BILA kita komparasikan perbedaan antara muslim Barat (western muslim) dan umat Islam di negara mayoritas muslim, salah satu perbedaannya adalah umat Islam di negara mayoritas muslim (seperti Arab Saudi, Mesir, Indonesia, dst) umumnya menolak HAM, pluralisme, dan demokrasi karena dianggap konsep luar (kafir). Sedangkan muslim Barat, mereka justru memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan HAM sebagai bentuk keislaman mereka.
Istilah “muslim barat” (western muslim) dipopulerkan oleh Tariq Ramadan, cucu Hasan Al-Banna yang saat ini menjabat sebagai profesor Islamic Studies di Universitas Oxford, UK. Konsep “Muslim Barat” digunakan untuk mengganti konsep “muslim di Barat” (muslim in the west) dari memori umat Islam di Eropa. Konsep Muslim Barat awalnya muncul karena generasi ke-tiga dan ke-empat dari imigran muslim (yang sudah menjadi warga negara Eropa) mengalami krisis identitas, antara jati diri mereka sebagai seorang muslim dan (pada saat bersamaan) sebagai warga negara sekuler-barat. Sebagian dari mereka masih merasa sebagai “muslim di Barat” yang berkonotasi seorang muslim “di tempat lain” atau muslim “di tempat kafir”.
Namun pada saat yang sama, secara psikologis mereka juga merasa bagian dari Eropa dengan segala kulturnya. Krisis identitas ini diperparah pada kehidupan sosial politik, mereka sering mendapat intimidasi dan perilaku rasisme. Dianggap sebagai orang luar, kaum pendatang, serta minoritas yang harus berintegrasi dengan kultur mayoritas. Sehingga mereka merasa sulit menjadi diri mereka sendiri; menjadi seorang muslim, menjadi seseorang yang mereka mau dan bukan menjadi seseorang yang “orang lain” mau.
Maka muncullah konsep Muslim Barat (western muslim) yang melahirkan teori multiple identity (multi identitas) yaitu “I am a muslim by religion and an european by culture, I am a western muslim”. Bagi Tariq, Eropa bukanlah tempat asing bagi warga negaranya yang muslim. Eropa adalah rumah mereka. Tugas mereka sekarang adalah memperjuangkan hak-haknya untuk beribadah. Di sinilah HAM dan demokrasi memegang peranan penting. Ditambah lagi jumlah umat muslim di Barat setiap hari semakin bertambah, meskipun ada kekhawatiran atas “muslimisasi” yang dilakukan oleh para “misionaris Islam”, ide demokrasi yang menjamin setiap orang berhak menganut agama dan mengajarkan agama membuat para pendakwah Islam tak ada yang diusir dari terirorial non-muslim yang mayoritas itu.
Lantas dimanakah perlunya HAM? Sebagaimana diketahui, beberapa non-muslim yang berpandangan sempit merasa jengkel melihat “Muslim Eropa” yang muncul di ranah publik. Dengan egoisitas asoe lhoek, mereka mempermasalahkan pembangunan masjid, muslimah berjilbab, dan pertumbuhan mualaf yang signifikan. Lalu virus islamophobia pun diembus oleh kelompok ekstrimis ini. Salah satu senjatanya adalah menakuti-nakuti masyarakat barat akan bahayanya Syariat Islam; pemaksaan berjilbab bagi wanita, hukuman rajam, potong tangan bagi pencuri, jihad dan kebencian terhadap kafir (Yahudi dan Nasrani), dst. Inilah momen di mana intelektual muslim Eropa harus bicara.
Manifesto “The New We”
Dalam pandangan Tariq Ramadan, krisis horizontal antara muslim dan barat bukan disebabkan oleh perbenturan peradaban (clash of civilization) seperti yang ditulis Samuel Huntington, melainkan karena perbenturan persepsi (clash of perception). Bila kita berkunjung ke negara barat, akan kita dapatkan “mereka” (them) berbicara tentang “kita” (us) sebagai objek. Dan di negara mayoritas muslim (termasuk Aceh), “kita” (us) membicarakan “mereka” (them) sebagai objek. Sehingga yang sebenarnya terjadi di dua kubu merupakan perbenturan persepsi “kita” melawan “mereka” (us versus them) yang melahirkan ketidakpercayaan (distrust). Ketidakpercayaan inilah yang memunculkan konflik itu.
Disinilah konsep “The New We” menjadi penting. Manifesto ini meniadakan “kita” (us-objek) dan “mereka” (them-objek), yang ada hanyalah “Kita” (dengan “k” besar, We-sebagai subjek). Implikasinya, ketika muslim Eropa mengungkapkan pendapatnya, mereka tidak berbicara sebagai minoritas, tetapi sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajiban yang sama dengan golongan mayoritas. The New We meng-egaliter-kan semua golongan, ras, agama dan suku menjadi satu identitas, yaitu warga negara yang diatur oleh common law (hukum bersama). Pluralitas disatukan oleh kesamaan visi; menciptakan masa depan bersama (dalam perbedaan) yang lebih baik.
Oleh sebab itu, ketika memperjuangkan hak muslimah untuk memakai jilbab, Tariq mengatakan “adalah melanggar aturan Islam memaksa wanita memakai jilbab, dan melanggar HAM memaksa wanita melepas jilbab mereka.” (Tariq Ramadan: 2008). Bagi Tariq, substansi agama lebih penting dari pada formalisme agama yang sempit dan kaku. Syariat diartikannya sebagai “jalan” individu menuju Tuhan. Sebuah kata yang lebih luas dan dalam maknanya ketimbang hanya seperangkat aturan. “Di negeri ini (Eropa), saya memiliki kedudukan yang sama dengan anda” kata Tariq kepada seorang reporter non-muslim. “persamaan hak inilah syariah saya.” Dan persamaan hak-seperti kita tahu-merupakan inti demokrasi.
Konteks Aceh
Bila di Barat terjadi islamophobia, maka di negara mayoritas muslim terjadi westernphobia. Menurut ilmu budaya dan ilmu pengetahuan, manusia tak bisa melihat realitas sosial secara langsung, melainkan melalui tabir (Kuntowijoto:2004). Barat melihat Islam melalui tabir bom bunuh diri, terorisme, kekerasan terhadap wanita sedangkan negara mayoritas muslim melihat Barat melalui tabir perang Afghanistan, Irak, Israel, free sex, dsb. Sehingga ada ulama yang mengatakan barat dan Islam merupakan dua kutub yang berbeda. Tetapi bila kita memosisikan diri kita sebagai muslim barat, maka istilah Islam vs Barat terkesan ambigu. Islam dengan nilai-nilai universalnya merupakan agama bagi seluruh umat manusia, bukan monopoli timur. Dan tidak perlu mentimuri Barat serta tidak perlu membaratkan timur. Dalam buku “What I Believe”, Tariq menekankan muslim untuk menjadi pribadi yang critical loyalty (loyal tetapi kritis). Artinya sikap seorang muslim harus selalu cenderung kepada kebenaran, meskipun negara dan masyarakatnya bersikap sebaliknya. Tidak semua yang ada di negara mayoritas muslim itu baik (Islam) dan tidak semua yang ada di Barat itu buruk (non-islami). Yang diperlukan adalah sikap terbuka dan kritis dalam mengambil hikmah yang tercecer.
Terakhir, muslim Eropa merupakan golongan minoritas. Sebenarnya yang paling mengerti mereka adalah golongan minoritas yang tinggal dilingkungan kita (umat Kristen, Budha, Hindu, dsb). Sebelum kita (yang mayoritas) ini melarang yang berbeda agama mendirikan tempat beribadahnya, coba bayangkan bagaimana rasanya bila kita dilarang mendirikan masjid di Eropa.
Sebelum kita mengusir orang lain karena mendakwahkan agama yang berbeda, coba bayangkan bila kita diusir karena mendakwahkan Islam di Amerika. Inilah yang disebut Tariq Ramadan sebagai “intellectual empathy”. Tapi tunggu, bukankah sebagai wilayah syariat Islam kita punya hak untuk melarang non-muslim menyebarkan agamanya? Benar, tapi kita nanti jangan marah kalau ada muslim yang dilarang menyebarkan Islam di negara mayoritas non-muslim. “Bila anda ingin mendapatkan hak yang anda inginkan, maka anda harus memberikan hak yang sama kepada orang lain,” kata Tariq Ramadan.
* Penulis adalah pemerhati pemikiran muslim progressive dan penggiat Kelompok Studi Darussalam (KSD). Alumnus IELSP Ohio University USA.
Istilah “muslim barat” (western muslim) dipopulerkan oleh Tariq Ramadan, cucu Hasan Al-Banna yang saat ini menjabat sebagai profesor Islamic Studies di Universitas Oxford, UK. Konsep “Muslim Barat” digunakan untuk mengganti konsep “muslim di Barat” (muslim in the west) dari memori umat Islam di Eropa. Konsep Muslim Barat awalnya muncul karena generasi ke-tiga dan ke-empat dari imigran muslim (yang sudah menjadi warga negara Eropa) mengalami krisis identitas, antara jati diri mereka sebagai seorang muslim dan (pada saat bersamaan) sebagai warga negara sekuler-barat. Sebagian dari mereka masih merasa sebagai “muslim di Barat” yang berkonotasi seorang muslim “di tempat lain” atau muslim “di tempat kafir”.
Namun pada saat yang sama, secara psikologis mereka juga merasa bagian dari Eropa dengan segala kulturnya. Krisis identitas ini diperparah pada kehidupan sosial politik, mereka sering mendapat intimidasi dan perilaku rasisme. Dianggap sebagai orang luar, kaum pendatang, serta minoritas yang harus berintegrasi dengan kultur mayoritas. Sehingga mereka merasa sulit menjadi diri mereka sendiri; menjadi seorang muslim, menjadi seseorang yang mereka mau dan bukan menjadi seseorang yang “orang lain” mau.
Maka muncullah konsep Muslim Barat (western muslim) yang melahirkan teori multiple identity (multi identitas) yaitu “I am a muslim by religion and an european by culture, I am a western muslim”. Bagi Tariq, Eropa bukanlah tempat asing bagi warga negaranya yang muslim. Eropa adalah rumah mereka. Tugas mereka sekarang adalah memperjuangkan hak-haknya untuk beribadah. Di sinilah HAM dan demokrasi memegang peranan penting. Ditambah lagi jumlah umat muslim di Barat setiap hari semakin bertambah, meskipun ada kekhawatiran atas “muslimisasi” yang dilakukan oleh para “misionaris Islam”, ide demokrasi yang menjamin setiap orang berhak menganut agama dan mengajarkan agama membuat para pendakwah Islam tak ada yang diusir dari terirorial non-muslim yang mayoritas itu.
Lantas dimanakah perlunya HAM? Sebagaimana diketahui, beberapa non-muslim yang berpandangan sempit merasa jengkel melihat “Muslim Eropa” yang muncul di ranah publik. Dengan egoisitas asoe lhoek, mereka mempermasalahkan pembangunan masjid, muslimah berjilbab, dan pertumbuhan mualaf yang signifikan. Lalu virus islamophobia pun diembus oleh kelompok ekstrimis ini. Salah satu senjatanya adalah menakuti-nakuti masyarakat barat akan bahayanya Syariat Islam; pemaksaan berjilbab bagi wanita, hukuman rajam, potong tangan bagi pencuri, jihad dan kebencian terhadap kafir (Yahudi dan Nasrani), dst. Inilah momen di mana intelektual muslim Eropa harus bicara.
Manifesto “The New We”
Dalam pandangan Tariq Ramadan, krisis horizontal antara muslim dan barat bukan disebabkan oleh perbenturan peradaban (clash of civilization) seperti yang ditulis Samuel Huntington, melainkan karena perbenturan persepsi (clash of perception). Bila kita berkunjung ke negara barat, akan kita dapatkan “mereka” (them) berbicara tentang “kita” (us) sebagai objek. Dan di negara mayoritas muslim (termasuk Aceh), “kita” (us) membicarakan “mereka” (them) sebagai objek. Sehingga yang sebenarnya terjadi di dua kubu merupakan perbenturan persepsi “kita” melawan “mereka” (us versus them) yang melahirkan ketidakpercayaan (distrust). Ketidakpercayaan inilah yang memunculkan konflik itu.
Disinilah konsep “The New We” menjadi penting. Manifesto ini meniadakan “kita” (us-objek) dan “mereka” (them-objek), yang ada hanyalah “Kita” (dengan “k” besar, We-sebagai subjek). Implikasinya, ketika muslim Eropa mengungkapkan pendapatnya, mereka tidak berbicara sebagai minoritas, tetapi sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajiban yang sama dengan golongan mayoritas. The New We meng-egaliter-kan semua golongan, ras, agama dan suku menjadi satu identitas, yaitu warga negara yang diatur oleh common law (hukum bersama). Pluralitas disatukan oleh kesamaan visi; menciptakan masa depan bersama (dalam perbedaan) yang lebih baik.
Oleh sebab itu, ketika memperjuangkan hak muslimah untuk memakai jilbab, Tariq mengatakan “adalah melanggar aturan Islam memaksa wanita memakai jilbab, dan melanggar HAM memaksa wanita melepas jilbab mereka.” (Tariq Ramadan: 2008). Bagi Tariq, substansi agama lebih penting dari pada formalisme agama yang sempit dan kaku. Syariat diartikannya sebagai “jalan” individu menuju Tuhan. Sebuah kata yang lebih luas dan dalam maknanya ketimbang hanya seperangkat aturan. “Di negeri ini (Eropa), saya memiliki kedudukan yang sama dengan anda” kata Tariq kepada seorang reporter non-muslim. “persamaan hak inilah syariah saya.” Dan persamaan hak-seperti kita tahu-merupakan inti demokrasi.
Konteks Aceh
Bila di Barat terjadi islamophobia, maka di negara mayoritas muslim terjadi westernphobia. Menurut ilmu budaya dan ilmu pengetahuan, manusia tak bisa melihat realitas sosial secara langsung, melainkan melalui tabir (Kuntowijoto:2004). Barat melihat Islam melalui tabir bom bunuh diri, terorisme, kekerasan terhadap wanita sedangkan negara mayoritas muslim melihat Barat melalui tabir perang Afghanistan, Irak, Israel, free sex, dsb. Sehingga ada ulama yang mengatakan barat dan Islam merupakan dua kutub yang berbeda. Tetapi bila kita memosisikan diri kita sebagai muslim barat, maka istilah Islam vs Barat terkesan ambigu. Islam dengan nilai-nilai universalnya merupakan agama bagi seluruh umat manusia, bukan monopoli timur. Dan tidak perlu mentimuri Barat serta tidak perlu membaratkan timur. Dalam buku “What I Believe”, Tariq menekankan muslim untuk menjadi pribadi yang critical loyalty (loyal tetapi kritis). Artinya sikap seorang muslim harus selalu cenderung kepada kebenaran, meskipun negara dan masyarakatnya bersikap sebaliknya. Tidak semua yang ada di negara mayoritas muslim itu baik (Islam) dan tidak semua yang ada di Barat itu buruk (non-islami). Yang diperlukan adalah sikap terbuka dan kritis dalam mengambil hikmah yang tercecer.
Terakhir, muslim Eropa merupakan golongan minoritas. Sebenarnya yang paling mengerti mereka adalah golongan minoritas yang tinggal dilingkungan kita (umat Kristen, Budha, Hindu, dsb). Sebelum kita (yang mayoritas) ini melarang yang berbeda agama mendirikan tempat beribadahnya, coba bayangkan bagaimana rasanya bila kita dilarang mendirikan masjid di Eropa.
Sebelum kita mengusir orang lain karena mendakwahkan agama yang berbeda, coba bayangkan bila kita diusir karena mendakwahkan Islam di Amerika. Inilah yang disebut Tariq Ramadan sebagai “intellectual empathy”. Tapi tunggu, bukankah sebagai wilayah syariat Islam kita punya hak untuk melarang non-muslim menyebarkan agamanya? Benar, tapi kita nanti jangan marah kalau ada muslim yang dilarang menyebarkan Islam di negara mayoritas non-muslim. “Bila anda ingin mendapatkan hak yang anda inginkan, maka anda harus memberikan hak yang sama kepada orang lain,” kata Tariq Ramadan.
* Penulis adalah pemerhati pemikiran muslim progressive dan penggiat Kelompok Studi Darussalam (KSD). Alumnus IELSP Ohio University USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar