-wilayah Afrika dan negri-negri yang belum di taklukan oleh pasukan Islam. Pengaruh mereka cukup besar dalam menyebarkan Islam di negri Melayu (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina). Juga negri-negri lainnya di dunia.Tasawuf dan ilmu pengetahuan
Ilmu yang di zaman Yunani kuno diberi citra, bahkan diidentikkan dengan filsafat. tasawuf sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaisessance dan [[Aufklarung]. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa atau siapapun (agama, tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain sebagainya) selain komitmen dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana menuju kehidupan yang hendak dicapai.Kesenian sufi
Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Farsi, Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab, Bahasa Sindhi, yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti Sama dan musik seperti Qawalli.http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme
PPTQ Al-Asy'ariyyah
PPTQ Al- Asyariyyah, satu-satunya lembaga pendidikan di Kota Wonosobo Asri yang fokus pada pendalaman ilmu Al-Qur'an namun juga tetap mengikuti perkembangan zaman dengan menyediakan pendidikan formal mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Berbagai spesifikasi kajian ilmu agama bisa secara bebas dipilih oleh kalangan santri sebagai wujud kebebasan dalam memilih sekaligus pembelajaran yang selalu ditanamkan oleh Abah Faqih selaku pengasuh. Sejarah Berdiri A. Periode Pertama; K. Muntaha bin Nida' Muhammad (1832-1859) Pada tahun 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap atas tipu daya Belanda di Magelang termasuk para pengawalnya juga dilucuti. Diantara prajurit pengawalnya yang sempat meloloskan diri dari kejaran Belanda adalah Raden Hadiwijaya dengan nama samaran KH. Muntaha bin Nida' Muhammad. Pada tahun 1832 KH. Muntaha tiba di Desa Kalibeber yang waktu itu sebagai ibu kota Kawedanan Garung. Beliau diterima oleh Mbah Glondong Jogomenggolo, beliau mendirikan Masjid dan Padepokan Santri di Dusun Karangsari, Ngebrak, Kalibeber, dipinggir Sungai Prupuk yang sekarang dijadikan makam keluarga Kyai. Ditempat ini beliau mengajarkan agama Islam kepada anak-anak dan masyarakat sekitar. Ilmu pokok yang diajarkan adalah baca tulis Al-Qur'an, Tauhid, dan Fiqih. Dengan penuh ketekunan, keuletan dan kesabaran, secara berangsur-angsur masyaraat Kalibeber dan sekitarnya memeluk agama Islam, atas kesadaran mereka sendiri. Mereka meninggalkan adat-istiadat buruknya seperti berjudi, manyabung ayam, minum khomr, dll. Karena Padepokan Santri lama kelamaan tidak mampu menampung arus santri dan terkena banjir sungai Prupuk maka kegiatan pesantren dipindahkan ketempat yang sekarang dinamai Kauman, Kalibeber. Sedangkan yang tinggal di Padepokan baru yang tidak mau secara sukarela memeluk Islam, atas kemauan sendiri banyak yang meninggalakan kampung itu. Daerah selatan pesantren yang semula dihuni oleh Etnis China akhirnya ditinggalkan penghuninya, dan nama Gang Pecinan sampai sekarang masih dilestarikan. K. Muntaha wafat pada tahun 1860, setelah 26 tahun memimpin pesantren. Beliau digantikan oleh putranya KH. Abdurrochim bin KH. Muntaha. B. Periode ke-Dua; KH. Abdurrochim (1860-1916) Mulai tahun 1860, KH. Abdurrochim bin KH. Mutaha menerima estafet tugas mulia memimpin pesantren dari ayahnya. Beliau adalah seorang Kyai yang ahli dalam bidang pertanian dan tidak suka berpolitik praktis. Beliau juga ahli Tasawuf. Sejak mudanya beliau telah dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan menyiarkan Islam dan memimpin pesantren. Beliau pernah nyantri di Pondok Pesantren Kyai Abdullah bin KH. Mustahal Jetis, Parakan, Temanggung, bahkan beliau dijadikan menantunya. Dibawah asuhan KH. Abdurrochim pesantren semakin maju. Satu hal yang sangat menarik dari Al-Maghfurllah KH. Abdurrochim adalah keahliannya dalam menulis Al-Qur'an. Sehingga ketika beliau pergi berhaji selama dalam perjalanan beliau menulis Qur'an dengan tangan Beliau sendiri sampai ketika beliau tiba di Kampung halaman penulisan Al-Qur'an tersebut dapat selesai sempurna 30 juz. Peristiwa bersejarah inilah yang nantinya menjadi sumber inspirasi bagi cucu Beliau yaitu Al-Maghfurllah KH. Muntaha Alh untuk membuat Al-Qur'an raksasa, yang menjadi Al-Qur'an terbesar di dunia. Dalam memimpin pesantren beliau masih melestarikan sistem dan materi pendidikan peninggalan ayahandanya. Bertepatan pada tanggal 3 Syawal 1337 H atau 1916 Masehi, KH. Abdurrochim dipanggil yang Maha Kuasa dan dimakamkan dibekas komplek Pondok Karangsari, Ngebrak. Sepeninggalan Beliau, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putranya KH. Asy'ari bin KH. Abdurrochim. C. Periode ke-tiga; KH. Asy'ari bin KH. Abdurrochim (1917-1949) KH. Asy'ari mempunyai 2 saudara yaitu; KH. Marzuki dan Nyai Hj. Maemunnah (istri KH. Syuchaimi dari Malaysia). Beliau mempunyai wiridan rutin membaca Dalailul Khoirot kemanapun beliau pergi selalu membawa kitab tersebut. Beliau mempunya dua istri yaitu Nyai Hj. Safinah (Ibu kandung Al-Maghfurllah KH.Muntaha) dan Nyai Hj. Supi'ah (Ibu kandung KH. Mustahal Asy'ari). KH. Asy'ari pernah nyantri di Krapyak Yogyakarta dan ketika itu Beliau diajak oleh KH. Munawwir untuk mengikuti (ndere'ake) menuntut ilmu di Mekkah selama + 17 tahun. Pada saat nyantri di Mekkah inilah Beliau rutin membaca Al-Qur'an, bahkan setiap hari bisa khatam. selain itu Beliau juga pernah nyantri di Sumolangu, Kebumen, dan Termas Pacitan. Beliau meneruskan kepemimpinan Ayahandanya. Pada masa itu Indonesia telah melahirkan gerakan-gerakan Nasional, baik yang berdasarkan agama maupun kebangsaan. Pada tahun-tahun terakhir kehidupan beliau, Indoneia sedang gigih-gigihnya menentang kembali penjajahan Belanda oleh karena itu pesantren mengalami masa surut sebagian santrinya ikut dalam geriliya melawan Penjajah. Pada aksi Polisionil kedua (Agresi Militer Belanda II) itu Belanda menyerang wilayah Wonosobo bahkan sampai ke Desa Dero Ngisor + 5 Km dari Kalibeber kesebalah barat. Pondok Pesantren pun tak luput dari amukan Belanda bahkan Al-Qur'an tulisan tangan Al-Maghfurllah KH. Abdurrochim ikut dibakar. Sementara itu KH. Asy'ari yang sudah lanjut usia terpaksa mengungsi ke Dero Duwur + 8 Km dari Kalibeber. Ternyata Belanda tidak berani meneruskan pengejaran Ulama' ini sampai ketempat pengungsian. Dalam pada itu beliau sedang sakit keras dan kemudian wafat dalam pengungsian dan dimakamkan disana pada tanggal 13 Dzulhijah 1371 H/ 1949 M. Menurut satu sumber yang dapat dipercaya (saksi sejarah yang masih hidup) termasuk dari satu keistimewaan Beliau adalah suatu ketika masjid dan pondok pesantren di bom oleh Belanda namun berkat doa beliau bom tersebut tidak meledak, malah berubah menjadi Singkong (Bodin- Bahasa Kalibeber red). Satu hal yang perlu dicatat bahwa wafatnya KH. Asy'ari teleh menyiapkan putra-putranya untuk kaderisasi kepemimpinan. Seluruh putranya dikirim ke berbagai pondok pesantren satu diantara putranya ialah KH. Muntaha Alh bin KH. Asy'ari D. Periode ke-empat 1. KH. Muntaha Al-Hafidz bin KH. Asy'ari KH. Muntaha Alh atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbah Munt adalah seorang Ulama' legendaries, dan Kharismatik. Beliau dijuluki sang Maestro Al-Qur'an. Dibawah kepemimpinan Beliau inilah Al-Asy'ariyyah menemui kemajuan yang sangat pesat, dengan pertambahan santri yang menjadi ribuan dan juga pertambahan lembaga-lembaga pendidikan dibawah naungan Yayasan Al-Asy'ariyyah. Dan dengan satu karya yang sangat fenomenal yaitu : Al-Qur'an Akbar (Al-Qur'an terbesar di Dunia) yang kini disimpan di bait Al-Qur'an Taman Mini Indonesia indah (TMII). Beliau adalah sosok ulama' yang juga pandai berpolitik, semasa masih muda beliau pernah menjadi anggota konstituante dari fraksi NU, tetapi beliau bukanlah politisi. Garis Politik beliau adalah mengutamakan kemaslahatan umat dari pada sekedar kepentingan/ambizi pribadi. Beliau juga seorang pejuang kemerdekaan, Beliau pernah ikut pertempuran di Palagan Ambarawa sebagai Komandan BMT (Barisan Muslim Temanggung). Mbah Munt adalah seorang Ulama' yang serius dan kreatif, sederhana, pemurah, dan seorang pribadi yang berakhlakul karimah. Orang-orang menyebutnya berhati Segara (laut), hatinya bagai samudera luas dan seperti air, setinggi apapun tempatnya air mengalir kearah dan tempat yang lebih rendah. Dalam perjuangan memasyarakatkan Al-Qur'an, beliau mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal Al-Qur'an dan dan pengajian Al-Qur'an. (Jama'atul Qur'an wa Diraasat Al-Qur'an atau YJHQ) yang menghimpun para hafidz-hafidzah se-Kabupaten Wonosobo. Beliau sering menasihati murid-muridnya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an minimal seminggu sekali. Beliau juga penyusun Tafsir Maudlu'i yang kini berjudul Tafsir Al-Muntaha. Beliau adalah hamba Allah dalam arti yang sebenarnya. Dalam zuhud dan taqwa beliau telah sampai pada maqam ma'rifat, keyakinan hatinya begitu tinggi sehingga seluruh hidupnya penuh dengan ketaatan kepada Allah SWT. Jiwa dan makna ma'rifat beliau berbeda sekali dari sikap hidup para zahid yang menjauhi dunia. Sebaliknya Irfan atau daya ma'rifat Mbah Muntaha adalah irfan yang positif dan dinamis, yakni penuh perhatian dan pemahaman terhadap masalah-masalah di sekitarnya. Banyak wali yang hidup zuhud dan menjauhi dunia. Tetapi Beliau adalah wali yang Zahid dan membangun dunia. Sejak pondok pesantren dipimpin oleh Al-Maghfurllah KH. Muntaha Alh, maka berbagai langkah inovativ dan pengembangan mulai dilakukan diberbagai aspek. Sehingga jika sekarang kita melihat perkembangan pesantren ini tida lain adalah karena jasa dan perjuangan beliau. Langkah pengembangan tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Pengembangan itu antara lain dalam masa-masa awalnya, pesantren pesantren yang lebih mnegkhususkan pada pengkajian dan hafalan Al-Qur'an masih tetap dipertahankan bahkan lebih dikembangkan lagi. Sehingga dalam waktu tidak lama jumlah santripun bertambah banyak. 2. KH. Mustahal Asy'ari bin KH. Asy'ari Apabila kita membicarakan KH. Muntaha, Alh maka tidak akan berpisah dari tokoh pendampingnya yaitu KH. Mustahal Asy'ari (Adik Beliau). Beliau dilahirkan pada tahun 1926 + 14 tahun lebih muda dari KH. Muntaha. Beliau mengawali menuntut ilmu dibawah bimbingan langsung dari ke-dua orang tuanya sendiri. Kemudian beliau mesantren pertama kali kepada Syech KH. Muntaha Parakan Temanggung pada tahun 1946 selama 1 tahun. Kemudian beliau meneruskan nyantri di Lasem dari tahun 1947 sampai dengan 1951. Setelah itu beliau memperdalam ilmu di Pondok Pesantren Al- Munawwir Krapyak Yogyakarta di bawah bimbingan langsung KH. Munawwir, Alh selama 3 tahun. Selama mesantren beliau "Tirakat" dengan tidak pernah makan nasi selama 13 tahun. Setelah dirasa cukup beliau pulang kerumah untuk membantu dakwah memperjuangkan syari'at islam di Kampung halamannya, Dengan mengawali mendirikan TK dan MI Ma'arif. Pada tahun 1958 beliau melaksanakan sunah Nabi SAW yaitu melangsungkan pernikhan dengan Nyai Tisfiyyah dari Kertijayan, Buaran, Pekalongan. Dari pernikahan ini dikaruniai 6 Orang putra yaitu : Mustaqimah, Masudan Asy'ari, Atho'illah Asy'ari, Mukarromah, Muhammad Muhlis dan Affan Mastur. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua NU, Ketua Fatayat, Ketua Muslimat, Dan Ketua GP Anshor Cabang Wonosobo. Disamping itu beliau adalah sebagai pegawai KUA. Beliau juga menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Wonosobo pada tahun 1961-1966. hal yang sangat patut di teladani oleh para santri adalah ke-istiqomahan beliau, salah satunya ialah dalam hal sholat 5 waktu. Sampai sekrang beliau masih aktif menjadi imam harian di Masjid Baiturrochim. E. Periode ke-Lima (sekarang) KH. Achmad Faqih Muntaha Beliau adalah putra sulung KH.Muntaha Alh dari istri yang bernama Nyai Hj Maiyan jariyah, lahir di Kalibeber pada tanggal 3 Maret 1955. beliau akarb dipanggil dengan Abah Faqih. Beliau mempunyai 5 putra dan 1 putri yaitu ; 1. H. Abdurrohman Al-Asy'ari, Alh, S.H.I 2. H. Khairullah Al-Mujtaba, Alh 3. Siti Marliyah 4. Nuruzzaman 5. Fadlurrohman Al-Faqih 6. Ahmad Isbat Caesar Putra-putri beliau sudah ada yang menyelesaikan pendidikan baik formal maupun non formal, baik S1 maupun tahfidzul Qur'an dan juga pondok pesantren. Bahkan putra beliau yang pertama dan kedua adalah alumnus Yaman "Ribat ta'lim Khadzral maut" dibawah asuhan Habib Salim As-Satiri 1. Riwayat Pendidikan Beliau menjalani masa kanak-kanak dibawah asuhan langsung dari Almaghfurlah KH. Muntaha Alh. Selain itu beliau juga sekolah formal di SD Kalibeber, sedangkan SMP di Wonosobo yang kemudian melanjutkan di STM juga di Wonosobo setelah selesai sekolah formal bilau dikirim untuk belajar di pesantren seperti kebayakan gus-gus yang lain. Pada tahun 1973 beliau nyantri di Pondok pesantren termas Pacitan dibawah asuhan KH. Chabib Dimyati, sampai tahun 1978. kemudian beliau pindah ke Krapyak yang pada waktu itu diasuh oleh beliau KH. Ali Maksum (juga termasuk salah satu teman seperjuangan Simbah Muntaha Alh) selama 1 tahun. Selanjutnya beliau nyantri lagi di Buaran Pekalongan kepada Al-Mukarrom KH. Syafi'I yang juga terkenal sebagai salah satu teman seperjuangan Al-Maghfurllah Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz. Setelah itu pada tahun 1980 beliau pulang ke Kalibeber yang dilanjutkan dengan nyantri di kaliwiro kepada seorang kiyai yang terkenal dengan panggilan Mbah Dimyati. Belum genap satu tahun beliau kemudian melaksanakan akad nikah dengan salah seorang santri kalibeber yang bernama Shofiah binti KH Abdul Qodir Cilongok Banyumas, kendati beliau telah melangsungkan pernikahan, namun bukan berarti akhir dalam menuntut ilmu, karena beliau masih tetap nyantri dengan Mbah dimyati di Kaliwiro selama kurang lebih satu tahun. Ketika di kaliwiro inilah beliau mendalami kitab-kitab yang besar antaralain : Shoheh Bukhori, Shoheh Muslim, Ihya' Ulummuddin, Tafsir Al-Munir, dan lain-lain. Kemudian beliau mukim membantu perjuangan Ayahanda beliau yaitu Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz(Alm). Selama masa nyantri tersebut beliau mempunyai hobi yang sangat unik yang sama dengan hobinya Gus Dur yaitu Ziarah Qubur, beliau juga terkenal sebagai santri yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang tinggi dan selalu mentaati peraturan (Qonun) pondok pesantren yang ada walaupun beliau adalah putra seorang Ulama besar yang kharismatik. 2. Perjuangan Pendidikan Setelah pulang dari pesantren (Mukim pada tahun 1980) beliau aktif membantu mengajar di Pondok pesantren milik Ayahandanya dan ikut perkecimpung dalam masyarakat. Waktu itu santri di kalibeber baru sekitar 50 orang putra dan putri dengan prioritas Tahfidzul Qur'an (menghafal A-Qur'an) dan menggunakan sistem salafy. Pertama kali beliau mengajar pada santrinya yaitu kitab "Burdah" yang bertempat di masjid Baiturrochim. Selain mengajar pada santri beliau juga mengajar Diniyah ba'da dzuhur untuk orang kampung yang waktu itu bertempat di MI Ma'arif. Adapun kitab-kitab yang pernah beliau khatamkan antaralain adalah ; Taqrib, Bidayatul Hidayah, Sulamuttaufik, Safinah, dll sedangkan untuk ilmu nahwu diampu oleh teman beliau yaitu Bp H. Quraisyin. Disamping mengajar, beliau juga ikut aktif dalam mendirikan lembaga-lembaga formal antara lain : SMP, SMA, SMK Takhassus Al-Qur'an dan IIQ (Sekarang UNSIQ). Beliau juga meneruskan cita-cita ayahanda beliau yang belum terealisir diantaranya; SD Takhassus Al-Qur'an, Darul Aitam, Menara Masjid Baiturrochim, dan gedung baru Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah. Beliau juga mendirikan kelas jauh diantaranya adalah : SMA Takhassus Al-Qur'an di Kepil, SMP + SMA Takhassus Al-Qur'an di Ndero duwur plus Pondok pesantren tanpa pemungutan biaya, Pondok Pesantren + SMA dan SMP Takhassus Al-Qur'an di Kalimantan barat, SMP TAQ Di Majalengka, di Tumiyang Purwokerto, di Buntu Banyumas, serta di Baran Gunung Ambarawa, dan masih banyak lagi. Satu cita-cita beliau yang belum terrealisasi adalah menjadikan Kalibeber sebagai "Semacam Vatikan" di Indonesia. Dimana nanti setiap fatwa dari kalibeber akan di patuhi oleh semua pemeluk islam diseantereo Nusantara. 3. Perjuangan Organisasi Dalam bidang organisasi beliau aktif di Mabarot. Dan selanjutnya aktif di Tanfidziyah Ranting kalibeber, sekretaris MWC Mojotengah. Tercatat mulai Tahun 1996 sampai sekarang beliau aktif sebagai Mustasyar NU cabang Wonosobo. Dulunya Beliau juga aktif dalam partai politik antara lain P3, Golkar dan PKB. Namun demi kemaslahatan umat mulai tahun 2004 hingga sekarang beliau netral. Selain itu beliau juga menjadi salah satu sesepuh di Kalibeber bahkan diWonosobo beliau termasuk salah satu Kiyai yang paling disegani. {po} |
Pondok Pesantren Al Istiqomah
Pondok Pesantren Al Istiqomah, terletak di Desa Tanjungsari Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah. Adalah KH. Abdullah Mukti merupakan awal mula perintis berdirinya Pondok Pesantren Al Istiqomah, setelah lama bermukim dan belajar ilmu agama di Makkah tahun 1912-1936 M dan berguru pada Syeh Abdurrohman di Makkah. KH. Abdullah Mukti sekembali dari Makkah pada tahun 1936, di kampung halamannya desa Tanjungsari, mengembangkan ilmunya dengan mendirikan majlis ta’lim dan tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah. Dan dalam perkembangannya tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah ini jama'ahnya semakin banyak dan pesat. Para jama’ah tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah ini berdatangan dari sekitar Desa Tanjungsari, dan kemudian kegiatan tharekat ini dipusatkan disebuah masjid yaitu masjid Al Istiqomah sebagai tempat para jama’ah tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah ini melakukan suluk dan bai’at langsung kepada KH. Abdullah Mukti yang sebagai mursyidnya. Setelah 24 tahun mengamalkan ilmu dan mengabdikan diri kepada masyarakat di kampung halamannya, KH. Adullah Mukti wafat tahun 1958. Sepeninggal KH. Abdullah Mukti kegiatan dan kepemimpinan diteruskan oleh KH. Bajuri, akan tetapi dalam masa kepemimpinan KH. Bajuri kurang berjalan dengan baik. Sehingga jama’ah tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah ini pindah ke Jetis Kutosari, tharekat yang diasuh dan dipimpin oleh KH. Mahfud Khasbullah dan sebagian lagi pindah ke Karanganyar, dengan mengikuti tharekat yang diasuh dan dipimpin oleh KH. Umar Nasir. Kegiatan pesantren mulai nampak kembali pada tahun 1975, disaat KH Amin Rosyid Putra sulung dari KH Bajuri pulang dari menimba ilmu dan mukim di tanah kelahirannya yakni desa Tanjungsari, mulailah ia merintis kembali apa yang pernah dilakukan oleh kakeknya KH. Abdullah Mukti, yaitu dengan merintis majlis ta’lim mingguan disamping juga mengajar anak-anak santri masjid Al Istiqomah. Pada tahun 1982 KH. Amin Roysid mulai mendirikan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) Al Istiqomah, dengan sistem belajar cepat bisa membaca dan menulis Al Qur’an, pada periode tahun inilah mulai dibangun asrama untuk para santri yang kemudian diganti dari Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) menjadi Pondok Pesantren Al Istiqomah. Dalam perkembangannya Pondok Pesantren Al Istiqomah juga mendirikan Madrasah Diniyah yang terdiri dari tiga tingkat yaitu tingkat awwaliyah, tingkat wustha, dan tingkat ‘ulya. Pada pertengahan tahun 1990-an, Pondok Pesantren Al Istiqomah mulai menata struktur pendidikannya, yakni dengan melegalisasikan kegiatan pesantren baik di bidang pendidikan, keagamaan, sosial, kemasyarakatan, dan dunia usaha yang berbadan hukum yamg masuk dalam sebuah institusi Yayasan. Yayasan yang disponsori atau didirikan oleh pengasuh pondok bernama Yayasan Pendidikan Al Istiqomah Karya Guna (YAPIKA). Yayasan “YAPIKA” ini menaungi kegiatan Pendidikan formal yakni Madrasah Aliyah YAPIKA yang berdiri sejak tahun 1999, pendidikan non formal Madrasah Diniyah yang berdiri tahun 1982 Pondok Pesantren Al Istiqomah yang terletak di desa Tanjungsari Petanahan Kebumen Jawa Tengah, saat ini diasuh oleh K.H. Amien Rosyid, dan telah banyak mengalami perkembangan. Baik di bidang sarana fisik maupun sistem belajar-mengajarnya. Sampai saat ini, jumlah santrinya kurang lebih 250 orang, putra-putri, 60% santri adalah pelajar Madrasah Aliyah (MA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Beberapa diantaranya mengambil kuliah di Sekolah Tinggi Nahdlatul Ulama (STAINU) Kebumen, dan selebihnya adalah santri Takhasus (Madrasah Diniyah). Dalam perkembangannya, Pesantren yang mendapatkan Nomer Statistik Pondok Pesantren (NSPP); 512330504003, dari Departemen Agama Kabupaten Kebumen ini pola dan sistem pendidikan yang digunakannya menitikberatkan pada kegiatan di Madrasah Diniyah serta kepesantrenan salafiyah (nonformal) dan Madrasah Aliyah (formal). Faisilitas Pondok Pesantren Al Istiqomah yang ada saat ini antara lain mempunyai dua lokal gedung asrama putra, yang masing-masing mempunyai 3 kamar. Dan asrama putri satu lokal dengan 5 buah kamar, dilengkapi dengan kamar mandi serta WC putra dan putri. Sarana lainnya adalah Masjid, Perpustakaan, Koperasi Santri, Aula, Gedung Madrasah Aliyah dan Diniyah, Bengkel Motor dan Mobil, Laboratorium Komputer, Sarana Olahraga, dan lain-lain. B. Dasar dan Tujuan Pondok Pesantren Al-Istiqomah Pondok Pesantren Al Istioqomah merupakan lembaga sosial keagamaan yang keberadaannya telah diakui sebagai salah salah satu lembaga pendidikan yang lebih menekankan pada bidang kajian tafaqquh fiddin serta sebagai wahana pencetak generasi-generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa dan pembangunan nasional yang ber-akhlakul karimah. Adapun dasar didirikannya pendidikan Pondok Pesantren Al Istiqomah yaitu: amar ma’ruf nahi munkar, kesadaran untuk mengamalkan nilai-nilai agama, kesederhanaan, ketaqwaan dan sikap saling tolong menolong sesama manusia serta menjaga citra hubungan antara manusia dengan makhluk lain dan hubungan manusia dengan Khaliq. Pendidikan di pesantren ini dikandung maksud ingin mencetak generasi muslim yang bertaqwa, berilmu pengetahuan yang tinggi dan berakhlakul karimah. Hal ini dapat diuraikan lebih rinci sebagai berikut:
Tercapainya tujuan pendidikan dan pembinaan Pondok Pesantren Al Istiqomah tersebut dapat terlihat pada pola dan tingkah laku santri selama berada di lingkungan Pondok Pesantren serta pada semangat dan motivasi dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. C. Elemen-Elemen Pesantren Al Istiqamah Di antara elemen-elemen Pondok Pesantren Al Istiqomah adalah sebagai berikut: 1. Pengurus Pondok Pesantren Al Istiqomah Susunan kepengurusan Pondok Pesantren Al Istiqomah masa hidmat tahun 2008- 2012;
Dalam setiap kegiatan yang sifatnya harian, mingguan dan bulanan maupun temporal para pengurus berperan aktif dalam mengkoordinasi kegiatan di lembaga pesantren sehingga kegiatan-kegiatan kepesantrenan dapat terlaksana dengan baik, dalam kepengurusan Pondok Pesantren Al Istiqomah dilakukan rapat-rapat koordinasi paling sedikit satu kali dalam sebulan, dengan maksud untuk selalu dapat mengevaluasi kegiatan-kegiatan pesantren dan juga untuk memperbaiki kinerja pengurus. Kepada para santri diberikan beberapa kegiatan tambahan yang sifatnya pengembangan bakat dan minat santri, seperti Khitobah (latihan pidato), Hadrah, Barzanji, Kursus Bahasa Arab dan Inggris, Seni Kaligrasi, Seni Baca Al-Qur’an, Kursus komputer, dan Perbengkelan. 2. Madrasah Diniyah Secara umum kegiatan-kegiatan Pondok Pesantren Al Istiqomah terbagi menjadi dua yaitu Madrasah Dinniyah (intrakulikuler) dan Kepesantrenan (Ekstrakurikuler). Kegiatan Madrasah Diniyah Al-Istiqomah yang dikepalai oleh Ali Ashar S.Th.I ini mengacu pada kurikulum yang dibuat oleh pesantren sendiri. Khusus untuk kelas Awwaliyah ditambah dengan kurikulum Madin dari Departemen Agama RI. Materi Intrakulikuler diniyah merupakan kegiatan inti atau Ruuhul Ma’had di pesantern ini. Madrasah Diniyah Al Istiqomah yang telah mendapatkan Nomor Statistik Madrasah Diniyah (NSMD); 412330504001 ini melaksanakan kegiatan belajar-mengajar yang terbagi menjadi tiga tingkatan; Awwaliyah, Wustho, dan Ulya. Jam kegiatan dilaksanakan setiap sore jam 14.00-15.00 WIB (ba’da shalat ‘Ashar) dan malam jam 18.30-19.30 WIB (ba’da shalat Maghrib), Kecuali malam jum’at dan hari jum’at. Sedangkan untuk kegiatan belajar kepesantrenan (ektrakurikulur) menggunakan metode bandongan, dilaksanakan setiap ba’da subuh. Khusus untuk putra bertempat dimasjid, sedangkan untuk yang santri putri bertempat di ndalem (rumah) Kyai, kegiatan ini selesai jam 06.00 WIB pagi. Kegiatan pesantren al-Istiqomah lain yang penting adalah tahfidz al-Qur’an (menghafal al-Qur’an). Kegiatan mengaji dan menghafal kitab al-Qur’an ini berlangsung di pesantren putri, yang diasuh oleh Ibu Ana Nur Latifah, S.Ag, Ibu Nur Istiqomah, S.Pd.I, dan Ibu Hanik Rahmawati, S.Ag. Semua santri putri diwajibkan mengikuti program tahfidz al-Qur’an minimal juz 30 (juz amma), sedangkan bagi yang ingin melanjutkan ke program tahfidz secara penuh (30 juz), maka diberikan kesempatan untuk menempuhnya. Dalam melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar, disamping ada pengasuh (Kyai dan Nyai) juga dibantu oleh beberapa ustadz dan ustadzah yang sebagian besar merupakan alumni dari berbagai Pondok Pesantren yang berlatar belakang akademisi Ustadz-Ustadzah atau Tenaga Pendidik di Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Al Istiqomah antara lain: • KH Amien Rosyid • Hj. Marti Nuryati • H. Ali Mu’in Amnur, Lc. • Ahmad Mufid, S.Ag. • Hanik Rahmawati, S.Ag • Ana Nur Latifah, S.Ag. • Ali Muhdi, M.S.I • Ali Ashar, S.Th.I • Ali Iqbal, S.Pd.I • M. Karim • Nur Istiqomah, S.Pd.I • Edi Ahyani S.Pd.I • Asmakin, S.Pd.I Madrasah Diniyah saat ini memiliki siswa kurang lebih 220 santri (kelas Awwaliyah 150 santri; kelas Wustho: 50 santri; kelas Ulya 20, dan di dalamnya terdapat 3 tingkatan, dengan masa pendidikan 3 tahun untuk kelas Awwaliyah, 2 tahun untuk kelas wustho dan 2 tahun untuk kelas ‘ulya. 3. Madrasah Aliyah Madrasah Aliyah yang berdiri dalam rangka merespon keinginan masyarakat sekitar untuk meningkatkan taraf pendidikan yang masih rendah ini telah memulai kegiatan belajar mengajar sejak tahun 1999. namun baru mendapatkan legalitas formal dari pihak Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2005. Nomor Statistik Madrasah (NSM) MA YAPIKA yang tercatat dalam piagam pendirian adalah : 312330504477. Madrasah Aliyah YAPIKA memiliki visi yang menjadi arah pandangan perjalanannya ke depan, yaitu: Mewujudkan generasai muslim yang berakhlak mulia, tangguh, dan cendekia. Adapun misi Madrasah Aliyah YAPIKA ini adalah: 1. Mengembangkan pendidikan yang Islami berdasarkan kurikulum yang integral dan kompetitif 2. Membentuk lulusan yang memiliki akidah kuat, bertaqwa, dan berakhlak mulia 3. Membentuk lulusan yang memiliki kemampuan intelektual, mental, spiritual, dan skill yang mantap 4. Membentuk lulusan yang mampu mengamalkan ajaran Islam dan menyampaikannya kepada keluarga dan masyarakatnya berdasarkan manhaj ahlussunnah wal jama’ah 5. Menyiapkan lulusan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Kurikulum yang digunakan oleh M.A. YAPIKA merupakan modifikasi perpaduan antara kurikulum Depag dan Pesantren. Tenaga pengelola dan pengajar di M.A. YAPIKA adalah para profesional muda alumni perguruan tinggi seperti Universitas Al AZHAR Mesir, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Walisongo Semarang, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Gajah Mada (UGM), STAINU dan berbagai perguruan tinggi negeri/ swasta lainnya dengan latar belakang pondok pesantren. Madrasah yang dikepalai oleh H. Ali Muin Amnur Lc ini memiliki guru sebanyak 15 orang, dibantu oleh 3 wakil kepala madrasah dan 5 orang staf atau karyawan Saat ini, Madrasah Aliyah YAPIKA memiliki siswa sebanyak 63 orang. Untuk tahun ajaran 2008/2009 ini telah menamatkan siswa sebanyak 5 angkatan. Usaha peningkatan kualitas Madrasah Diniyah dan Madrasah Aliyah tersebut belum dapat dimaksimalkan sebagaimana mestinya, dikarenakan proses belajar mengajar berlangsung di tempat, ruang dan sarana yang masih belum memadai. 4. Koperasi PesantrenKopontren al-Istiqomah telah berdiri sejak ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Koperasi dan PPK Propinsi Jawa Tengah atas nama Menteri Koperasi dan PPK pada tanggal 24 Desember 1993 dengan nomor: 12148/BH/VI, dengan nama lengkap Kopontren “Menara Biru” Pondok Pesantren Al-Istiqomah Kopontren ini juga telah mengantongi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dari Kantor Wilayah Departemen Perdagangan Propinsi Jawa Tengah atas nama Menteri Perdagangan pada tanggal 13 Oktober 1994, dengan nomor SIUP: 121/11.32/PK/X/1994. Kegiatan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontern) Al Istiqomah yang sudah berjalan saat ini adalah; unit pertokoan/ warung santri, usaha pertanian, usaha penanaman albasia, dan peternakan ayam Pada mulanya pendirian koperasi ini secara formal dilakukan, karena adanya masukan dari beberapa kalangan seperti departemen koperasi & PPK dan Departemen perdagangan Kebumen. Namun begitu, sebelumnya kegiatan perekonomian di pesantren ini telah menggeliat secara perlahan-lahan secara alami. Ketua Kopontren Al-Istiqomah yang pertama adalah Drs. Sarmuji. 5. Alumni Organisasi alumni Pondok Pesantren al-Istiqomah ini bernama KAI (Keluarga Alumni Al-Istiqomah). Saat ini jumlah alumninya sudah mencapai kurang lebih 500 santri yang tersebar di daerah Kebumen, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatra. Beberapa alumni ada yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi baik di dalam maupun luar negari, misalnya di IAIN Sunan Kalijaga Yogya, UGM, STAINU, Politeknik dan perguruan swasta lain. Ada pula yang di luar negeri, alumni yang diterima beasiswa dan sedang kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Alumni lainnya sudah banyak yang berhasil terjun memanfaatkan ilmunya di masyarakat, ada yang jadi petani, pedagang, peternak, pamong desa, guru swasta, PNS, dan ada yang jadi pengasuh pesantren.[aldi] Alamat PP Al-Istiqomah: Tanjungsari Petanahan Kebumen Jawa Tengah, Kode Pos: 54382, Telp. 0287-5535810, 081802658344, 081328477506. |
http://www.pondokpesantren.net/ |
Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri
Berawal dari keinginan mengamalkan ilmu pengetahuan agama yang didapatkannya dari kota Makkah al-Mukarromah, KH. Ahmad Djazuli Usman merintis berdirinya sebuah pondok pesantren. Bersama dengan Muhammad Qomar, salah seorang santrinya, ia merintis berdirinya pesantren dengan cara yang sangat sederhana. Ia memulainya dengan sebuah pengajian, yang ia rintis sejak masih berada di desa Karangkates. Pengajian tersebut, dia mulai pertengahan 1924 dengan menggunakan sistem sorogan. Ketika pengajian baru dimulai hanya ada 12 orang santri yang mengikutinya. Namun tak lama kemudian, jumlah santri yang ingin mengaji semakin bertambah. Sehingga setengah tahun kemudian, tepatnya 1 Januari 1925, KH. A. Djazuli Usman mendirikan sebuah madrasah dan pondok pesantren. Ia memanfaatkan serambi Masjid untuk kegiatan belajar mengajar para santri. Tanpa terasa santri yang belajar dengan KH. A.Djazuli membengkak menjadi 100 orang. Sebuah kenaiban pun, ia pakai sebagai tempat belajar. Cuma yang menjadi persoalan, seiring dengan semakin bertambahnya santri, fasilitas kenaiban tersebut tak bisa lama-lama ia pakai sebagai tempat belajar para santri. Aparat kantor kenaiban sering terganggu dengan aktifitas para santri. Untuk itu, pada tahun 1939 beliau segera membangun asrama santri yang sekarang bernama komplek A, sebuah asrama berlantai dua yang dilengkapi dengan musholla. Seirama dengan pergantian pemerintah penjajah dari Belanda ke Jepang, juga membawa suasana kelabu bagi pondok pesantren ini. Tentara Jepang sangat mencurigai kegiatan pondok pesaantren. Gerak gerik kiainya mereka awasi. Pengajian berlangsung dalam suasana tidak bebas. Kalaupun dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari. Kondisi demikian diperburuk dengan masuknya agresi Belanda kesatu pada tanggal 18 September 1948. Para santri yang memiliki semangat jihad, terlibat pertempuran untuk mengusir Belanda. Mereka bahu mebahu dengan TNI. Operasional pondok pesantren tersebut kembali normal, setelah agresi Belanda berlalu. Setelah dua tahun vakum, kehadiran pondok pesantren bagai gayung bersambut. Kehadiran Pondok Pesantren Al-Falah mengisi kekosongan pendidikan yang hancur lebur karena pertempuran. Simpati warga Kediri mereka tunjukkan dengan mengirm anak-anaknya “nyantri” di pesantren KH. A. Djazuli. Masyarakat Sekitar Masyarakat sekitar pondok pesantren Al-Falah Ploso pada awalnya tergolong masyarakat abangan (jauh dari agama). Ketika awal berdiri, banyak masyarakatnya mencemooh pondok pesantren Al-Falah. Apalagi para pejabat dan bandar judi, yang setatus quonya mulai terganggu. Mereka sering menyebarkan isu-isu sesat terhadap pondok pesantren ini. Fenomena semacam itu memang menjadi tantangan berat bagi pesantren yang menjadi pusat kegiatan simakan Al-Qur’an Mantab ini. Namun para pengurusnya tidak merasa gentar. Justru tantangan itu membulatkan tekad mereka untuk mengubah masyarakat abangan, menjadi masyarakat yang islami. Hasilnya seperti sekarang ini. Pesantren terus berkembang, dan kehidupan islami tercipta dengan sendiri di sekitar pondok pesantren. Pondok pesantren yang letaknya ditepi sungai Barantas ini banyak mengambil keuntungan dari letak geografis tersebut. Sungai yang terkenal deras airnya dan terus mengalir sepanjang musim banyak memberikan kehidupan para santri serta para masyarakat sekitarnya. Dipinggir sungai inilah terletak desa Ploso, 15 km arah selatan dari Kediri. Potensi wilayah seperti ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Umumnya mereka memanfaatkan tanah yang subur ditepi sungai berantas untuk bercocok tanam. Organisasi Kelembaganan Ponpes Alfalah Ploso menganut sistem manajemen tradisional, dalam arti, kepemimpinan tunggal yang tersentral pada figur seorang kiai memegang otoritas yang tinggi dalam pengelolaan pesantren. Manajemen semacam itu terus berlangsung sampai pada saat sekarang saat pesantren ini diasuh oleh KH. Zainuddin Djazuli putra Kiai Djazuli. KH. Zainuddin dalam mengasuh pesantren yang sering digunakan kegiatan tingkat regional ini dibantu para adik-adiknya dan saudara-saudaranya, seperti KH. Nurul Huda (Gus Dah) yang mengasuh pondok pesantren putri, KH. Fuad Mun’im (Gus Fu’), KH. Munif, Bu Nyai Hj. Badriyah (Bu Bad) dan Gus Sabut putra almarhum Gus Mik (yang mengomandani Jama’ah Sima’an Al-Qur’an Mantab) dll. Pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri sebagaimana kebanyakan pesantren di kota Kediri merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran model salafaiyah. Program Pendidikan. Program pendidikan dan pengajaran di ponpes Al-Falah, terdiri dari: Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun), Madrasah Tsanawiyah (4 tahun) , dan Majelis Musyawarah Riyadlotut Tholabah (5 tahun). Pada tingkat Ibtidaiyah materi yang banyak ditekankan adalah masalah akidah dan akhlak, sedangkan untuk tingkat Tsanawiyah ditekankan pada materi ilmu nahwu / sharaf dan ditambah ilmu fiqih, faroidl serta balaghah. Adapun Majelis Musyawarah merupakan kegiatan kajian kitab fiqih, yakni Fathul Qorib, selama satu tahun, Kitab Fathul Mu’in selama 1 tahun dan Fathul Wahab selama 3 tahun. Selain program diatas masih ada kegiatan ekstra yang harus diikuti oleh semua santri, meliputi latihan berorganisasi, baca tahlil, muhafadhah, dibaiyah, kaligrafi dll. Juga ada kegiatan bahtsul masail. Program yang terakhir ini adalah sebagai wahana untuk melatih dan mencetak kader-kader syuriyah dan tem bahtsul bahsul masail. Dari majelis musyawarah ini telah terlahir kader-kader syuriyah NU di bidang bahtsul masail yang handal, diantaranya KH. Ardani Ahmad, KH. Arsyad, KH. Fanani. Mereka direkrut sebagai anggota lajnah bahtsul masail PWNU Jawa Timur. Dan masih banyak alumni yang lain yang berkcimpung di dunia organisasi NU dalam bidang yang lain.Untuk menunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar di pesantren yang mengasuh santri hampir 2000 ini hanya mengandalkan darim iuran santri atau SPP yang besarnya uang pangkal Rp. 10.000,- SPP Rp. 5.000,- dan iuran lainnya Rp. 10.000,- Kaderisasi Kalau sering didengar banyak pondok pesantren mati dan tidak santrinya akibat tidak adanya penerus, maka untuk pesantren yang bangunannya terkesan mewah ini insya’allah tidak akan terjadi, sebab sebagai pengasuh KH. Zainuddin Djazuli sudah menyiapkan putra-putranya dengan mengirimkan keberbagai pondok pesantren. Seperti Gus Zidni, alumni pesantren Lirboyo dll. (m. muslih albaroni) |
Langganan:
Postingan (Atom)