Oleh Imam Ghazali Said *
Peristiwa inilah yang dipahami "secara politis" oleh kaum muslim berikutnya, bahwa sejak awal telah terjadi embriyo dua madzhab politik: penguasa dan oposisi. Sayangnya, dalam perjalanan sejarah, dua pilar sistem demokrasi ini gagal diformalkan menjadi satu sistem yang legal dalam Pemerintahan Islam. Yang terjadi malahan masing-masing aliran - dengan argumen teologis, antara yang satu dengan yang lain -, saling menyesatkan bahkan saling mengkafirkan. Dua aliran ini konkritnya menjadi ahl sunnah dan syi'ah. Dalam perkembangannya, masing-masing memilih sistem politik dinasti atau kerajaan yang tentu saja dalam alih kekuasaan dan kebijakan politik jauh dari permusyawaratan dan demokratisasi yang menuntut keterlibtan rakyat dalam semua kebijakan dan reformasi dan mempertahankan politik.
Madzhab Sunni memperjuangkan tegaknya dan membela dinasti Umayyah, ‘Abbasiyah dan terakhir Turki Utsmani. Sedangkan, Syi'ah berjuang untuk menegakkan sekaligus mempertahankan dinasti Fathimiyah, Qojar dan Shofawiyah, walaupun dinasti terakhir tak secara tegas menyatakan Syi'ah.
Di antara dua madzhab politik tersebut muncul madzhab ketiga yang lebih ekstrim yang populer dengan sebutan khawarij. Dari sudut konsep pemikiran politik madzhab ini lebih demokratis dibandingkan Syi'ah dan ahl al-sunnah. Ini, karena - menurut khawarij - kepala negara dalam Islam tidak ada syarat suku, bangsa dan kedekatan nasab dengan Rasul Saw. Yang terpenting menurut madzhab terakhir ini, kepala negara itu harus kapabel, kredibel dan akuntabel dalam memimpin rakyat, dan proses pengangkatannya harus melibatkan seluruh kaum muslim. Tugas pokok terpenting kepala negara adalah menerapkan syariat Islam apa adanya, tak perlu rasionalisasi terlalu jauh.
Idealisme pandangan politik sekte khawarij ini disertai pembatasan yang sangat kuat dan keras. Statmen mereka diantaranya yang sangat populer; "hukum hanya milik Allah". "Barang siapa yang tidak melaksanakan hukum Allah, maka ia kafir." "Penguasa yang tidak melaksanakan hukum Allah dan tidak menegakkan keadilan wajib diperangi dengan jihad". Melakukan dosa besar itu pasti kafir. Konsekuensi dan pemikiran ideal ini, mereka hidup yang secara spiritual "sangat taat", dengan ekspresi; lidah mereka tak pernah kering dari dzikir, malam mereka sangat rajin shalat tahajjud, siang mereka selalu berpuasa. Bahkan karena terlalu sering bersujud, jidat mereka menebal dengan warna hitam.
Idealisme ini dibarengi dengan sikap over ekstrim terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan sikap dan pemikiran mereka. Penguasa yang menerima hukum berdasarkan keputusan manusia adalah kafir yang wajib dibunuh dan diperangi. Sikap dan pemikiran yang "revolusioner" ini yang memotifasi tindakan pembunuhan terhadap Gubernur Mesir Amr bin Ash ra, dan pendiri dinasti Umayyah Muawiyah bin Abi Sufyan ra yang gagal. Mereka sukses membunuh khalifah keempat Ali bin Abi Thalib ra. Mereka sangat yakin bahwa Muawiyah, Ali dan Amr bin Ash adalah murtad dan kafir, karena ketiganya membuat
kesepakatan damai pada akhir perang Shiffin di luar hukum, bahkan menyimpang dari hukum Allah dalam al-Quran.
Konsistensi, keteguhan dan "kebongolan" mereka dalam berbagai situasi, menyebabkan hidup mereka selalu berada diantara dua pilihan "membunuh" atau "dibunuh". Menyerah untuk menang, diplomasi dan gencatan senjata tak ada dalam kamus mereka. Sikap over ideal dan ekstrem inilah diantaranya yang menyebabkan mereka "gagal" untuk mendirikan negara. Sisa-sisa kaum khawarij dikejar-kejar dan dibunuh oleh para penguasa muslim, baik dari kalangan ahl al-sunnah maupun syi'ah.
Kaum khawarij ada yang bisa bertahan membangun komunitas di dua kawasan terpencil, yang jauh dari pantauan pusat kekuasaan. Akhirnya, mereka harus "memoderasi" doktrinnya, dengan tidak mengkafirkan saudaranya sesama muslim. Doktrin politiknya juga mengalammi "restorasi" dengan menerima sistem dinasti, sesuai perkembangan sistem politik, di mana mereka bisa hidup dari kejaran penguasa.
Dinasti yang punya latar belakang khawarij yang sampai era modern ini masih eksis adalah Kesultanan Omman di ujung Timur Teluk Persia dan komunitas Polistariyo yang berada di Sahara Raya (al-Shahra al-Kubra) kerajaan Maroko. Komunitas terakhir, sampai saat ini masih terus berjuang untuk melepaskan diri dari cengkraman Kerajaan Maroko.
Paparan di atas menunjukkan bahwa pengkafiran (takfir) dan penyesatan (tadhlil) lebih dipicu oleh pertarungan elite politik yang bersifat idiologis antara sesama muslim dari pada tuntutan pemahaman murni keagamaan. Ahl al-sunnah yang paling lama menikmati kekuasaan mengembangkan idiologi "moderatisme" (wasathiyah) dalam pemahaman keagamaan, sekaligus menggagas pengkafiran dan penyesatan pada madzhab-madzhab kaum muslim yang beroposisi pada kekuasaan. Tindak kekerasan dengan dalil kafir dan sesat terhadap oposan muslim, baik itu syi'ah, khawarij maupun ahli al-Sunnah memenuhi lembaran sejarah hitam politik Islam.
Sebaliknya, syi'ah dan khawarij yang secara politik berperan sebagai oposan juga mensosialisasikan idiologi pengkafiran, penyesatan dan pendzaliman terhadap ahl al-sunnah yang berkuasa. Akhirnya tindak kekerasan, antara penguasa dan oposisi kerap terjadi dengan keyakinan, masing-masing merasa tindakannya itu benar sebagai jihad untuk membela Islam. Padahal, sebetulnya yang mereka bela itu adalah pemahaman Islam yang mereka jadikan idiologi atau dengan bahasa lainpolitisasi agama.
Untuk menghadapi kekuasaan yang tak mungkin bisa dilawan dalam waktu cepat, syi'ah - dengan argumen keagamaan - mengagas teologi "kepura-puraan" (taqiyah),untuk menyelamatkan eksistensi madzhab dari keberingasan penguasa. Teologi "cerdas" ini mampu memberi keleluasaan bagi para penganut syi'ah untuk menyelinap pada semua sektor kekuasaan ahl al-sunnah. Pada proses lebih lanjut syi'ah mampu mendirikan kekuasaan yang mandiri yang terlepas dari kontrol ahl al-sunnah. Sementara khawarij, karena idiologinya yang "bongol" gagal mempertahankan idealisme pemikiran politiknya, dan hanya mampu mendirikan kekuasaan setelah mereka memoderisasi ekstrimisme politiknya. Akibatnya ciri khas khawarij seperti gagasan awal menjadi sirna. Itulah yang terlihat dalam sepak terjang Kesultanan Omman saat ini. Hampir semua kaum muslim tak mengira bahwa negara mini dalam bentuk kesultanan ini adalah aktualisasi pemikiran politik sekte khawarij.
Dari tiga aliran politik tersebut (ahl al-sunnah, syi'ah dan khawarij), masing-masing mengembangkan sektenya, agar mampu bersaing untuk "merebut" pengikut, baik kalangan awam, maupun komunitas terpelajar. Faktor inilah yang diantaranya mendorong munculnya aliran rasionalis dan tekstualis dalam bidang-bidang keilmuan yang dikembangkan. Dalam ahl al-sunnah, muncul istilah khilafi dan salafi sebagai ekspresi tekstualis dan rasionalis. Dan jika kita mau jujur Mu'tazilah pun sebetulnya bagian dari ahl al-sunnah dari faksi rasionalis. Ini dapat diketahui dari fakta bahwa sebagian besar tokoh Mu'tazilah dalam fiqh menjadi pengikut Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Maliki dan tak ditemukan data satupun tokoh Mu'tazilah yang menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal. Ini dapat dipahami bahwa Mu'tazilah adalah aliran teologi yang lahir dari "rahim" ahl al-sunnah yang tak sepantasnya kita ikut mengkafirkan mereka.
Dalam syi'ah juga muncul dua aliran : tekstualis dan rasionalis yang terekspresi pada yang mereka namakan Ushulidan Ahbari, yang tentu tak pada tempatnya dijelaskan dalam makalah singkat ini. Dalam khawarij jiga muncul kecenderungan tekstual dan rasional itu. Andaikan khawarij tak mampu beradaptasi secara rasional dengan perkembangan budaya lokal dan arus pemikiran yang terjadi di kalangan ahl al-sunnah dan syi'ah, niscaya khawarij tak akan mampu bertahan hidup dengan mendirikan Kesultanan Omman. Realitanya "kelompok bongol" yang sangat tekstualis dan cenderung menjadi teroris ini suka mengkafirkan muslim lain, tak terdengar informasi, bahwa mereka berasal dari Kesultanan Omman yang berlatar belakang khawarij.
Ketika mayoritas kaum muslim, secara prinip "menyimpang" dari sistem ketatanegaraan khilafah, dengan memisahkan diri dan membentuk negara-negara kecil yang secara the facto terlepas dari komando khilafah sebagai kepala negara tertinggi, maka sebetulnya kaum muslimin dengan tiga madzhab politik tersebut telah membangun model "kepemimpinan dan komunitas politik" yang jauh berbeda dengan pemikiran dan madzhab politik masa awal. Komunitas Sunni membangun beberapa dinasti, yang antara yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan struktural. Bahkan antara negara-negara tersebut bersaing dan berebut untuk menghegomoni. Dan jika dimungkinkan menaklukkan secara militer. Syi'ah dan khawarij juga menyalami kondisi politik yang tak jauh berbeda dengan komunitas Sunni. Tetapi, karena populasi mereka terlalu kecil, maka komunitas syi'ah terkonsentrasi di Iran, Irak, Libanon dan Syiria. Itupun di tiga kawasan terakhir masih bersaing untuk berebut pengaruh politik dengan komunitas Sunni. Sementara khawarij membangun komunitas di Kesultanan Omman dan Sahara Raya (al-Shahra al-Kubra) Polistario Kerajaan Maroko yang sampai sekarang untuk yang terakhir belum bisa membangun negara.
Paparan ini menjadi embriyo bagi terapresiasinya paham nasionalisme di kalangan kaum muslim, baik sunni, syi'ah, dan khawarij. Nasionalisme sebagai basis negara kebangsaan (nation state) menawarkan konsep kesatuan bangsa, kesatuan geografis, dan kesatuan bahasa direspon positif oleh sebagian besar kaum muslim yang tinggal di beberapa kawasan yang mayoritas penduduknya muslim. Mereka juga antusias untuk menerima sistem politik demokratis, baik bentuk republik maupun Sistem Kerajaan yang berparlemen.
Negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim ini, mengalami kemusykilan ketika dihadapkan pada "posisi syariat Islam" dalam negara kebangsaan yang demokratis. Pertarungan antara Islam sebagai dasar negara dan yang menghendaki skularisme negara terus bergerak secara dinamis. Pakistan sebagai representasi negara Sunni yang demokratis masih mengalami prublem "menjadikan fiqh sebagai satu-satunya sumber hukum positif", yang ditentang oleh kelompok sekularis. Mesir berhasil memasukkan satu pasal dalam konstitusi. Syari'at Islam adalah sumber utama dan terpenting bagi penerapan undang-undang. Tapi pasal ini, dalam praktek sulit terealisasi, karena ditentang oleh kelompok muslim sekularis. Kondisi seperti ini juga terjadi di Syiria, Yordania, Sudan dan lain-lain.
Iran yang memilih sistem Republik Islam, relatif sukses dalam menerapkan fiqh madzhab ja'fari dalam sistem tata hukum positif di Iran. Tetapi negara "Republik Syi'ah" ini menghadapi problem juga, karena tak memberi peran yang signifikan dan tak mampu memberi perlindungan yang layak bagi kaum minoritas Sunni dan yang lain sebagai konsekuensi sistem demokrasi Islam yang dianut. Sedang di Irak yang kekuatan syi'ah dan ahl al-sunnah itu seimbang, malah memilih hukum sekuler, untuk menghindari pertarungan antara sunni dan syi'ah yang kerapkali meletus dalam bentuk tindak kekerasan dengan saling menyerang dan saling mengebom. Entah sampai kapan tindakan ini "saling" akan berakhir. Negara disini hanya bisa memberlakukan hukum Islam bidang al-ah-wal al-syahshiyah: Libanon juga memiliki sistem hukum sekuler, karena kekuatan Islam terbagi pada syi'ah, sunni. Sementara Kristen terbagi pada Maronit, Ortodok. Disarping itu masih ada kelompok minoritas agama lain.
Melihat kondisi kaum muslim di negara-negara yang menganut sistem demokrasi dalam bingkai nation state seperti di atas, maka tidak sepantasnyalah antara sesama muslim saling menyesatkan apalagi saling mengkafirkan. Sebab hal itu akan memperlemah kompetisi peran yang bisa dimainkan oleh kaum muslim dalam satu sistem pemerintahan demokratis, yang tentu saja harus menjauhi sikap dan tindakan diskriminasi.
Di era modern ternyata watak pemikiran dan gerakan yang mewarisi sekte khawarij muncul, baik di kalangan komunitas ahl sunnah maupun syi'ah, masing-masing dari faksi tekstualis. Jadi, semua gerakan yang saat ini berkembang dengan aneka sebutan mulai fundamentalis, ekstrimis, skriptualis sampai teroris dan lain-lain adalah saudara-saudara kita sesama muslim yang seharusnya kita mampu "melunakkan", agar mereka berkenan mangakui kelompok lain di luar dirinya (memoderatkan) sebagai saudara sesama muslim dan sesama umat manusia, sebagai realisasi tujuan Allah menciptakan kita yang beragam untuk saling mengenal. Kiranya perlu ada relasi dan interaksi interns dengan mereka tanpa dasar curiga. Karena sebetulnya kita bersaudara. Ini, selalu kita lakukan demi eksistensi kaum muslim dan keselamatan seluruh umat manusia. Kedepankan dialog kesantunan dan moralitas. Hindari arogansi, penyesatan dan pengkafiran dalam tatanan hidup yang tak mungkin menyendiri jauh dari berbagai aliran dan cara pandang hidup yang beragam. Hindari kata kafir dan sesat jika anda ingin hidup, tenang dan mendapatkan anugrah kedamaian hati. Kedamaian, apalagi kedamaian hati mustahil akan diraih melalui cara-cara dan tindakan kekerasan apalagi keberutalan.
* Pengasuh Ponpes An Nur Wonocolo Surabaya, Jawa Timur
http://www.wahidinstitute.org/Opini/Detail/?id=257/hl=id/Pengkafiran_Dan_Penyesatan_Sumber_Tindak_Kekerasan