Selamat

Selamat datang di Santri Gubrak
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis

Rabu, 05 Januari 2011

Dr. Jalaluddin Rakhmat: Kafir itu Label Moral, bukan Akidah

Fenomena bom bunuh diri yang dilegitimasikan atas nama agama sekarang ini terjadi juga di Indonesia. Biasanya kita hanya mendengarnya di Palestina atau negara-negara Timur Tengah untuk melawan Israel. Tiba-tiba istilah ini menjadi akrab buat kita di negeri kita. Sebenarnya bagaimana sih kok bisa ada bom bunuh diri? Apakah perbuatan ini dibenarkan dalam Islam? Benarkah mereka yang melakukannya demi jihad melawan kaum kafir? Siapakah kaum kafir itu?
Fenomena bom bunuh diri yang dilegitimasikan
atas nama agama sekarang ini terjadi juga di Indonesia. Biasanya kita hanya
mendengarnya di Palestina atau negara-negara Timur Tengah untuk melawan Israel.
Tiba-tiba istilah ini menjadi akrab buat kita di negeri kita. Sebenarnya
bagaimana sih kok bisa ada bom bunuh diri? Apakah perbuatan ini dibenarkan
dalam Islam? Benarkah mereka yang melakukannya demi jihad melawan kaum kafir?
Siapakah kaum kafir itu?
Pertanyaan-pertanyaan ini dibahas tuntas
oleh Dr. Jalaluddin Rahmat, cendikiawan muslim dari Bandung yang baru-baru ini menerbitkan
buku “Dahulukan Akhlak di atas Fiqh“ dalam wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla
dari Kajian Islam Utan Kayu, tanggal 11 September 2003, kamis lalu. Berikut
petikannya:
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Kang Jalal, sekarang ini kita banyak
sekali menyimak tentang kasus bom bunuh diri, entah di Palestina, Riyadh,
Casablanca, maupun Jakarta. Bom bunuh diri ini menjadi fenomena yang menakutkan
karena semakin banyak jumlahnya. Yang paling ironis, aksi bom bunuh diri itu
tak jarang menggunakan agama sebagai alasan pembenar. Secara umum, bagaimana
Anda melihat fenomena bom bunuh diri ini?

DR. JALALUDDIN RAHMAT (KANG JALAL): Pertama, kita sekarang ini harus
membedakan antara dua hal. Pertama, suicide bomber dalam pengertian yang
sebenarnya, yaitu sekelompok orang yang memperuntukkan dirinya sebagai bom
untuk mempertahankan keyakinan ataupun memperjuangkan ideologinya. Yang kedua
adalah orang yang sebetulnya tidak melakukan apapun tapi kemudian dinisbahkan
pada dirinya predikat suicide bomber, pelaku bom bunuh diri. Saya
menduga, apa yang terjadi di Indonesia adalah satu di antara kedua hal itu
tadi.
Untuk kemungkinan yang pertama, suicide
bomber-
nya seringkali dinisbahkan dengan kelompok Islam, seperti di Maroko,
Riyadh, dan Palestina. Padahal, sebetulnya secara statistik, tindak bunuh diri
yang paling banyak frekuensinya justru yang dilakukan oleh kelompok Tamil Ilam
di Srilanka. Tapi ajaibnya, kalau kita berbicara perihal suicide bomber,
maka bayangan kita serta merta mengarah pada orang-orang Islam. Itu menurut
saya kurang benar. Dalam sejarahnya, orang Jepang juga punya tradisi suicide
bombing
. Bahkan, kelompok Kamikaze adalah suicide bomber yang
pertama, jauh sebelum orang-orang Islam melakukannya.
ULIL: Uniknya,
alasan pembenar bom bunuh diri tak jarang diambilkan dari agama. Apakah masalah
ini genuine berpijak dari landasan
agama atau sempalan saja?

KANG JALAL: Saya kira, sebagian besar aksi suicide
bombing
memang genuine, memang didasari oleh satu keyakinan agama tertentu.
Keyakinan seperti itu ada pada tiap agama. Pengebom Kamikaze di Jepang juga
didasari ajaran Shinto dan untuk berkhidmat kepada kaisar. Di dalam Islam, kita
juga mengenal ajaran tentang mati syahid. Sebetulnya, isu suicide bombing
masuk dalam persoalan agama Islam agak ketinggalan jika dibandingkan dengan
agama lain.
Pada masa awal-awal munculnya
fenomena ini, kebanyakan orang Islam tidak menyetujuinya. Dulu, ketika pasukan
Hizbullah dari Libanon melakukan bom bunuh diri, dari Mesir keluar fatwa yang
menyatakan bahwa bom bunuh diri adalah perbuatan yang berkonsekuensi dosa yang
besar. Jadi pelaku bom bunuh diri kelak masuk neraka, kata mereka. Jadi bom
bunuh diri tidak dibolehkan dalam Islam. Tapi yang agak aneh, belakangan
ulama-ulama Nahdlatul Ulama, dalam salah satu keputusannya mengatakan bahwa bom
bunuh diri bisa dibenarkan untuk pembelaan atas agama dan penentangan atas
kezaliman.
ULIL: Secara doktrinal, ajaran tentang jihad banyak dianggap
sebagai biang berbagai aksi bom bunuh diri. Para pelaku bom Bali seperti Amrozi
dan Imam Samudra tampak bangga sekali atas perbuatannya dan menjadikan doktrin
jihad sebagai pengesah. Bagaimana tanggapan Anda?

KANG JALAL: Saya tidak mau berpegang pada
data berupa ucapan Amrozi di depan media massa atau sebagaimana yang
didramaturgikan oleh aparat-aparat kita. Memang, ada suatu kenyataan, bahwa di
dalam Islam kita didorong --dengan merujuk pada teks-teks Alqur’an dan Hadis--
untuk mati di jalan Allah, terbunuh di jalan yang diridhai Allah. Imam Ali
misalnya pernah berkata, “Aku tidak perduli apakah maut mau menjemputku atau
aku yang menjemput maut.” Jadi, ada semacam suatu kebanggan tersendiri untuk
bisa mati secara syahid.
Saya kira, banyak sekali teks
Alqur’an yang menyebutkan keutamaan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah.
Saya mengemukakan berbagai dalil itu untuk menunjukkan bahwa tidak terlalu
mengherankan bila ada saja beberapa orang yang lantas berpegang pada teks-teks
yang tersedia itu untuk melakukan tindak-tindak kekerasan, ngebom, memusuhi
ataupun mengusahakan kehancuran bagi orang-orang yang dia persepsi sebagai
musuh-musuh Islam.
ULIL: Termasuk para pelaku pemboman di negeri kita?
KANG JALAL: Dalam pengadilan mereka tampak
ragu-ragu dengan keyakinan mereka itu. Tapi saya hanya akan menganalisis soal
bom bunuh diri secara konseptual bukan berdasarkan tokoh-tokoh bom bunuh diri
seperti yang ditampakkan di Indonesia. Sebab, bagi saya, tentang hal itu ada
cerita yang lain. Mengapa mereka tampak ragu-ragu di pengadilan? Ini kalau kita
amati agak berbeda dengan bom bunuh diri yang dilakukan kelompok Hizbullah di
Libanon misalnya. Di sana biasanya dilakukan secara terbuka dan diketahui.
Biasanya juga para pelaku bom bunuh diri tersebut melancarkan tindakannya
berdasarkan izin dari imam meraka. Maka dari itu, tidak sembarang orang bisa
membuat tafsiran bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah jihad fi
sabilillah
.
ULIL: Tapi siapa tahu para pelaku bom Bali ini juga diberi izin oleh imamnya?
KANG JALAL: Boleh jadi. Cuma ada fenomena
yang membedakan masalah kita di sini dengan di luar negeri. Orang-orang yang
hadir di bumi Indonesia sekarang ini adalah tokoh-tokoh yang seakan-akan didatangkan
dari planet lain. Kita tidak mengenal siapa Amrozi sebelumnya. Dia bukan
aktivis, bukan juga apa-apa. Tiba-tiba kita mengenal Amrozi dan lain-lain
pertama kalinya dari majalah Time. Tampaknya, cerita berikutnya seperti
mengikut saja apa yang dikisahkan Time tentang tokoh-tokoh seperti
Hambali, Amrozi, dan lainnya itu.
Maka dari itu, menurut saya,
tidak heran kalau mereka muncul di muka pengadilan dalam keadaan ragu-ragu.
Saya tidak yakin mereka-mereka itu berada dalam sebuah jaringan sebuah gerakan
Islam dan berjuang betul-betul atas dasar ideologi Islam itu sendiri.
ULIL: Kang
Jalal, tadi anda membenarkan adanya beberapa doktrin yang bisa diselewengkan
untuk tindak kekerasan. Lantas bagaimana menyikapi sejumlah doktrin semacam
itu?

KANG JALAL: Saya kira, yang sering orang
lupakan, para ulama dulunya sudah merumuskan bahwa tindakan kekerasan memang
ada, tapi hanya dapat dibenarkan dengan beberapa kriteria tertentu. Pertama,
kekerasan hanya sah dilakukan dalam suasana perang. Dalam konteks adanya darul
harb
misalnya. Kedua, perang hanya boleh dilakukan apabila kita dalam
posisi diserang. Dalam posisi demikian, kita memang harus melakukan perlawanan.
Membiarkan kezaliman berlangsung tanpa perlawanan jelas tidak dibenarkan.
Ketiga, dalam situasi perang, kita terlarang untuk menyakiti rakyat sipil yang
tidak berdosa. Jadi perang harus diarahkan pada pihak militer atau kaum agresor
yang memang nyata-nyata menyerang kita.
ULIL: Bukankah jihad
yang dulu dipraktikkan Nabi atau penguasa-penguasa Islam setelah itu selalu
dideklarasikan secara resmi oleh penguasa yang sah, bukan oleh
kelompok-kelompok tertentu atau laskar-laskar liar?

KANG JALAL: Kalau kita dibenarkan untuk
melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk jihad fi sabilillah misalnya,
maka akan timbul masalah lain. Yaitu masalah penafsiran orang tentang jihad
yang bisa bermacam-macam. Penafsirannya bisa saja sangat individualis, dan itu
bisa menimbulkan suasana chaos. Bisa terjadi perang sipil antara kita
sendiri.
Misalnya, kelompok ulama di Jawa
Barat mengangkat isu jihad untuk memerangi Ulil Abshar-Abdalla, dan mereka
menganggap itu sah. Nantinya, mungkin Jaringan Islam Liberal pun bisa mengklaim
diri berjihad (kalau ada keberanian) atas dasar penafsirannya. Akhirnya
terjadilah pertengkaran. Karena itu, diperlukan sebuah lembaga resmi untuk
mengatasi ikhtilaf (perbedaan).
Mereka yang pernah belajar ilmu
Ushul Fikih mungkin tahu, bahwa percekcokan bisa diselesaikan dengan keputusan
pemilik otoritas. Nah itulah yang membedakan kelompok bom bunuh diri di sini
dengan yang di Libanon. Di sana jelas ada Imam Syiah yang memberi otorisasi
sehingga penafsiran tidak diserahkan secara serampangan kepada
individu-individu atau kelompok tertentu saja.
ULIL: Bagaimana dengan klaim kalangan teoriris itu bahwa mereka
berjuang demi menegakkan syariat Islam?

KANG JALAL: Sejak pertama kali saya berpikir
bahwa mereka bukan orang yang betul-betul berjuang untuk Islam. Walaupun dari
liputan media kita tahu mereka mengesankan diri sedang berjuang menegakkan
syariat Islam atau for whatever. Hanya saja, saya adalah orang yang
selalau dididik untuk kritis terhadap media, dan pemaknaaan yang diberikan oleh
sebuah media. Saya tidak percaya mereka berjuang atas dasar nilai-nilai
perjuangan Islam.
ULIL: Ada banyak kalangan yang menyayangkan sikap kalangan
ulama yang kurang proaktif melakukan delegitimasi atas klaim jihad mereka.
Tanggapan Anda?

KANG JALAL: Saya kira, sudah banyak reaksi
penentangan yang dilakukan oleh kalangan ulama kita, baik secara resmi maupun
tidak resmi atas aksi bom bunuh diri di Indonesia dan berbagai tindakan kekerasan
lainnya. Jadi, tidak benar juga kalau ulama kita disebut diam saja. Tapi
catatan kecil yang perlu saya kemukakan, memang betul sebagian ulama masih saja
melihat aksi seperti itu sebagai aksi jihad di jalan Allah, dan terbunuh di
jalan Allah adalah sangat mulia. Masalahnya sekarang adalah, apa kriteria suatu
perjuangan itu bisa disebut di jalan Allah?
ULIL: Lantas
bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering diteriakkan juga oleh
mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah konsep ini sudah tepat
penggunaannya?

KANG JALAL: Konsep tentang kafir masih tetap
relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Alqur’an dan Sunnah. Hanya
saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi --bukan mendekonstruksi.
Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Alqur’an selalu
didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Alqur’an, kata
kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir
sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.
Saya ingin mencontohkan makna
kafir dalam redaksi Alqur’an. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah
lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Alqur’an disebutkan, “immâ
syâkûran waimmâ kafûrâ
(bersukur ataupun tidak bersukur); lain syakartum
la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd
(kalau engkau
bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat)
sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan
persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya.
Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan,
seperti yang kita ketahui.
ULIL: Jadi,
orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga disebut
orang kafir?

KANG JALAL: Betul. Saya sudah mengumpulkan
ayat-ayat Alqur’an tentang konsep kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga
dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan
yang berulang-ulang, atsîman aw kafûrâ. Kafir juga bermakna orang yang
kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat.
Selain itu, orang Islam pun bisa
disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah
misalnya disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am
lam tundzirhum lâ yu’minûn.”
Artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau
tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya. Walaupun agamanya Islam,
kalau ndableg nggak bisa diingetin menurut Alqur’an disebut kafir. Nabi
sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang
berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, “Tidak beriman orang yang
tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan.”

http://islamlib.com/id/artikel/kafir-itu-label-moral-bukan-akidah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar