Oleh Burhanuddin
Sebagai seorang akademisi, Mernissi telah sekian lama merebut perhatian para aktivis perempuan dan peminat gender melalui buku-bukunya seperti Beyond the Veil: Male-Female Dynamic in Modern Moslem Society— yang aslinya adalah disertasi doktornya, The Veil and the Male Elite dan seabrek buku lainnya yang—alhamdulillah— sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia.
Dari tulisan-tulisannya, sedikit atau banyak kita dapat menarik benang merah untaian pemikiran Mernisi sekitar feminisme: Yakni betapa gigihnya dia menelisik kekurangan-kekurangan yang ada pada pemerintahan Arab —yang menurutnya— bukanlah intrinsik karena doktrin agama. Namun, lebih karena agama itu telah dimanipulasi oleh orang yang berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri.
Ada yang menarik dari rubrik “Kisah” berjudul Pengakuan “Selir” Pangeran Jefri dalam Media Indonesia edisi Minggu, 4/6/2000. Kisah ini mirip cerita 1001 malam, demikian Media mengawali beritanya. Kehidupan seorang pangeran; bergelimang uang, hidup mewah dan dikelilingi wanita-wanita cantik yang siap menghibur “luar-dalam.” Ya, benar, laporan tersebut membicarakan seorang pangeran flamboyan nan kaya raya bernama Pangeran Jefri Bolkiah, anggota kerajaan Brunei Darussalam.
Bukan kekayaan dan hobi pangeran yang suka pesta itu yang dijadikan satu-satunya sasaran tembak. Tapi “kesukaan” Pangeran Jefri Bolkiah yang lain yang hendak dikupas seiring dengan adanya pengakuan seorang model asal Los Angeles bernama Rebbeca Ferratti kepada Melba Newsome dari Majalah Marie Claire. Rebbeca mengaku pernah menjadi “harem” (selir) Pangeran Jefri dengan gaji puluhan ribu dollar. Yang menghebohkan lagi, selain dirinya, masih ada 69 harem (selir) Pangeran Jefri plus empat istri resmi sang pangeran.
Istilah “harem” yang dipakai Rebbeca untuk menyebut dirinya bersama 69 selir Pangeran Jefri inilah yang menarik untuk dicermati. Tepatkah istilah “harem” itu dipakai untuk melihat kasus Rebbeca? Adakah implikasi teologis-politis penyebutan “harem” yang berkonotasi Arab? Di atas segalanya, untuk mendudukkan persoalan, perlu kiranya kita merefer karya Fatima Mernissi tentang The Dream of Trespass yang diterjemahkan dalam Edisi Bahasa Indonesia menjadi Teras Terlarang. Buku terbitan Mizan (November, 1999) ini banyak mengupas sisi-sisi kehidupan di dalam harem yang langsung dilakoni oleh sang penulisnya sendiri.
Sebagai seorang akademisi, Mernissi telah sekian lama merebut perhatian para aktivis perempuan dan peminat gender melalui buku-bukunya seperti Beyond the Veil: Male-Female Dynamic in Modern Moslem Society— yang aslinya adalah disertasi doktornya, The Veil and the Male Elite dan seabrek buku lainnya yang—alhamdulillah— sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia.
Dari tulisan-tulisannya, sedikit atau banyak kita dapat menarik benang merah untaian pemikiran Mernisi sekitar feminisme: Yakni betapa gigihnya dia menelisik kekurangan-kekurangan yang ada pada pemerintahan Arab —yang menurutnya— bukanlah intrinsik karena doktrin agama. Namun, lebih karena agama itu telah dimanipulasi oleh orang yang berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri. Mernissi rela “mewakafkan” sebagian besar usianya untuk melakukan penggalian arkeologis dengan membuka-buka teks agama dan mengakrabi ruang-ruang perpustakaan. Dengan maksud, tentu saja, untuk membuktikan hipotesis dia tentang intervensi budaya patriarkhat dalam teks-teks sakral yang bersifat misoginis
Tapi, satu hal yang agak berbeda pada buku ini dari buku-buku Mernissi yang lain adalah “keengganannya” untuk masuk lebih dalam lagi pada arena debat kusir teologis tentang kedudukan perempuan dalam Islam. Persoalan feminisme dalam Islam tidaklah harus melulu serius mengagendakan perlu tidaknya penghapusan poligami, kesetaraan harta waris, hijab, dan hal-hal lain yang bisa menegakkan bulu alis kaum agamawan konservatif. Mernissi ingin menampilkan area of expert-nya itu dalam tulisan yang ringan-ringan saja alias mudah dicerna.
Oleh karenanya, ia serasa ingin bertutur tentang dirinya. Dan buku yang aslinya berjudul Dreams of Trespass: Tales of a Harem Girlhood ini memuatnya sekelumit lika-liku perjalanan hidup Fatima Mernissi dari seorang gadis kecil manis yang hidup dalam lingkungan budaya patriarkhi yang diskriminatif sampai pada proses pematangan ideologinya sebagai seorang feminis.
Bak seorang penulis biografi yang piawai, Mernissi menceritakan masa kanak-kanaknya di dalam sebuah harem Fez, yang dilihat dari kacamata seorang gadis muda. “Masa kanak-kanak saya tidaklah seindah dalam buku ini, “tuturnya dengan nada agak getir. Memang sekilas Mernissi tampak menikmati masa kecilnya di dalam harem, tapi ia tetap tidak dapat mengabaikan adanya penindasan di dalamnya.
Seperti pernah diulas Satrio (1994) ketika meresensi buku ini dalam edisi bahasa Inggris, judul The Dreams of Trespass (Impian-impian tentang Keluar Batas) sengaja dipakai karena inilah yang Mernissi ingat tentang apa yang dilakukan kaum perempuan di dalam harem. Mereka melihat ke rentang langit dari dalam lingkungan halaman harem dan memimpikan hal-hal yang sederhana, seperti melangkah bebas di jalan. Ia menulis tentang batas-batas yang mengatur perilaku dalam masyarakat, garis antara laki-laki dan perempuan. Bukankah inovasi besar di dunia ini berawal dari sebuah mimpi yang menggantung?
Mernissi membuat perbedaan antara harem kerajaan (imperial) dan harem tingkat biasa (domestic) (h. 37). Orang Barat biasanya membayangkan harem kelas tinggi, yakni istana-istana yang dimiliki laki-laki yang kaya raya dan berkuasa, yang membeli ratusan wanita budak dan menyimpan mereka dalam lingkungan harem dengan dijaga ketat oleh orang kasim. Harem-harem semacam ini telah lenyap oleh Perang Dunia I, ketika kerajaan Ottoman runtuh dan praktek-praktek itu dilarang oleh penguasa Barat. Mernissi dibesarkan dalam harem tingkat biasa, yakni rumah bertembok anggun, meskipun bukan istana. Rumah ini didiami oleh sebuah keluarga besar dengan maksud mencegah perempuan memiliki kontak dengan dunia luar (Ibid.)
Distingsi kategoris yang dibuat Mernissi tentang harem di atas sebenarnya sangat membantu kita untuk menjernihkan pandangan steriotipikal Barat yang menganggap bahwa para raja Islam di Timur Tengah dan Maghribi (Afrika Utara) masih melanggengkan institusi harem. Dalam bayangan mereka, harem yang berisi selir-selir raja yang berjumlah belasan, bahkan puluhan wanita beserta anak-anaka yang berjumlah puluhan masih bercokol hingga kini. Walhal, harem model imperial seperti itu telah lama punah, sementara harem model domestik tetap ada seiring dengan masih hidupnya “kepercayaan teologis” yang berakar pada faktor kultural untuk menjaga sekaligus memudahkan proses pemantauan terhadap istri-istri dan anak-anak perempuan dari pengaruh luar.
Harem model imperial, dalam wujudnya yang tak jauh beda, sebenarnya bisa kita jumpai di Indonesia, katakanlah di Keraton Solo, misalnya. Secara fisikal-arsitektural, bangunan yang diperuntukkan buat kalangan istri-istri raja itu tentu tampak anggun dan megah, dan merupakan bagian dari institusi keraton secara keseluruhan. Selain secara latent ditujukan untuk membatasi pergaulan istri-istri raja berikut anak-anak mereka dengan dunia luar, bangunan yang boleh juga disebut harem imperial tersebut berguna untuk memisahkan sekaligus membedakan “trah” garis keturunan raja dengan yang lain.
Yang menarik sebagaimana dapat dibaca dalam entri “seclusion” dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, meskipun lekat dengan tradisi masyarakat dan nilai keislaman, pemisahan ruang antara kedua jenis kelamin itu ternyata bukan berasal dari Islam sendiri. Masyarakat Bizantium, Kristen Suriah, serta masyarakat pra-Islam di kawasan Mediterania, Mesopotamia, serta Persia, sudah terlebih dahulu mempraktekkan hal ini. (h. x).
Di samping itu, pemisahan ruang ini juga sesuai dengan gagasan yang dipegang oleh suku-suku asli di Timur Tengah yang menghendaki kemurnian darahnya terjaga. Meskipun demikian, Mernissi tak selalu menunjuk institusi harem sebagai cerminan dari “keangkuhan” laki-laki untuk mengendalikan perempuan. Harem dalam buku ini adalah harem domestik yang sebenarnya mirip sebuah keluarga besar (extanded family) tanpa budak maupun kasim. Tapi, apa pun alasannya, karena eksistensi harem yang sengaja diperuntukkan buat pengekangan perempuan dari aktivitas dengandunia luar, maka bagaimana pun juga harem tetaplah sebuah produk institusi budaya patriarkhi yang menindas perempuan.
Tradisi harem yang membatasi perempuan dalam berinteraksi dengan dunia luar ini sebenarnya bisa dijelaskan melalui konsep space yang biasa dikenal dalam literatur antropologi. Dalam hal ini, segregasi yang ketat menyangkut space (ruang) buat laki-laki atau perempuan lebih merujuk pada faktor budaya yang melingkupinya. Dan karenanya, lepas dari tanggung jawab sakralitas teks agama. Meskipun, misalnya, ada teks yang menyebut secara eksplisit batas demarkasi laki-laki dan perempuan, itu tak lebih dari bentuk akomodasi teks agama terhadap kultur budaya lokal (baca: Arab). Kalau kita mengikuti asumsi ini, maka teks-teks suci yang membatasi ruang gerak perempuan—yang kemudian berimplikasi pada penyudutan peran perempuan— bersifat relatif atau nisbi. Atau, meminjam istilah bahasa tafsir (Ulumul Qur’an) disebut dzanniy.
Contoh sederhana bahwa pemisahan laki-laki dan perempuan bisa dibaca lewat konsep space yang berdimensi lokal-kultural adalah hanya pada konteks Arab sajalah, daerah komunitas muslim, yang memiliki batasan ketat pemisahan laki-laki dan perempuan. Di Indonesia misalnya, hampir-hampir tidak ada segregasi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan dapat beraktivitas bersama, tanpa pemisahan, baik di kampus, kantor, sarana transportasi umum dan lain-lain. Hanya WC dan kamar mandi saja yang terpisah.
Namun di atas segalanya, kehidupan masa kecil Mernissi di lingkungan harem malah mematangkan visinya sehingga ia berhasil menjadi scholar kaliber international yang sangat dihormati. Menarik disimak, yakni tumbuhnya benih-benih kritisisme Mernissi justru ketika ia mendapat kungkungan yang kuat. Itu merupakan pesan berharga bahwa “penjara” seketat apa pun tidak bakal mampu mengerdilkan pemikiran seseorang. Hanya tubuhnya saja yang terbelenggu. Bukankah Raden Ajeng Kartini besar karena pikiran-pikirannya yang —tertuang dalam lipatan surat kepada Abendanon, sahabatnya—ternyata mampu menerobos kungkungan tradisi yang melingkupinya dan mampu melampaui zamannya?
“Bagaimanapun banyaknya keterbatasan Anda, Anda selalu bisa memiliki impian dan visi. Jika Anda berpegang pada hal itu, Anda bisa mengubah dunia. Itulah cerita saya, “ujar Mernisi. Dus, melalui buku ini, Mernissi tidak saja mampu mendeskripsikan ketertindasan perempuan secara apik, tapi ia juga memiliki semangat liberatif dan transformatif untuk mengubahnya.
Sebagai epilog, boleh saya katakan bahwa buku ini niscaya sayang seribu sayang apabila dilewatkan begitu saja oleh para peminat kajian gender dan aktivis perempuan. Selamat Membaca!
http://islamlib.com/id/artikel/konsep-harem-dalam-perspektif-fatima-mernissi
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Selamat
Selamat datang di Santri Gubrak
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis
Jumat, 25 Maret 2011
Fatima Mernissi, Srikandi Dialog Muslim-Barat
TEMPO Interaktif, Rabat - Terlepas dari apa yang dia tulis--entah itu tentang hak-hak perempuan di dunia Arab, ketakutan terhadap Islam di Barat, atau globalisasi budaya--Fatima Mernissi, seorang intelektual dan penulis asal Maroko, tidak saja berhasil memberikan pengetahuan pada orang-orang, tapi juga dalam membuat mereka berpikir.
Buku-bukunya telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa. Dia pun pernah menerima sejumlah penghargaan internasional yang prestisius atas perjuangannya, termasuk Penghargaan Erasmus (Eropa) dan Penghargaan Pangeran Asturias (Spanyol).
Mernissi memulai pendidikannya di sebuah madrasah Al Quran di Fez, di mana ia mulai diperkenalkan dengan Islam. "Menulis berarti merayu, dan merayu itu lawan dari kekerasan,” katanya dalam sebuah wawancara di rumahnya di Rabat, ibukota Maroko. “Saya belajar itu di madrasah tersebut. Menurut Anda, mengapa kitab-kitab seperti Al Quran dan Injil menjadi yang terlaris selama seribu tahun? Jawabannya sederhana: karena kitab-kitab itu mencoba merayu pembacanya lewat bahasa, dan bukan dengan kekerasan.”
Mernissi tumbuh dalam arus mistisisme Islam yang dipraktikkan secara luas di Maroko. Dan meskipun keluarganya setia pada tradisi, mereka cukup punya pandangan jauh ke depan sehingga menyekolahkannya di salah satu sekolah Prancis-Arab modern pertama di Fez.
Ia kemudian bekerja di Inggris dan Prancis, lalu berlabuh di Amerika Serikat, di mana ia mendapat beasiswa untuk menempuh studi doktoral.
Era 1960-an menjadi era gerakan hak-hak sipil. Perjuangan gerakan perempuan di Amerika Serikat untuk mendapatkan hak-hak yang setara dan kebebasan seksual, mengajarkan pada sosiolog muda Maroko ini bahwa penindasan terhadap perempuan tidak terjadi di dunia Arab saja.
Meskipun demikian, Mernissi menyadari bahwa ia dianggap tak beruntung lantaran berasal dari Afrika Utara dan dari kalangan Muslim. Mernissi ingin menguak hal-hal yang menyebabkan adanya persepsi distortif ini, sehingga menulis disertasi tentang jender dan perempuan di Timur dan Barat.
Disertasinya, Beyond the Veil, yang diterbitkan pada 1975, dan diterjemahkan ke 30 bahasa, kini dipandang sebagai karya standar penelitian jender lintas budaya di banyak negara mulai dari Amerika Serikat hingga Malaysia. Karya Mernissi yang lain, The Veil and the Male Elite, yang diterbitkan di Prancis pada 1987, juga dianggap sebagai kitab rujukan klasik.
Teori pokok bukunya adalah bahwa Al Quran sebenarnya tidak membenarkan penindasan terhadap perempuan. Pandangan yang menyudutkan perempuan sebenarnya berasal dari para ulama laki-laki, yang selama ribuan tahun, telah menafsirkan Al Quran sesuai dengan apa yang mereka mau dan menyalahgunakannya untuk menindas perempuan.
The Veil and the Male Elite juga diterjemahkan ke sejumlah bahasa dan diterbitkan di banyak negara. Namun, di Maroko, bukunya ini dijual secara sembunyi-sembunyi selama bertahun-tahun. "Saya telah mencuri perhatian dari para ulama konservatif dan para penguasa," papar Mernissi.
"Bayangkan saja Anda hidup dalam sebuah monarki absolut yang mengklaim kekuasaannya berakar pada Islam. Lalu ada seorang perempuan yang menyatakan bahwa siapa pun yang menentang kebebasan seseorang berarti menentang Nabi Muhammad. Aparat polisi negara Sultan Hasan II tentu tak akan tinggal diam.”
Kendati begitu, Mernissi bisa berkarya di Maroko tanpa gangguan. Dia secara aktif menggunakan nama dan posisinya untuk mendukung prakarsa-prakarsa demokrasi. Sejak akhir 1980-an, cara yang ia sukai untuk melakukan itu adalah melalui lokakarya-lokakarya penulisan bersama para pengarang independen.
Beberapa lokakarya yang diprakarsai Mernissi tersebut melahirkan publikasi-publikasi yang inovatif: korban penyiksaan menulis tentang kesengsaraan dalam batin mereka, aktivis HAM mengadukan pelecehan seksual anak sekolah, prakarsa warga di Maroko selatan melaporkan tentang demokrasi akar rumput, dan penenun karpet menulis tentang impian-impian mereka.
Kini, generasi baru yang lebih tertarik dengan internet ketimbang buku tengah muncul di Maroko. Namun, lokakarya penulisan masih dibutuhkan, dan Mernissi juga sangat tertarik dengan media sosial. Ia menganggap YouTube, Twitter dan yang sejenisnya akan memperbaiki demokrasi di negara-negara Arab dalam jangka panjang, karena para penguasa tidak akan lagi memonopoli sumber daya yang paling penting: komunikasi dan informasi.
* Martina Sabra, penulis lepas. Artikel ringkasan ini disebarluaskan oleh CGNews
http://www.tempointeraktif.com/hg/sastra_dan_budaya/2010/11/03/brk,20101103-289134,id.html
HAM bagi Muslim Barat
BILA kita komparasikan perbedaan antara muslim Barat (western muslim) dan umat Islam di negara mayoritas muslim, salah satu perbedaannya adalah umat Islam di negara mayoritas muslim (seperti Arab Saudi, Mesir, Indonesia, dst) umumnya menolak HAM, pluralisme, dan demokrasi karena dianggap konsep luar (kafir). Sedangkan muslim Barat, mereka justru memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan HAM sebagai bentuk keislaman mereka.
Istilah “muslim barat” (western muslim) dipopulerkan oleh Tariq Ramadan, cucu Hasan Al-Banna yang saat ini menjabat sebagai profesor Islamic Studies di Universitas Oxford, UK. Konsep “Muslim Barat” digunakan untuk mengganti konsep “muslim di Barat” (muslim in the west) dari memori umat Islam di Eropa. Konsep Muslim Barat awalnya muncul karena generasi ke-tiga dan ke-empat dari imigran muslim (yang sudah menjadi warga negara Eropa) mengalami krisis identitas, antara jati diri mereka sebagai seorang muslim dan (pada saat bersamaan) sebagai warga negara sekuler-barat. Sebagian dari mereka masih merasa sebagai “muslim di Barat” yang berkonotasi seorang muslim “di tempat lain” atau muslim “di tempat kafir”.
Namun pada saat yang sama, secara psikologis mereka juga merasa bagian dari Eropa dengan segala kulturnya. Krisis identitas ini diperparah pada kehidupan sosial politik, mereka sering mendapat intimidasi dan perilaku rasisme. Dianggap sebagai orang luar, kaum pendatang, serta minoritas yang harus berintegrasi dengan kultur mayoritas. Sehingga mereka merasa sulit menjadi diri mereka sendiri; menjadi seorang muslim, menjadi seseorang yang mereka mau dan bukan menjadi seseorang yang “orang lain” mau.
Maka muncullah konsep Muslim Barat (western muslim) yang melahirkan teori multiple identity (multi identitas) yaitu “I am a muslim by religion and an european by culture, I am a western muslim”. Bagi Tariq, Eropa bukanlah tempat asing bagi warga negaranya yang muslim. Eropa adalah rumah mereka. Tugas mereka sekarang adalah memperjuangkan hak-haknya untuk beribadah. Di sinilah HAM dan demokrasi memegang peranan penting. Ditambah lagi jumlah umat muslim di Barat setiap hari semakin bertambah, meskipun ada kekhawatiran atas “muslimisasi” yang dilakukan oleh para “misionaris Islam”, ide demokrasi yang menjamin setiap orang berhak menganut agama dan mengajarkan agama membuat para pendakwah Islam tak ada yang diusir dari terirorial non-muslim yang mayoritas itu.
Lantas dimanakah perlunya HAM? Sebagaimana diketahui, beberapa non-muslim yang berpandangan sempit merasa jengkel melihat “Muslim Eropa” yang muncul di ranah publik. Dengan egoisitas asoe lhoek, mereka mempermasalahkan pembangunan masjid, muslimah berjilbab, dan pertumbuhan mualaf yang signifikan. Lalu virus islamophobia pun diembus oleh kelompok ekstrimis ini. Salah satu senjatanya adalah menakuti-nakuti masyarakat barat akan bahayanya Syariat Islam; pemaksaan berjilbab bagi wanita, hukuman rajam, potong tangan bagi pencuri, jihad dan kebencian terhadap kafir (Yahudi dan Nasrani), dst. Inilah momen di mana intelektual muslim Eropa harus bicara.
Manifesto “The New We”
Dalam pandangan Tariq Ramadan, krisis horizontal antara muslim dan barat bukan disebabkan oleh perbenturan peradaban (clash of civilization) seperti yang ditulis Samuel Huntington, melainkan karena perbenturan persepsi (clash of perception). Bila kita berkunjung ke negara barat, akan kita dapatkan “mereka” (them) berbicara tentang “kita” (us) sebagai objek. Dan di negara mayoritas muslim (termasuk Aceh), “kita” (us) membicarakan “mereka” (them) sebagai objek. Sehingga yang sebenarnya terjadi di dua kubu merupakan perbenturan persepsi “kita” melawan “mereka” (us versus them) yang melahirkan ketidakpercayaan (distrust). Ketidakpercayaan inilah yang memunculkan konflik itu.
Disinilah konsep “The New We” menjadi penting. Manifesto ini meniadakan “kita” (us-objek) dan “mereka” (them-objek), yang ada hanyalah “Kita” (dengan “k” besar, We-sebagai subjek). Implikasinya, ketika muslim Eropa mengungkapkan pendapatnya, mereka tidak berbicara sebagai minoritas, tetapi sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajiban yang sama dengan golongan mayoritas. The New We meng-egaliter-kan semua golongan, ras, agama dan suku menjadi satu identitas, yaitu warga negara yang diatur oleh common law (hukum bersama). Pluralitas disatukan oleh kesamaan visi; menciptakan masa depan bersama (dalam perbedaan) yang lebih baik.
Oleh sebab itu, ketika memperjuangkan hak muslimah untuk memakai jilbab, Tariq mengatakan “adalah melanggar aturan Islam memaksa wanita memakai jilbab, dan melanggar HAM memaksa wanita melepas jilbab mereka.” (Tariq Ramadan: 2008). Bagi Tariq, substansi agama lebih penting dari pada formalisme agama yang sempit dan kaku. Syariat diartikannya sebagai “jalan” individu menuju Tuhan. Sebuah kata yang lebih luas dan dalam maknanya ketimbang hanya seperangkat aturan. “Di negeri ini (Eropa), saya memiliki kedudukan yang sama dengan anda” kata Tariq kepada seorang reporter non-muslim. “persamaan hak inilah syariah saya.” Dan persamaan hak-seperti kita tahu-merupakan inti demokrasi.
Konteks Aceh
Bila di Barat terjadi islamophobia, maka di negara mayoritas muslim terjadi westernphobia. Menurut ilmu budaya dan ilmu pengetahuan, manusia tak bisa melihat realitas sosial secara langsung, melainkan melalui tabir (Kuntowijoto:2004). Barat melihat Islam melalui tabir bom bunuh diri, terorisme, kekerasan terhadap wanita sedangkan negara mayoritas muslim melihat Barat melalui tabir perang Afghanistan, Irak, Israel, free sex, dsb. Sehingga ada ulama yang mengatakan barat dan Islam merupakan dua kutub yang berbeda. Tetapi bila kita memosisikan diri kita sebagai muslim barat, maka istilah Islam vs Barat terkesan ambigu. Islam dengan nilai-nilai universalnya merupakan agama bagi seluruh umat manusia, bukan monopoli timur. Dan tidak perlu mentimuri Barat serta tidak perlu membaratkan timur. Dalam buku “What I Believe”, Tariq menekankan muslim untuk menjadi pribadi yang critical loyalty (loyal tetapi kritis). Artinya sikap seorang muslim harus selalu cenderung kepada kebenaran, meskipun negara dan masyarakatnya bersikap sebaliknya. Tidak semua yang ada di negara mayoritas muslim itu baik (Islam) dan tidak semua yang ada di Barat itu buruk (non-islami). Yang diperlukan adalah sikap terbuka dan kritis dalam mengambil hikmah yang tercecer.
Terakhir, muslim Eropa merupakan golongan minoritas. Sebenarnya yang paling mengerti mereka adalah golongan minoritas yang tinggal dilingkungan kita (umat Kristen, Budha, Hindu, dsb). Sebelum kita (yang mayoritas) ini melarang yang berbeda agama mendirikan tempat beribadahnya, coba bayangkan bagaimana rasanya bila kita dilarang mendirikan masjid di Eropa.
Sebelum kita mengusir orang lain karena mendakwahkan agama yang berbeda, coba bayangkan bila kita diusir karena mendakwahkan Islam di Amerika. Inilah yang disebut Tariq Ramadan sebagai “intellectual empathy”. Tapi tunggu, bukankah sebagai wilayah syariat Islam kita punya hak untuk melarang non-muslim menyebarkan agamanya? Benar, tapi kita nanti jangan marah kalau ada muslim yang dilarang menyebarkan Islam di negara mayoritas non-muslim. “Bila anda ingin mendapatkan hak yang anda inginkan, maka anda harus memberikan hak yang sama kepada orang lain,” kata Tariq Ramadan.
* Penulis adalah pemerhati pemikiran muslim progressive dan penggiat Kelompok Studi Darussalam (KSD). Alumnus IELSP Ohio University USA.
Istilah “muslim barat” (western muslim) dipopulerkan oleh Tariq Ramadan, cucu Hasan Al-Banna yang saat ini menjabat sebagai profesor Islamic Studies di Universitas Oxford, UK. Konsep “Muslim Barat” digunakan untuk mengganti konsep “muslim di Barat” (muslim in the west) dari memori umat Islam di Eropa. Konsep Muslim Barat awalnya muncul karena generasi ke-tiga dan ke-empat dari imigran muslim (yang sudah menjadi warga negara Eropa) mengalami krisis identitas, antara jati diri mereka sebagai seorang muslim dan (pada saat bersamaan) sebagai warga negara sekuler-barat. Sebagian dari mereka masih merasa sebagai “muslim di Barat” yang berkonotasi seorang muslim “di tempat lain” atau muslim “di tempat kafir”.
Namun pada saat yang sama, secara psikologis mereka juga merasa bagian dari Eropa dengan segala kulturnya. Krisis identitas ini diperparah pada kehidupan sosial politik, mereka sering mendapat intimidasi dan perilaku rasisme. Dianggap sebagai orang luar, kaum pendatang, serta minoritas yang harus berintegrasi dengan kultur mayoritas. Sehingga mereka merasa sulit menjadi diri mereka sendiri; menjadi seorang muslim, menjadi seseorang yang mereka mau dan bukan menjadi seseorang yang “orang lain” mau.
Maka muncullah konsep Muslim Barat (western muslim) yang melahirkan teori multiple identity (multi identitas) yaitu “I am a muslim by religion and an european by culture, I am a western muslim”. Bagi Tariq, Eropa bukanlah tempat asing bagi warga negaranya yang muslim. Eropa adalah rumah mereka. Tugas mereka sekarang adalah memperjuangkan hak-haknya untuk beribadah. Di sinilah HAM dan demokrasi memegang peranan penting. Ditambah lagi jumlah umat muslim di Barat setiap hari semakin bertambah, meskipun ada kekhawatiran atas “muslimisasi” yang dilakukan oleh para “misionaris Islam”, ide demokrasi yang menjamin setiap orang berhak menganut agama dan mengajarkan agama membuat para pendakwah Islam tak ada yang diusir dari terirorial non-muslim yang mayoritas itu.
Lantas dimanakah perlunya HAM? Sebagaimana diketahui, beberapa non-muslim yang berpandangan sempit merasa jengkel melihat “Muslim Eropa” yang muncul di ranah publik. Dengan egoisitas asoe lhoek, mereka mempermasalahkan pembangunan masjid, muslimah berjilbab, dan pertumbuhan mualaf yang signifikan. Lalu virus islamophobia pun diembus oleh kelompok ekstrimis ini. Salah satu senjatanya adalah menakuti-nakuti masyarakat barat akan bahayanya Syariat Islam; pemaksaan berjilbab bagi wanita, hukuman rajam, potong tangan bagi pencuri, jihad dan kebencian terhadap kafir (Yahudi dan Nasrani), dst. Inilah momen di mana intelektual muslim Eropa harus bicara.
Manifesto “The New We”
Dalam pandangan Tariq Ramadan, krisis horizontal antara muslim dan barat bukan disebabkan oleh perbenturan peradaban (clash of civilization) seperti yang ditulis Samuel Huntington, melainkan karena perbenturan persepsi (clash of perception). Bila kita berkunjung ke negara barat, akan kita dapatkan “mereka” (them) berbicara tentang “kita” (us) sebagai objek. Dan di negara mayoritas muslim (termasuk Aceh), “kita” (us) membicarakan “mereka” (them) sebagai objek. Sehingga yang sebenarnya terjadi di dua kubu merupakan perbenturan persepsi “kita” melawan “mereka” (us versus them) yang melahirkan ketidakpercayaan (distrust). Ketidakpercayaan inilah yang memunculkan konflik itu.
Disinilah konsep “The New We” menjadi penting. Manifesto ini meniadakan “kita” (us-objek) dan “mereka” (them-objek), yang ada hanyalah “Kita” (dengan “k” besar, We-sebagai subjek). Implikasinya, ketika muslim Eropa mengungkapkan pendapatnya, mereka tidak berbicara sebagai minoritas, tetapi sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajiban yang sama dengan golongan mayoritas. The New We meng-egaliter-kan semua golongan, ras, agama dan suku menjadi satu identitas, yaitu warga negara yang diatur oleh common law (hukum bersama). Pluralitas disatukan oleh kesamaan visi; menciptakan masa depan bersama (dalam perbedaan) yang lebih baik.
Oleh sebab itu, ketika memperjuangkan hak muslimah untuk memakai jilbab, Tariq mengatakan “adalah melanggar aturan Islam memaksa wanita memakai jilbab, dan melanggar HAM memaksa wanita melepas jilbab mereka.” (Tariq Ramadan: 2008). Bagi Tariq, substansi agama lebih penting dari pada formalisme agama yang sempit dan kaku. Syariat diartikannya sebagai “jalan” individu menuju Tuhan. Sebuah kata yang lebih luas dan dalam maknanya ketimbang hanya seperangkat aturan. “Di negeri ini (Eropa), saya memiliki kedudukan yang sama dengan anda” kata Tariq kepada seorang reporter non-muslim. “persamaan hak inilah syariah saya.” Dan persamaan hak-seperti kita tahu-merupakan inti demokrasi.
Konteks Aceh
Bila di Barat terjadi islamophobia, maka di negara mayoritas muslim terjadi westernphobia. Menurut ilmu budaya dan ilmu pengetahuan, manusia tak bisa melihat realitas sosial secara langsung, melainkan melalui tabir (Kuntowijoto:2004). Barat melihat Islam melalui tabir bom bunuh diri, terorisme, kekerasan terhadap wanita sedangkan negara mayoritas muslim melihat Barat melalui tabir perang Afghanistan, Irak, Israel, free sex, dsb. Sehingga ada ulama yang mengatakan barat dan Islam merupakan dua kutub yang berbeda. Tetapi bila kita memosisikan diri kita sebagai muslim barat, maka istilah Islam vs Barat terkesan ambigu. Islam dengan nilai-nilai universalnya merupakan agama bagi seluruh umat manusia, bukan monopoli timur. Dan tidak perlu mentimuri Barat serta tidak perlu membaratkan timur. Dalam buku “What I Believe”, Tariq menekankan muslim untuk menjadi pribadi yang critical loyalty (loyal tetapi kritis). Artinya sikap seorang muslim harus selalu cenderung kepada kebenaran, meskipun negara dan masyarakatnya bersikap sebaliknya. Tidak semua yang ada di negara mayoritas muslim itu baik (Islam) dan tidak semua yang ada di Barat itu buruk (non-islami). Yang diperlukan adalah sikap terbuka dan kritis dalam mengambil hikmah yang tercecer.
Terakhir, muslim Eropa merupakan golongan minoritas. Sebenarnya yang paling mengerti mereka adalah golongan minoritas yang tinggal dilingkungan kita (umat Kristen, Budha, Hindu, dsb). Sebelum kita (yang mayoritas) ini melarang yang berbeda agama mendirikan tempat beribadahnya, coba bayangkan bagaimana rasanya bila kita dilarang mendirikan masjid di Eropa.
Sebelum kita mengusir orang lain karena mendakwahkan agama yang berbeda, coba bayangkan bila kita diusir karena mendakwahkan Islam di Amerika. Inilah yang disebut Tariq Ramadan sebagai “intellectual empathy”. Tapi tunggu, bukankah sebagai wilayah syariat Islam kita punya hak untuk melarang non-muslim menyebarkan agamanya? Benar, tapi kita nanti jangan marah kalau ada muslim yang dilarang menyebarkan Islam di negara mayoritas non-muslim. “Bila anda ingin mendapatkan hak yang anda inginkan, maka anda harus memberikan hak yang sama kepada orang lain,” kata Tariq Ramadan.
* Penulis adalah pemerhati pemikiran muslim progressive dan penggiat Kelompok Studi Darussalam (KSD). Alumnus IELSP Ohio University USA.
Langganan:
Postingan (Atom)