KH Said Aqil Siradj
Gerak-gerik pemikiran dan gerakan Islam di negeri kita belakangan ini menarik diamati. Semenjak reformasi yang telah mengubah wajah negeri ini bergulir, terjadi babak baru erupsi bagi kebangkitan etno-religius. Gelombang pemikiran dan gerakan baru keagamaan itu tampil dengan paradigma berbeda. Di garda depan, ada arus liberalisme Islam seayun dengan kebangkitan fundamentalisme dan puritanisme Islam. Bahkan, menyeruak pula agama-agama baru seperti Lia Eden.
Problem mendasar yang menggelayuti umat Islam tampaknya masih saja berkutat pada problem transformasi global dan situasi lokal yang tidak menentu akibat transisi pascareformasi. Problem krusial inilah yang menyentakkan kesadaran mengenai cara menyikapi hidup di zaman modern ini. Pasalnya, memilih tetap berpegang teguh pada tradisinya berarti terjebak pada eksklusivisme pemikiran. Model ini yang diperankan oleh kalangan fundamentalisme dan radikalisme Islam.
Di sisi lain, merengkuh modernitas secara buta akan membuat umat Islam tercerabut dari akar tradisinya. Model ini, misalnya, diperagakan oleh modernisme dan liberalisme Islam. Sejatinya, yang berimbang adalah menerima keduaduanya, yakni hidup secara modern tetapi tetap berpangku pada akar tradisinya secara kuat. Memang ini bukan perkara mudah. Akan tetapi, seperangkat pemikiran yang terbuka dan kritis, baik terhadap tradisi maupun modernitas, sepatutnya menjadi pijakan mendasar.
Mencairkan Pengutuban
Di sinilah pentingnya mengudar kembali nilai-nilai Aswaja (ahlussunnah wal jamaah). Aswaja merupakan metode berpikir sekaligus metode gerakan yang sangat penting bagi perumusan sikap umat Islam. Aswaja penting dalam kerangka memperkukuh kembali basis moderatisme. Sejarah telah membuktikan bahwa cara berpikir model Aswaja mampu menjadi jalan tengah dalam pergolakan pemikiran Islam kala itu yang kemudian pernah mengalami kebuntuan.
Kala itu, sikap Aswaja telah mencairkan dua kutub ekstrem pemikiran, antara Mu’tazilah dan Qadariyah dengan kubu Khawarij dan Jabariyah. Dalam konteks kekinian, upaya pemberdayaan pemikiran Aswaja diharapkan bisa menengahi perseteruan dua gerakan Islam kontemporer yang juga sama-sama ekstrem, yaitu ekstrem liberalis dan ekstrem fundamentalis. Sembari pula, yang sangat penting adalah penguatan secara kontinu sikap-sikap moderat, toleran, dan kosmopolitan.
Dalam mempertahankan dan mengembangkan konsep Aswaja, selayaknya perlu upaya progresif. Artinya, tidak hanya bertumpu pada pemahaman yang puritan dan antikritik. Moderatisme Aswaja memang telah diletakkan secara mendasar oleh tokoh-tokoh pemikir kampiun seperti Syafi ’i, Maliki, Hanafi dan Hambali dalam bidang fi kih, atau al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang teologi, serta oleh al- Ghazali dan al-Junaidi dalam bidang tasawuf.
Tokoh-tokoh tersebut telah menjadi acuan utama (marji al-’ala) bagi prinsip dan tata nilai Aswaja yang telah sukses menunjukkan jalan bagaimana umat Islam harus senantiasa berada pada sikap jalan tengah. Lebih dari itu, sudah waktunya untuk berikhtiar menjauhi sikap sakralisasi pemikiran keagamaan yang hanya akan menghasilkan eksklusivisme keberagamaan. Meminjam istilah Muhammad Abid al-Jabiri, sakralisasi terhadap tradisi akan membawa pada “tradisionalisme”.
Atau menukil pandangan Nashr Hamid Abu Zayd, sakralisasi akan melahirkan masyarakat dengan peradaban teks, yakni masyarakat yang cara berpikirnya dimulai dari teks, melalui teks, dan berakhir pada teks. Pada masyarakat seperti inilah lahir konservativisme peradaban Islam. Seperti dipahami, munculnya Aswaja hakikatnya merupakan respons atas perkembangan pemikiran umat Islam yang cenderung ekstrem, baik ekstrem kanan maupun kiri.
Melalui jalan tengah inilah prinsip-prinsip pemikiran Aswaja menetaskan sikap tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran). Sikap jalan tengah ini jelas masih relevan jika dikaitkan dengan munculnya berbagai persoalan yang menderas dewasa ini, seperti lahirnya model keberagamaan baru yang sama-sama ekstrem, baik ekstrem liberal maupun radikal (tatharruf). Aswaja akan bisa menjadi jalan tengah untuk menetralisasi dua ekstremitas pemikiran Islam.
Dengan prinsip Aswaja, umat Islam tidak terjebak pada cara berpikir yang kaku dan eksklusif, juga tidak terjebak pada pemikiran liberalisme yang kebablasan. Dalam ungkapan lebih tandas, umat Islam dapat menerima modernitas sembari tetap menghargai tradisinya secara kokoh. Inilah yang dikenal dengan kaidah al muhafazhah ‘ala al qadim al shalih wa al akhdz bi al jadid al ashlah, yakni mempertahankan tradisi atau pemikiran lama yang baik dan mengadopsi tradisi atau pemikiran baru yang lebih baik.
Berpangkal dari prinsip-prinsip Aswaja ini pula, umat Islam tidak akan mudah mengafirkan atau menyesatkan orang lain hanya karena perbedaan semisal dalam babagan ibadah (furu’iyyah) seperti soal tahlilan, shalawatan, istighasah dan lainnya yang saat ini tengah menjadi bahan persitegangan kembali antara kelompok Salafi -Wahabi dan NU. Tegasnya, umat Islam tidak akan gampang menuduh sesat terhadap mereka yang berseberangan yang hanya menguras energi secara sia-sia serta hanya mengulang sejarah kelam umat Islam terdahulu.
Idealnya, umat Islam selalu berpegang teguh pada prinsip ra’yuna shawab yahtamil al-khata wa ra’yu ghairina khatha yahtamil alshawab (pendapat kami benar meski mungkin keliru, dan pendapat orang lain keliru tapi mungkin saja benar). Di altar lain, prinsip Aswaja akan berfungsi pula menjadi rujukan dalam memagari pemahaman yang serba menghalalkan segala cara (ibahiyyah).
Walhasil, prinsip-prinsip Aswaja sudah seharusnya terus dikembangkan sebagai basis moderatisme umat Islam dalam berselancar meningkahi perjalanan sejarahnya dari masa ke masa, baik dalam ranah sosial-politik maupun sosial-keagamaan. Tuntutan pembaruan dan keharusan berpijak di atas tradisi dan modernitas secara simultan saat ini kian niscaya untuk senantiasa dijadikan acuan sikap umat Islam Indonesia yang hidup di alam multikultural ini. Hanya dengan itu, ada jaminan umat Islam Indonesia akan mampu mempertahankan sikap moderat sekaligus tampil di barisan terdepan dalam turut serta menebar kedamaian dunia.
Tulisan ini sudah dimuat di harian Koran Jakarta, Sabtu, 22 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar