Selamat

Selamat datang di Santri Gubrak
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis

Kamis, 16 Juni 2011

Pesantren KHZ Musthafa Sukamanah


Sejarah Pesantren - Pada masa Negara Republik Indonesia masih dalam cengkraman penjajah Belanda dan Jepang, KH. Zainal Mustahafa Rahimahulloh pada tahun 1927 M mendirikan Pondok Persantren di Kampung Cikembang dengan Nama Pondok Pesantren Sukamanah (nama kampung tersebut berubah sesuai dengan nama Pesantren yang beliau dirikan) di atas tanah wakaf dan hibah untuk rumah, mesjid dan bekal hidup dari seorang janda dermawan Almarhumah waAlmagfur laha Hj. Siti Juariah.
Dengan berbekal Ijazah Sekolah Rakyat dan ilmu-ilmu yang diraihnya dari beberapa Pesantren selama 17 tahun bersama kakak misannya KH. Zainal Muhsin Rohimahulloh (Pendiri Pesantren Sukahideng tahun  1922 M dengan tanah wakap dan hibah dari seorang janda dermawan yang sama), beliau memimpin Pesantren ini selama kurang lebih 17 tahun. Dengan tekun, tulus dan penuh semangat beliau mendidik dan mengajar para santrinya. Saat itu jumlah santri yang diasramakan dalam 6 asrama sekitar 600 orang dan yang tidak diasramakan jumlahnya lebih banyak.  Dalam tempo belasan tahun tersebut beliau berhasil mencetak para santrinya berilmu dan beramal, mandiri dan sanggup menyebarluaskan ilmu yang telah dimilikinya di berbagai tempat dan kampung halamannya. 
Ketenangan dan ketentraman Pesantren Sukamanah ini menjadi terganggu dengan tantangan dan kecongkakan Penjajah Jepang yang biadab dan menindas Bangsa Indonesia. Hal ini membangkitkan semangat Jihad dan keberanian KH. Zainal Musthafa beserta para Santrinya untuk melawan dengan segala kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya saat itu; hanya dengan pedang bambu dan bambu runcing yang ditajamkan dengan keyakinan dan ketergantungan penuh kepada Alloh Yang Maha Kuasa terjadilah pertempuran sengit pada tanggal 1 Rabi’ul Awal 1363 H /25 Pebruari 1944 M ba’da jumat.Gugur di medan tempur dari pihak Sukamanah sebagai Syuhada sebanyak 86 orang.     
Adapun KH. Zainal Musthafa beserta sebagian pengikutnya pada hari itu juga ditangkap dan tidak diketahui ke mana dan di mana mereka berada. Alhamdulillah berkat Rohmat Alloh dan KaruniaNya santri-santri Almarhum bernama Kolonel Drs. H. Syarif Hidayatulloh, KH. A. Wahab Muhsin, KH. Muh. Fuad Muhsin, KH. Muh. Syihabuddin Muhsin (Rohimahumulloh), H. Utang Affandy dan tokoh tokoh lainnya melakukan upaya pencarian dalam waktu yang lama, dan akhirnya diketahui berdasarkan dokumen Kantor Erevel Belanda di Ancol Jakarta beliau dan rekan-rekannya telah menjalani hukuman mati pada tanggal 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta. Kemudian pada tanggal 25 Agustus 1973 jenazah beliau dan 17 orang pengikutnya di pindahkan ke Taman Makam Pahlawan Sukamanah.    
Pesantren Sukamanah setelah pertempuran tersebut keaadaannya menjadi sepi dan lumpuh, membutuhkan seseorang untuk membangunkannya kembali. Alhamdulillah salah seorang santri Almarhum yaitu KH.A. Wahab Muhsin Pimpinan Pesantren Sukahideng, Penerus dari Ayahanda KH. Zainal Muhsin Rohimahulloh dengan semangat dan tulus berkeinginan menghidupkan kembali Pesantren Sukamanah. Adik kandungnya bernama KH Muh. Fuad Muhsin dinikahkan dengan salah seorang putri KH. Zainal Musthafa bernama Siti Sofiyyah.
Pada tahun 1950 KH. Muh. Fuad Muhsin dan K.U. Abdul Aziz (adik kandung KH. Zainal Musthafa) Rohimahumulloh dan tokoh-tokoh lainnya mulai membangun kembali Pesantren Sukamanah,  dengan pengajian bulanan masyarakat sekitar dan santri dari kalangan pemuda kampung Sukamanah dengan menggunakan bangunan Mesjid dan Asrama pusaka yang telah diperbaiki alakadarnya dengan gotong royong masyarakat Sukamanah. Hari bert  ambah hari mulailah berdatangan santri-santri dari luar daerah yang sekalipun tidak terlalu banyak jumlahnya namun bisa menampakkan gairah hidup kembali Pesantren ini.
Pada tahun 1956 Pimpinan Pesantren Sukahideng -Sukamanah dan tokoh-tokoh lainnya sepakat untuk   mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Sukahideng, kemudian SMP Al Islah di Sukahideng, dan pada tanggal 17 Agustus 1959 berdirilah Yayasan KH.Zainal Musthafa dengan Akte Notaris No.8 yang diperbaharui dengan Akte Notaris No.10 tahun 1999  Yayasan ini bertujuan untuk melanjutkan perjuangan Pahlawan Nasional KH. Zainal Musthafa dalam rangka memartabatkan Kalimat atau Agama Alloh  melalui Pendidikan dan Pengajaran.
Di samping kedua Pesantren Sukahideng-Sukamanah yang lebih awal berdiri dari pada Yayasan KH. Zainal Musthafa Sukamanah, Yayasan ini mulai mendirikan lembaga-lembaga formal di lingkungan kedua Pesantren tersebut, MI dan SMP yang sudah ada namanya dilengkapi menjadi Madrasah Ibtidaiyah KH. Zainal Musthafa Sukahideng dan SMP KH. Zainal Musthafa Sukamanah. Kemudian SMA KH. Zainal Musthafa Sukamanah dan terus berkembang dengan didirikannya Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun, PGA 6 tahun, dan selanjutnya menjadi PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) Sukamanah dan dikembangkan lagi menjadi MTsN Sukamanah dan MAN Sukamanah, sementara SMP dan SMA KH. Zainal Musthafa Sukamanah tetap berdiri sampai sekarang, begitu pula Madrasah Diniyah, TKA/TPA  dan lembaga pelayanan masyarakat meliputi Kopontren dan Poskestren.
Pesantren Sukamanah semakin bertambah jumlah santrinya dengan berdirinya sekolah-sekolah tersebut di lingkungannya. Hal ini menuntut pembenahan, penyempurnaan dan penyesuaian dalam sistim dan metode pendidikan dan pengajaran Pesantren dengan tetap memelihara kekhasannya, begitu pula asrama untuk tempat tinggal santri putra putri dan tempat pengajian.
Alhamdulillah berkat Karunia Alloh dan PertolonganNya, KH. Muh. Fuad Muhsin dengan penuh semangat mencurahkan segala perhatian dan kemampuannya untuk menghidupkan Ajaran Alloh melalui Pesantren ini.    Saat itu tenaga Pendidik yang membantu beliau masih sangat kurang, beliau mengajar siang dan malam di Pesantren mulai ba’da subuh di samping beliau juga salah seorang Guru di Sekolah (PGAN), sementara kebutuhan bangunan juga harus segera diperahatikannya. Alhamdulillah  secara bertahap dengan gotongroyong masyarakat Sukamanah dan para Santri, Asrama Putri dibangun dengan kontruksi sederhana karena biaya yang sangat terbatas. Asrama tersebut diberinya nama: Almuna dan Al Athif, kemudian Faoqol Haodl karena memang di atas kolam. Adapun Asrama putra dibangun sikitar tahun 1975 M  dengan ukuran 30 x 8 M dua lantai dan setelah itu Asrama Pusaka dibangun kembali dengan ukuran  15 x 8 , dua lantai untuk tiga lokal ruang pengajian. Selanjutnya Masjid Pusaka direnovasi pada tahun 1982 M dengan kontruksi semi permanen dan kakak kandungnya KH. A. Wahab Muhsin Rohimahulloh memberi nama dengan  Masjid Jami Baitul Mujahidin. Dan pada tahun 1984 M dibangun Asrama putri ukuran 23 x 10 M tiga lantai dengan kontruksi semi permanen dan diberi nama Almuna. Bangunan-Bangunan tersebut di atas dibangun dengan biaya sebagian besar dari Swadaya Masyarakat
Pesantren Sukamanah dengan kepemimpinannya mengalami kemajuan yang sangat berarti, terutama setelah putra putrinya beranjak dewasa dan siap membantunya, maka jumlah santripun semakin bertambah, bahkan siswa lulusan SLA pun ada yang berminat tetap tinggal untuk meneruskan pengajian dan kuliah. Sekalipun jumlahnya tidak banyak namun keberadaan mereka sangat berarti untuk Pesantren, karena di samping ngaji mereka juga diangkat sebagai Dewan Santri dan Staf  Pengajar bila dipandang sudah mampu.
Selanjutnya KH. Muh. Fuad Muhsin bercita-cita dan berupaya agar Pesantren ini tetap berdiri, dilanjutkan oleh putra putrinya. Pada usia yang dirasakannya sudah tua beliau bermaksud membingbing dan memberikan tanggung jawab penuh, maka pada bulan Januari 1998 M   kepemimpinan Pesantren ini diserahkan kepada putra sulungnya KH. Drs. A. Thohir Fuad.
A. Thohir Fuad dalam usianya yang masih muda bersama saudara-saudaranya, masyarakat Sukamanah dan Santri merencanakan pembangunan ruang pengajian yang sangat mendesak dibutuhkan oleh Pesantren, karena saat itu sebagian lokal pengajian terpaksa dilaksanakan di Gedung SMA KHZ. Musthafa. Alhamdulillah berkat Pertolongan Alloh Gedung Madrasah tempat pengajian dan Madrasah Diniyah mulai dibangun pada tahun 1999 M, dengan ukuran 21 x 8 M, tiga lantai, kontruksi beton untuk 8 lokal ruang belajar, 1 Ruang Perpustakaan, Kantor MD dan Ruang BP. Selesai pada tahun 2001 M. Sebagian besar dananya diterima dari Pengusaha Dermawan Mitra Usaha Al Amin Tjukang Tanjung dan Mantan Kabagset Kanwil Jabar Drs. H. Fadil, MSi. dan pada tahun itu pula dibangun Gedung Poskestren (Pos Kesehatan Pesantren) dengan ukuran  12 x 9 M sepenuhnya sumbangan dari Mantan Gubernur Jawa Barat H. M. Nuryana dalam lawatan Kerjanya memperingati Perjuangan Pahlawan Nasional KHZ. Musthafa Sukamanah pada 1 Mulud di Pesantren dan selesai pada bulan Nopember. Kemudian pada tahun 2002 M dibangun WC putri, ukuran 20 x 3 M.
Sebenarnya rencana Pembangunan yang diperhitungkan akan memakan biaya yang cukup besar adalah membangun kembali Asrama Santri Putra “ ALMANBA’ “ yang nampak sudah lapuk karena usianya yang sudah tua dan sudah tidak memadai, sejak tahun 1997 M sudah direncanakan dengan anggaran biaya ratusan juta rupiah. Alhamdulillah berkat Karunia Alloh dan PertolonganNya akhirnya dana yang diharapkan tersebut akhirnya datang tepat pada waktu yang telah ditetapkanNya pada tahun 2004 M, melalui sumbangan seorang Alumnus Pesantren dan keluarganya yang tidak mau disebutkan namanya dalam jumlah besar, di samping gotong royong masyarakat, sumbangan Alumni, orang tua santri dan simpatisan lainnya. Asrama tersebut dibangun dengan ukuran 48 x 10 M  2 lantai kontruksi beton yang meliputi 34 kamar (a 4 x 4 M), Kantor Rois, Kantor Dewan Santri dan dua lokal ruang belajar. Selesai dalam waktu kurang lebih tujuh bulan.
Alhamdulillah Alladzi Bini’matihi tatimmussolihaat. Selanjutnya perencanaan Pembangunan Mesjid Baitul Mujahidin yang sudah tidak memadai lagi untuk berjama’ah sholat, sholat jum’at dan tempat pengajian. Maka direncanakan dengan ukuran 23 x 14 dua lantai dan kontruksi beton.  
Dana awal untuk pembangunan tersebut diperoleh dari kas Pesantren dan sumbangan keluarga Pesantren, terkumpul kurang lebih delapan puluh lima juta rupiah, sebagian dipergunakan untuk besi beton. Sebelum melangkah ke tahap selanjutnya dilakukan musyawarah Panitia, Rt/Rw dan perwakilan masyarakat sukamanah dan sepakat untuk segera dilakukan pemugaran.
Bulan itu Dzul Hijjah 1427 H/Desember 2006 M dimulai penyetelan besi yang ada. Sementara Sesepuh Pesantren hampir setiap hari sambil duduk di kursi memperhatikan para pekerja besi di halaman Mesjid. Pada suatu hari pernah berkata : “ Cep ulah waka dirugrugkeun Masjidteh sina diparake heula Idul Adha ku masyarakat ! “ Qultu : Muhun manga Insya Alloh. Tanpa ada kecurigaan apapun dengan kata-katanya, namun ternyata dua hari kemudian beliau pulang ke Rohmatulloh ba’da asar hari sabtu tanggal 9 Dzul Hijjah 1427 H/30 Desember 2006 M.       
Dengan hanya bertawakkal kepada Alloh Ta’ala, pada hari sabtu tanggal 7 Januari 2007 satu minggu setelah wafatnya, Mesjid Pusaka Baitul Mujahidin dipugar dengan semangat gotongroyong masyarakat Sukamanah untuk dibangun kembali. Alhamdulillah sumbangan dana dari masyarakat, sebagian alumni, orang tua santri dan simpatisan diterima oleh Panitia. Begitu pula bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya sebesar tiga puluh lima juta rupiah dalam tiga tahap. Alhamdulillah dalam waktu delapan bulan, dua lantai mesjid ini sudah bisa dipergunakan kembali untuk kegiatan rutin Pesantren sekalipun masih dalam tahap penyelesaian. Dan saat ini 15 Nopember 2008 sedang dipasang kramik dinding bagian dalam Mesjid sesuai dengan dana yang ada.
Adapun Kegiatan Pendidikan dan Pengajian  berjalan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan sekalipun masih harus ada upaya-upaya pembenahan dan penyempurnaan.
Terima kasih kepada setiap hamba yang simpati, menaruh perhatian dan membantu Lembaga Pendidikan Pesantren ini, semoga amal kita semua dilandasi keikhlasan dan ketaqwaan serta diterima dan mendapat imbalan yang berlipat ganda di Sisi Alloh Ta’ala. Amiin, Walhamdu Lillahi Robbil ‘Alamiin.
Copyright: Pesantren Yayasan KH. Zainal Musthafa Sukamanah Tasikmalaya Jawa Barat Indonesia

KH Abdul Muhaimin: Merangkai Keberagaman


Oleh Irene Sarwindaningrum
Lewat berbagai kegiatan kemanusiaan yang digelutinya, KH Abdul Muhaimin memiliki misi lebih luas. Dia berupaya merajut kedamaian lintas agama dalam bingkai kebinekaan bangsa.
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat di Kotagede, Yogyakarta, itu berusaha mewujudkan misinya dengan beragam cara. Pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Merapi, November 2010, KH Abdul Muhaimin (57) mengunjungi 13 gereja di DI Yogyakarta yang menampung pengungsi beragama Islam.
Kunjungan itu dilakukan setiap hari menjelang maghrib, selama hampir satu bulan. Di gereja-gereja itu KH Muhaimin memberikan siraman rohani kepada para pengungsi dan memimpin acara pengajian.
Sosok KH Muhaimin telah dikenal dalam berbagai gerakan perdamaian antaragama di Yogyakarta. Pada 24 Maret 1997, bersama 70 pemuka agama lainnya, KH Muhaimin mendeklarasikan berdirinya Forum Persaudaraan Umat Beragama (FPUB). Deklarasi dilakukan di Pondok Pesantren Nurul Ummahat yang didirikannya karena saat itu tidak ada yang berani menjadi tempat deklarasi FPUB.
Pendeklarasian FPUB berkaitan dengan seringnya terjadi kerusuhan yang mengatasnamakan agama. Hingga saat ini dia masih aktif sebagai Koordinator FPUB yang terus mengampanyekan perdamaian dalam keberagaman.
Kunjungan ke gereja-gereja yang dia lakukan saat erupsi Merapi merupakan salah satu upaya meredam konflik agama. Kegiatan ini dimulai menyusul peristiwa pengusiran 200 pengungsi Merapi dari Gereja Katolik Ganjuran, Bantul, DI Yogyakarta, oleh sekelompok orang.
"Kelompok ini mengusung isu Kristenisasi dan melarang pengungsi bernaung di gereja. Padahal, saya sama sekali tidak melihat adanya upaya Kristenisasi saat itu. Ulah kelompok ini justru menambah kekhawatiran pengungsi yang tengah gundah dan membuat pihak gereja ketakutan," katanya.
Erat hubungan
KH Muhaimin menuturkan, Al Quran memberikan kisah-kisah dramatis mengenai eratnya hubungan Muslim-Kristiani pada zaman dulu. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak pernah ada masalah di antara agama-agama tersebut.
Menurut bapak delapan anak ini, meruncingnya konflik akibat perbedaan agama di Indonesia merupakan imbas dari politik internasional Amerika Serikat yang diskriminatif terhadap masyarakat Muslim. Kondisi ini juga dipicu oleh kebijakan yang menekan dari pemerintah Orde Baru.
"Masyarakat Indonesia sekarang ini sebenarnya korban dari semua keruwetan politik itu. Sebenarnya, bangsa Indonesia dari dulu adalah bangsa yang rukun dan bisa menghargai perbedaan," tuturnya.
Keprihatinan akan meningkatnya permasalahan karena perbedaan agama ini membuat KH Muhaimin mengambil tindakan-tindakan yang sering mendapat kecaman dari rekan-rekannya sendiri.
Kecaman ini datang salah satunya karena dia sering menerima undangan untuk memberikan sambutan dalam peringatan Natal. Jumat pekan pertama tahun 2011, KH Muhaimin kembali diundang memberikan sambutan dalam peringatan Natal di sebuah institusi pemerintah.
Dari tempat memberikan sambutan pada perayaan Natal itu, KH Muhaimin langsung berangkat ke masjid untuk shalat Jumat. "Kegiatan saya di gereja atau memberikan sambutan pada peringatan Natal tak mengurangi keislaman saya. Toh, saya tidak pernah mengikuti ritus agama lain," tuturnya.
Persahabatan
Namun, selain kecaman, keteguhan dan keterbukaannya dalam mengupayakan perdamaian lintas agama ini mendatangkan persahabatan dari beragam kalangan dan agama di seluruh dunia.
Sejak 1990-an, KH Muhaimin membuka pintu pondok pesantren asuhannya bagi semua pemeluk agama yang ingin mengetahui kehidupan masyarakat Islam di Indonesia. Dalam buku tamu pondok pesantren yang berada di tengah perkampungan itu tercatat banyak pemeluk agama lain, seperti pemuka agama Buddha, Katolik, Kristen, dan Hindu, dari dalam dan luar negeri.
Chika Yoshida, mahasiswi Buddha asal Universitas Chiba, Jepang, pernah tinggal di Pondok Pesantren Nurul Ummahat selama 1,5 bulan. "Satu-satunya komunitas Muslim yang tak bisa ditembus globalisasi adalah komunitas pesantren," tulis Yoshida di buku tamu.
Pondok pesantren khusus putri itu telah dikunjungi tamu dari 70 negara, termasuk komunitas agama dari Palestina, utusan Presiden AS Barack Obama, dan para biksu Buddha. Mereka meninggalkan kesan positif.
KH Muhaimin mengatakan, membuka pintu pondok pesantren adalah upaya memberikan jalan bagi masyarakat yang berbeda agama untuk belajar satu sama lain dan untuk saling menerima.
Kesadaran akan keberagaman itu tumbuh dari masa kanak-kanak Muhaimin. Terlahir dalam keluarga Nahdlatul Ulama di tengah masyarakat Muhammadiyah, Muhaimin telah mengenal perbedaan sejak kecil. "Saya selalu puasa dan merayakan Idul Fitri berbeda dengan para tetangga saya. Namun, bagi saya, perbedaan itu justru indah karena tetangga pun menghormati kami," tuturnya.
Erupsi Merapi meninggalkan beragam pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Dia kini tengah sibuk membantu pembangunan kembali saluran-saluran air dan penghijauan kembali hutan lereng Merapi yang rusak akibat lahar dan awan panas.
Misi untuk merajut perdamaian dalam keberagaman itu masih terus diusungnya. Untuk pemasangan pipa air, misalnya, dia bekerja sama dengan biarawati Katolik di kawasan tersebut. Dia juga berkoordinasi dengan Yoseph Suyatno Hadiatmojo Pr, pastor di Gereja Somohitan, Girikerto, Turi, Sleman, Koordinator Kampanye Damai FPUB yang juga tengah memasang pipa saluran air di bagian barat Sungai Boyong.
Untuk penghijauan, KH Muhaimin merancang penanaman pohon oleh anak-anak dari berbagai agama. Di tangannya, kemanusiaan pun menjadi alat untuk menggapai kemanusiaan yang lebih luas.
*** KH Abdul Muhaimin
  • Lahir: Kotagede, Yogyakarta, 13 Maret 1953
  • Penghargaan: - Tasrif Award - Penghargaan dari Sultan Hamengku Buwono X sebagai Kiai Pemerhati Kebudayaan
  • Pekerjaan: - Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogyakarta.
  • Jabatan: - Koordinator FPUB - Ketua Konsorsium Toya Mili - Ketua Konsorsium Palem - Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace - Dewan Pembina Impulse - Beberapa jabatan di organisasi nirlaba lainnya.
Sumber : Kompas Cetak | Kamis, 13 Januari 2011
 

Sabtu, 11 Juni 2011

Rasa Yang Perlu Digugah Kembali: Cinta Tanah Air



Tidak lengkap rasanya ketika m embahas habis tentang cinta, namun sampai melewatkan topik menarik yang satu ini, cinta tanah air. Rasa cinta yang banyak dilupakan oleh para remaja. Padahal, dikatakan dalam bahasa arab:
إذا أردت أن تعرف الرجل فانظر كيف تحنّنه إلى أوطانه
Artinya: ‘Apabila engkau ingin mengenal pribadi seseorang, maka perhatikan bagaimana kecintaan dan kepeduliannya kepada tanah air tumpah darahnya.
Realita Cinta Remaja pada Tanah Air

Bagi para remaja, sudah seharusnya menanamkan sejak dini rasa cinta yang besar juga untuk tanah airnya. Tidak hanya mencintai Allah dan rasulNya, orang tua, keluarga, tapi tanah air, merupakan termasuk hal terpenting untuk dicintai dan dipedulikan. Karena remaja saat ini, adalah pemimpin dan harapan bangsa di masa yang akan datang. Rasa cinta dan kepedulian yang tinggi pada diri remaja akan sangat menentukan bagaimana perkembangan dan kemajuan suatu bangsa.


Namun, agak miris memang jika melihat bagaimana sikap kebanyakan para remaja di tanah air tercinta. Pengguna dan penyebar narkona yang semakin meningkat, pergaulan sex yang semakin bebas, kasus kriminal yang tidak sedikit dilakukan oleh para remaja sendiri. Tapi selain itu, kita bisa juga melihat kemajuan para remaja saat ini yang sudah banyak diakui di dunia nasional, juga bahkan internasional. Para remaja yang dengan gigihnya mengharumkan nama bangsa di medan lomba-lomba pengetahuan dan olahraga, selain itu banyak juga remaja yang aktif menyumbangkan ide-ide gagasannya untuk memajukan bangsa. Itu semua cukup menjadi bukti cinta dan kepedulian mereka terhadap tanah air.

Sikap-sikap pemuda yang menunjukkan minimnya rasa cinta mereka terhadap tanah air sangat bisa dilihat jelas. Seperti dalam hal pemakaian bahasa. Sepertinya, sudah sangat jarang pemuda yang mengetahui cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Sudah semakin menyebar istilah bahasa gaul di kalangan pemuda. Sayangnya, penggunaan bahasa gaul itu juga berlaku ketika mereka berbicara dengan orang tua atau guru, yang semestinya menggunakan bahasa yang baik dan benar.

Juga hilangnya kecintaan para pemuda kepada produk dalam negeri. Mereka lebih merasa senang menggunakan barang-barang merk luar negeri daripada buatan negeri sendiri. Rasa gengsi mendorong mereka untuk meninggalkan produk dalam negeri dan berlomba-lomba memamerkan barang merk luar negeri.

Dan yang paling menyedihkan adalah ketika para pemuda dengan seenaknya melupakan sejarah yang telah dilalui oleh bangsa Indonesia. Tentang perjuangan-perjuangan pemuda dan tokoh-tokoh masa lalu demi merebut kemerdekaan bangsa. Padahal, hanya dari sejarah lah kita bisa sadar betapa berharganya bangsa kita. Makanya, tidak heran kalau sekarang banyak remaja yang tidak bangga lagi menjadi pemuda Indonesia, karena mereka melupakan sejarah, satu-satunya jalan untuk mengenal dan mengetahui lebih dalam betapa berharganya bangsa Indonesia tercinta ini.


Bangga menjadi bangsa Indonesia

Ketika disodorkan pertanyaan untuk diri kita masing-masing,

"Istimewakah Indonesia di mata kita?”

Akankah yang keluar dari mulut kita, “Oh, tentu!! Sangat istimewa!” atau malah yang ada gelengan kekecewaan melihat kenyataan tanah air kita yang makin hari kian buruk citranya di mata dunia?

Namun, bagi mereka yang benar-benar memiliki rasa cinta pada tanah air, Indonesia tetaplah menjadi yang paling istimewa dibanding negara-negara lain. Karena di sanalah mereka lahir dan dibesarkan. Di sanalah tanah yang menjadi saksi ribuan tokoh-tokoh dengan semangat juang tinggi. Di sanalah tumpah darah mereka. Di sanalah ibu pertiwi mereka.

Dan kejelekan-kejelekan tentang Indonesia hanyalah menjadi suatu yang wajar, tak ada ciptaan Allah yang sempurna. Karena cinta tanah air itu tidak hanya mengunggulkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki, tapi juga bagaimana kita menerima kekurangan dan terus berpikir untuk menutupi dan meminimalisir kekurangan-kekurangan tersebut.

Kekayaan suku dan budaya Indonesia merupakan salah satu kelebihan yang begitu tampak dan paling menonjolkan Indonesia di antara negara-negara lainnya. Kelebihan ini juga menumbuhkan sifat apik pada diri sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu keramah-tamahan mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat keramahan yang tinggi. Terbentuk dari banyaknya perbedaan budaya, bahasa, dan adat yang dimilki oleh tiap-tiap suku, masyarakat Indonesia berhasil menunjukkan kepada dunia bagaimana indahnya membangun persatuan dari sebuah perbedaan. Dan jangan sampai ciri khas ini hilang dari diri tiap masyarakat Indonesia.

Tapi, jangan pernah mengaku Indonesia, kalau tidak tahu sejarah Indonesia! Jangan pernah mengaku orang Indonesia kalau tidak mengerti akan budaya Indonesia! Dan jangan bangga dengan Indonesia kalau hanya sekedar untuk berbangga-banggaan! Karena Indonesia, terlalu istimewa untuk sekedar hinggap di hati. Tanah pertiwi yang tak bisa tergantikan oleh tanah di belahan bumi manapun. Karena di sanalah kita lahir dan tumbuh, bersama orang-orang tercinta kita.


Cinta tanah air dalam pandangan Islam

Tokoh-tokoh islam tidak kalah heboh ikut memperbincangkan tentang jiwa cinta tanah air ini. lalu bagaimana mereka memandang kecintaan akan tanah air dengan diselaraskan oleh ayat-ayat alQur’an dan Sunnah Nabi?

Secara umum, ada dua pendapat mengenai rasa cinta akan tanah air. Pendapat pertama, mengatakan bahwa rasa cinta tanah air dan perwujudannya tidak ada kaitannya sama sekali dengan islam. Namun, jika kita melihat bagaimana Nabi menyinggung sendiri tentang ‘hubbul wathan’, jelas sudah bahwa pendapat kedua, yang mengatakan bahwa islam dan kecintaan pada tanah air adalah sangat erat hubungannya.

Jauh sebelum kita mengenal istilah-istilah seputar jiwa cinta tanah air seperti patriotisme, nasionalisme, idealisme, dll, islam sudah lebih dahulu mengajarkan kepada umatnya untuk mencintai tanah air. Seperti yang dikisahkan dalam suatu hadits bahwa Nabi Muhammad saw apabila beliau pulang dari bepergian, ketika beliau mendekati kota Madinah dan melihat jalan yang menanjak yang menunjukkan bahwa kota Madinah semakin dekat, maka beliau mempergegas langkahnya. Dalam penjelasan hadits ini, Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini jelas menunjukkan tentang keutamaan kota Madinah dan sebagai pensyariatan cinta dan rasa peduli terhadap tanah air.

Selain itu, alQuran juga ikut membicarakan tentang cinta terhadap tanah air, sebagai bukti bahwa Allah sangat menganjurkan hambanya untuk cinta terhadap bangsanya. Seperti kisah Nabi Ibrahim as dalam surat Al Baqarah ayat 126, Allah berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Artinya: “Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim as berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizqi dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka, kepada Allah dan hari kemudian.”

Dalam ayat ini jelas menunjukkan bagaimana wujud cinta Nabi Ibrahim kepada tanah airnya dengan mendoakannya dalam tiga hal: menjadi negeri yang aman sentosa, penduduknya dilimpahi rizqi, dan penduduknya beriman kepada Allah dan hari akhir. Tidaklah Nabi Ibrahim as mendoakan seperti itu kecuali di hatinya telah tumbuh kecintaan terhadap negerinya.

Selain itu, bisa kita lihat dari kisah pemindahan qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Suatu hari ketika Nabi Muhammad saw shalat menghadap Baitul Maqdis, ada perasaan rindu dalam diri beliau terhadap tanah kelahirannya, yaitu Makkah. Dan karena rindu yang mendalam itu, wajah beliau menengadah ke langit dan memohon agar Allah memindahkan qiblat ke arah Makkah atau Ka’bah. Akhirnya, berkat kerinduan dan rasa cinta beliau terhadap tanah kelahirannya, Allah memindahkan qiblat ke Ka’bah yang berada di Makkah, tanah kelahiran Nabi Muhammad saw.

Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 144:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: “Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering mengadah ke langit, maka akan kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil Haram."

Dan masih banyak lagi kisah-kisah Nabi Muhammad saw dan juga nabi-nabi sebelumnya yang menunjukkan rasa dan wujud cinta beliau terhadap tanah airnya. Belum lagi, sabda Nabi Muhammad saw yang akrab di telinga kita bahwa cinta tanah air termasuk dari salah satu cabang iman. Nabi bersabda:
حب الوطن من الإيمان
Memang hadits ini dipertentangkan hukumnya oleh para ulama, bahkan ada yang menganggapnya hadits maudlu’ (palsu), tapi menurut Imam Sakhawi dalam kitab Maqasid al-Hasanah: makna atau substansi kandungan hadits ini benar dan dapat diterima. Bahkan menurut Imam Ali alQari, maknanya ajaib, lantaran menghubungkan keimanan dengan rasa cinta tanah air.

Maka, jelaslah bahwa Islam memiliki hubungan erat akan jiwa cinta tanah air. Islam benar-benar sangat menganjurkan ummatnya untuk mencintai dan peduli akan tanah airnya.


Wujud Cinta Generasi Muda terhadap Tanah Air


Setelah mengetahui bahwa Islam begitu menganjurkan umatnya untuk mencintai tanah airnya, maka sudah seyogyanyalah para pemuda bangsa tahu betul bagaimana wujud atau aplikasi cinta terhadap tanah air. Sangat banyak tentunya wujud-wujud nyata cinta terhadap tanah air, hanya saja wujud itu belum banyak ditemukan pada diri masyarakat Indonesia.

Di Indonesia, perlu disadari bahwa terdapat berbagai suku dan adat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dan salah satu bukti cinta tanah air yang paling nyata adalah dengan menghargai dan menghormati perbedaan tersebut. jangan sampai dengan perbedaan yang ada malah menciptakan jarak antara sesama dan menjadi penghalang untuk bersatu, namun perlu disadari bahwa justru dengan perbedaan itu kita bisa belajar untuk saling mengerti dan menghormati satu sama lain.

Bukti cinta tanah air yang lainnya, yang sayangnya sudah sangat jarang ditemukan dalam diri petinggi-petinggi bangsa sendiri, adalah kejujuran. Kejujuran yang juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw merupakan suatu sifat yang sudah sangat langka adanya. Jujur merupakan kata yang mudah diucapkan dan mudah ditulis, tapi sangat susah untuk dipraktekkan. Lihat saja bagaimana pejabat-pejabat negara dengan enaknya memakan uang rakyat, menggunakannya semaunya sendiri. Hal itu terjadi karena sudah tidak ada lagi rasa jujur dalam diri mereka. setiap pekerjaan yang mereka lakukan sudah tidak dilandasi dengan rasa jujur pada diri sendiri. Maka dari itu, untuk menunjukkan cinta kepada bangsa, hendaknya kita tanam mulai dini, rasa jujur dalam diri kita. Supaya kelak, Indonesia bisa kembali mendapatkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bisa mengembalikan Indonesia pada masa kejayaannya dan keluar dari masa jajahannya.

Untuk para pemuda Indonesia, perwujudan cinta tanah air bisa ditunjukkan dengan menjaga diri sebaik mungkin dari pergaulan bebas. Free sex, narkoba, hingar bingar kehidupan malam, hal-hal yang tidak ada pentingnya sama sekali bagi kehidupan masa depan, hendaknya dijauhi oleh para pemuda bangsa. Karena dengan mengikuti arus pergaulan bebas itu, hanya akan merusak moral anak bangsa yang akan berakibat fatal nantinya bagi bangsa. Karena Indonesia kelak akan kehilangan pemimpin-pemimpin berkualitasnya.

Wujud lain cinta kita adalah dengan menunjukkan kepedulian kita terhadap tanah air. Bentuk kepedulian tidak harus dalam hal-hal besar, namun setidaknya mulai dari diri sendiri dan mulai dari hal-hal kecil. Seperti peduli kepada kebersihan lingkungan. Kalau kita ikut menjaga kebersihan, dengan tidak membuang sampah sembarangan misalnya, nama negara kita akan terkenal di mata negara-negara lain sebagai negara yang bersih dan indah. Sayang bukan, kalau keindahan tanah air kita, yang begitu melimpah dengan kekayaan flora dan faunanya, harus tercemari begitu saja dengan sampah-sampah yang berkeliaran di jalanan. Jadi, kalau kita mengaku cinta Indonesia, tunjukkan kepedulian kita terhadap bangsa dan lingkungan.

Kepedulian bisa juga ditunjukkan dengan peduli terhadap kebodohan dan kemiskinan yang kini makin ganas menyerang masyarakt Indonesia. Khususnya para pemuda, dengan modal cinta bangsa, hendaknya lebih giat lagi dalam belajar dan ikut aktif dalam peningkatan kualitas anak-anak yang tidak bersekolah. Bisa dengan menyalurkan jasa kita dengan mengajar anak-anak jalanan. Atau mengirim bantuan untuk orang-orang miskin. Dengan begitu, sedikit kita membantu mengeluarkan bangsa Indonesia tercinta dari kemiskinan dan kebodohan.


Penutup

Perasaan cinta tanah air sungguhlah indah jika benar-benar ditanam dalam hati dan diwujudkan secara sungguh-sungguh sejak dini. Memajukan bangsa, tujuan mulia untuk mengembalikan kembali citra baik Indonesia di mata dunia. Jangan hanya membiarkan Indonesia terkenal dengan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, tapi tunjukkan keindahan dan keapikan, serta keramahan Indonesia pada dunia.

Dan hanya cinta kepada tanah airlah, yang mampu membawa Indonesia terus maju dan maju, mengejar ketertinggalan dari negara-negara lainnya. Umar bin Khotob, sahabat nabi yang juga merupakan salah satu khulafa ar-rasyidin mengungkapkan, “Kalau bukan karena ada geliat rasa cinta tanah air yang masih tersisa pada diri anak-anak bangsa, pastilah sebuah negeri yang rusak akan semakin rusak dan tumbang.”

Jadi, sangat pentinglah rasa cinta tanah air untuk terus membangun Indonesia, yang terwujud dari simbol merah dan putih, merah darahku, putih tulangku! Jaya terus Indonesia! Kami bersamamu dengan segenap cinta kami kepadamu!

Himpunan Alumni & Mahasiswa Al-Ahgaff Yaman
http://www.himmahfm.com/index.php?option=com_content&view=article&id=110%3Arasa-yang-perlu-digugah-kembali-cinta-tanah-air&catid=40%3Akeputerian&Itemid=68&lang=id

Jumat, 03 Juni 2011

Desa Lirboyo Dan Pondok Lirboyo





Image
 
Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo.  Berdiripada tahun 1910 M.. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul  Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.

Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan

menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan  alahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim)  di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.

Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana.

Santri Perdana dan Pondok Lama
Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman,  di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.

Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana  ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.

Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap  sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.

Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M.  Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.

Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.

Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap.  Bahkan sampai kini bila berjama'ah sholat Jum'at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.

PERAN PODOK PESANTREN LIRBOYO DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN DAN MEMPERTAHANKANNYA
Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH.
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.

Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan  rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.

Pelucutan Senjata Kompitai Dai Nippon
Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia  itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .

Tepat pada jam 22.00 berangkatlah santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd. Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai, santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun  menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata

dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang  lebar. Dalam penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden dan bentrokan fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang. Walaupun kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah berhak mengatur negaranya sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar yang turut campur. Akan tetapi tidak bagi Indonesia pada waktu itu. Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya kemerdekaan, tiba-tiba ada

sekutu yang di”bonceng” Belanda yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal 16 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk untuk menjajah kembali. Kemudian disusul tanggal 29 September 1945dengan pasukan dan peralatan perang yang lebih komplit. Karuan saja, kedatangan mereka disambut dengan pekik “merdeka atau mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia. Termasuk para ulama yang waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan Nahdlatul Ulama (dulu HB NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil para ulama NU yang ada di Jawa dan Madura  untuk mengadakan pertemuan di kantor PB NU jalan Bubutan Surabaya.

Tujuan pertemuan itu adalah membahas ulah Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut hadir dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil. Perang melawan Belanda dan kaki tangannya hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk pesantren Lirboyo.

Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya. Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28 Oktober mereka mulai mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas mobil, mencegat pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai Indonesia. Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang berkibar diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30 Oktober 1945, hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris yang masih berusia 45 tahun.

Dalam situasi demikian itu, Mayor Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa Surabaya geger. Seketika KH Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini disampaikan lewat Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya.

Dengan mengendarai truk , para santri dibawah komando KH. Mahrus Ali berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihat menghadapi musuh.  Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri.   
 
  http://www.pondokpesantren.net/

Wanita Muslim Pertama yang Jadi Walikota di Inggris


 Inilah Program Utama Naveeda Ikram, Wanita Muslim Pertama yang Jadi Walikota di Inggris
Naveeda Ikram

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Muslim Inggris mencatat sejarah baru. Bulan ini, untuk pertama kalinya seorang Muslimah terpilih sebagai walikota. Anggota Dewan Naveeda Ikram, diangkat menggantikan walikota Bradford sebelumnya, Peter Hill.

"Ini adalah kehormatan besar untuk dipilih sebagai Walikota Bradford," katanya. "Saya ingin melihat partisipasi lebih banyak dan kepercayaan lebih baik dari semua komunitas dalam proses demokrasi."

Dia akan mengajak warga masyarakat untuk aktif dalam pembangunan, kohesi masyarakat, acara budaya dan integrasi.
Ibu dari tiga pindah ke Little Horton pada tahun 1991 dan telah menjadi wakil rakyat sejak tahun 2004. Sarjana psikologi dan sosiologi ini menjadikan dirinya sebagai "contoh hidup" bagi Muslimah muda negeri itu. Dia menunjukkannya dengan menjadi wanita asal Pakistan pertama yang bergabung Bradford Council dan wanita Muslim pertama Inggris yang menjadi walikota.

Ia telah menjabat berbagai posisi sebelum dia terpilih, termasuk menjabat sebagai Wakil Wali Kota dari Bradford pada 2009-2010 dan menjadi pengurus organisasi Buruh 2005-2008. Pada tahun 2007 dia adalah salah satu dari hanya dua anggota dewan Bradford dipilih untuk program kepemimpinan generasi muda yang dirancang untuk mengidentifikasi pemimpin masa depan.

Dia juga aktif di Bradford Unites in Disaster, sebuah organisasi payung untuk  penggalangan danaBradford untuk metigasi bencana. Selain itu dia adalah kepala sekolah di Newby Primary and Bankfoot Primary School.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/11/05/27/lluwl5-inilah-program-utama-naveeda-ikram-wanita-muslim-pertama-yang-jadi-walikota-di-inggris

Begini Gaya Khotbah Imam 'Nge-Pop' yang Sasar Anak Muda Muslim AS

Begini Gaya Khotbah Imam 'Nge-Pop' yang Sasar Anak Muda  Muslim AS
William Suhaib Webb

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES - Jangan bayangkan dia mengenakan gamis, memelihara cambang panjang, dan berkopiah. Alih-alih berpidato dengan suara lantang mengkritik mereka yang tak berperilaku Islami, imam tinggi berambut pirang ini memulai khotbahnya dengan menceritakan kemenangan klub basket Los Angeles Lakers malam sebelumnya, disambung keterlibatan gengnya saat remaja, sebuah opera sabun TV, baru diakhiri dengan cerita tentang Hari Kiamat.

Suhaib Webb, nama imam itu, juga tak canggung menggunakan bahasa gaul anak muda Amerika. Saat ia
memergoki seorang jamaahnya mengantuk di belakang, secara berkelakar dia berbisik di mikrofon, "Tenang...tidak ada lembur malam ini, Bro."

Beginilah khotbah khas gaya Webb, ulama muda karismatik kelahiran Oklahoma yang masuk Islam beberapa tahun lalu. Jamaahnya berkembang di kalangan Muslim Amerika, terutama kaum muda. Ceramahnya bertabur referensi budaya pop, sebanyak dia menyitir ayat Alquran atau Hadis.

Untuk gayanya ini, ia punya alasan. "Jamaah saya umumnya adalah mualaf atau generasi muda yang lahir dan besar di AS. Apakah kita akan mencapai mereka dengan pesan Arab atau dengan pesan Pakistan? Bukankah akan lebih mudah menjangkau mereka dengan pesan gaya Amerika bukan?" katanya balik bertanya.

Webb, 38 tahun, berasal dari Santa Clara, California. Dia adalah seorang sarjana dan pendidik. Aktif di LSM nirlaba American Muslim Society, ia kini juga menjangkau jamaah yang lebih luas melalui dakwah online di situs pribadinya, Masjid Virtual.

Webb disebut Los Angeles Times sebagai salah satu tokoh muda yang berada di garis depan gerakan untuk menciptakan 'Islam gaya Amerika'; sejalan dengan Alquran dan sunah tapi juga  mencerminkan adat dan budaya Amerika.


Dikenal dengan gaya santai, ia telah membantu mempromosikan ide bahwa Islam terbuka untuk sebuah interpretasi Amerika modern. Kadang-kadang, pendekatannya dianggap kalangan garis keras sebagai 'tampaknya hampir asusila'.

Dalam konferensi Muslim di Long Beach, California, tahun lalu, ia menyarankan bahwa masjid juga merangkul kalangan gay. Setelah itu, ia didatangi oleh seorang imam lokal yang menuduh dia "racun". "Saya katakan kepadanya, 'Terus terang, Anda akan menjadi tidak relevan dalam 10 tahun,'" kata Webb.

Dia fasih dalam bahasa Arab, Quran, dan belajar selama enam tahun di salah satu lembaga terkemuka di dunia Islam, Al-Azhar University di Mesir. Di sanalah ia menyadari, tak semua gaya pendekatan ala Timur Tengah cocok diterapkan di masyarakatnya. "Contohnya saja, berkhotbah dengan lebih banyak menggunakan bahasa Arab,  tidak mampu berkomunikasi dengan jemaat non-Arab, dan tidak terhubung dengan mudah dengan anak muda," katanya.
Muslim AS, katanya, berharap para pemimpin agama mereka  memainkan peran yang lebih luas, lebih
pastoral, kata Hossam Aljabri, direktur eksekutif Masyarakat Muslim Amerika, sebuah kelompok keagamaan dan pendidikan nasional. "Masyarakat menginginkan imam yang bisa datang dan pergi di luar memimpin doa dan membaca Quran. Mereka ingin para imam mengisi peranan sosial konseling dan berurusan dengan tetangga."

Webb mengamini. Prinsip dasar iman tidak akan berubah, katanya, tapi banyak hukum yang  dapat ditafsirkan secara berbeda dalam berbagai komunitas. Tidak seperti beberapa imam, ia tidak keberatan dengan musik dan berkeyakinan Muslim juga boleh merayakan hari libur nasional seperti Hari Ibu dan Thanksgiving.

Namun, mengingat keragaman etnis Muslim AS, menemukan sebuah konsensus untuk Islam Amerika tunggal sangat sulit. Beberapa mendukung reformasi, lainnya menentang perubahan.

Lepas dari itu semua, Webb diterima banyak kalangan, baik dalam Islam maupun di luar Islam. "Dia imam yang paling gampang didekati di AS," kata Nour Mattar, pendiri stasiun radio Muslim pertama di AS. "Dan dia
tidak membosankan untuk didengarkan (ceramahnya, red)."

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/11/05/31/lm2gfh-begini-gaya-khotbah-imam-ngepop-yang-sasar-anak-muda-muslim-as

SYEIK SULAIMAN AR-RASULI AL-MINANGKABAWI



Selalu Konsisten dengan Madzhab Syafi'i
Perkembangan agama Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kiprah para tokoh agama dan ulama besar yang giat menyebarkan ajarannya di berbagai wilayah. Sejauh ini, Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang melahirkan banyak ulama terkemuka. Di antara ulama terkemuka tersebut adalah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi, lahir di Candung, sekitar 10 km. sebelah timur Bukittinggi, Sumatra Barat, 1287 H./1871 M., wafat pada 29 Jumadil Awal 1390 H./1 Agustus 1970 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tua yang gigih mempertahankan madzhab Syafi’i. Tak jarang pula, Beliau dipanggil dengan sebutan "Inyik Candung". Ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di kampung halamannya.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman, sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, Sulaiman ar-Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.

Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M - 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minangkabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minangkabawi dll.

Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M) dll.

Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minangkabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu daripada ulama Kelantan dan Pattani. Guru-gurunya ketika di Mekah antara adalah, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, dan beberapa ulama Melayu yang bermukim di sana.

Perjuangan

Sekembalinya dari Mekah, Syeikh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah kelahirannya di Bukit Tinggi, Sumatera. Beliau berusaha untuk mempertahankan pengajaran menurut sistem pondok. Namun pada akhirnya, pengajian sistem pondok secara halaqah dengan bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mulai dikombinasikan menjadi sistem persekolahan, duduk di bangku pada 1928, namun kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah. Bahkan sistem halaqoh ala pondok pesantren juga tetap dilaksanakan hingga saat ini.

Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu di pesantren. Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari Malaysia.

Materi utama pendidikan di pesantren tersebut adalah pengajaran paham Ahlussunnah Waljamaah dan madzhab Syafi’i. Syeikh Sulaiman sangat konsisten menjalankan paham dan madzhab ini.

Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Baik dalam sistem pendidikan maupun perjuangannya, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, yakni Madzhab Syafi’i.

Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syeikh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian. Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘ (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafi’i.

Sedangkan para ulama Malaysia yang seangkatan dengan Sulaiman ar-Rasuli dan sama-sama belajar di Mekah adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921 M) dan Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M).

Dalam penentuan awal dan akhir puasa (Ramadhan), Syeikh Sulaiman ar-Rasuli lebih menyetujui metode rukyah (melihat langsung bulan sabit). Ini merupakan sebentuk penegasan beliau untuk mempertahankan corak keislaman yang berakar pada tradisi Nusantara. Dalam banyak hal Syeikh Sulaiman ar-Rasuli beserta seluruh ulama Tarbiyah Islamiyah mempertahankan ciri-ciri dan cita-cita keislaman tradisional menurut manhaj Ahlussunnah Waljamaah bersama-sama dengan para ulama Nahdhatul Ulama (NU) dan semua ulama di seluruh dunia Islam yang masih tetap berpegang teguh kepada Mazhab Syafi’i.

Menurut Hamka, Syeikh Sulaiman ar-rasuli merupakan seorang ulama yang sangat gigih memperjuangkan kehidupan Umat Islam. Mendidik bangsanya menjadi lebih maju dan berusaha melepaskan diri dari penjajahan. Hamka melansir dalam bukunya yang berjudul Ayahku Menulis, "Cuma Beliau (maksudnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) berselisih dalam satu perkara (dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli). Bahwa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara Syeikhnya (mungkin maksudnya Syeikh Saad Mungka, musuh polemik Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau, ed.), sedangkan pihak Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Jambek tidak suka kepada tarekat itu.”

Karya-karya

Sebagai seorang ulama, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli telah melahirkan beberapa karya, karya-karya ini banyak di pelajari oleh para pelajar Muslim, di Munangkabau, Sumatera dan beberapa kawasan Nusantara lainnya.karya-karya tersebut antara lain adalah :

1. Dhiyaus Siraj fil Isra‘ Walmi‘raj
2. Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan.
3. Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya‘qub
4. Risalah al-Aqwal al-Washitah fi Dzikri Warrabithah
5. Al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran
6. Al-Jawahirul Kalamiyyah.
7. Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah
8. Perdamaian Adat dan Syara‘.
9. Kisah Muhammad ’Arif

Dalam hal ini, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah ulama besar yang jarang tandingannya, kukuh dan kuat mempertahankan agama berorientasikan Sunni Syafi`i. Syeikh Sulaiman pulalah yang hingga kini dipercayai oleh masyarakat Minang sebagai penggagas landasan kemasyarakatan islami di Sumatera Barat dalam adagium ”adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan kitabullah”.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli juga merupakan ulama yang gigih mempertahankan tatanan kemasyarakatan Minangkabau untuk tetap mempertahankan tradisi kesalehan Nusantara. Setidak-tidaknya hal ini terlihat dari bagaimana Beliau memperjuangkan prinsip ”Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena musyawarah” serta ”Tungku tigo sajarangan” yang telah diyakini masyarakat Minang sebagai cara kebijakan paling berrurat akar dalam tradisi Nusantara serta sama seklai tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam.

Pengaruh

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, sempat dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang mengunjunginya. Demikian juga pemimpin-pemimpin bangsa setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa, sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.

Tokoh ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan Mazhab Syafie. Syeikh Sulaiman menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha membangun bangsa dan agama. Syeikh Sulaiman berjasa besar dalam mengembangkan paham Sunni Syafi‘i dan tarekat Naqsybandiyah.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli merupakan salah satu ulama besar asal Sumatera Barat yang gigih dalam membela Islam. Ia wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan tanggal 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.

Pada hari pengkebumian beliau, diperkirakan tiga puluh ribu umat Islam dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad Beliau, termasuk para pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia. Bendera Republik Indonesia dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut oleh Pemerintah dan rakyat Sumatera Barat, untuk menyatakan rasa turut berbelasungkawa dengan kepulangan al-’Alim al-’Allamah al-Fadhil Maulana Syaikh Sulaiman ar-Rasuli bin Angku Muhammad Rasul al-Minkabawi, kembali ke haribaan Allah SWT. Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan keredhaan kepadanya.


http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/13/12809/Tokoh/Selalu_Konsisten_dengan_Madzhab_Syafi_i.html

SYEIKH YUSUF AL-MAKASSARI



Pejuang yang Berdakwah Tanpa Henti
Muhammad Yusuf lahir di Gowa Sulawesi Selatan pada 13 Juli 1627. Ayahnya bernama Abdullah, sementara ibunya adalah seorang wanita keluarga Kerajaan Gowa Sultan Ala’uddin yang bernama Aminah. Nama Muhammad Yusuf diberikan oleh Sultan Ala’uddin sendiri.

Kesultanan Gowa adalah salah satu kerajaan Islam yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Kerajaan ini terletak di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Gowa dan beberapa kabupaten di sekitarnya termasuk Kotamadya Makassar.

Muhammad Yusuf dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya sejak dini. Sebagai seorang putera keluarga bangsawan, Muhammad Yusuf berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat bagus dengan belajar kepada ulama-ulama ternama pada zamannya, termasuk berkesempatan menimba ilmu di pusat-pusat pendidikan ternama pada zamannya.

Karena salah satu pusat pendidikan keagamaan yang bagus berada di Cikoang, sebagai seorang putera keluarga bangsawan maka Muhammad Yusuf pun berkesempatan belajar ke sana. Cikoang pada saat itu merupakan perkampungan para guru-guru agama. Mereka adalah keluarga-keluarga sayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW.  Pada usia 15 tahun Muhammad Yusuf belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana. Beberapa di antara para guru Muhammad Yusuf yang terkenal adalah Syeikh Jalaludin al-Aidit, Sayyid Ba’lawi At-Thahir dan Daeng Ri Tassamang.

Secara geografis, Cikoang saat ini berada termasuk ke dalam wilayah kecamatan Mangarabombang Kabupaten Talakar yang terletak di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan dengan jarak 60 km dari Kota Metropolitan Makassar. Hingga saat ini, di Cikoang terkenal dengan ritual Maulid Akbar Cikoang atau biasa disebut Maudu’ Lompoa Cikoang (dalam bahasa Makassar) yang merupakan perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam perayaan ini digelar berbagai atraksi budaya dengan ritual-ritual keagamaan yang digelar setiap tahun di Bulan Rabiul Awal.

Berdakwah dan Mengembara
Sekembalinya belajar dari Cikoang Muhammad Yusuf menikah dengan seorang putri Sultan Goa. Pada usia 18 tahun kemudian Muhammad Yusuf memulai pengembaraannya dalam menuntut ilmu. Pada tahun 1644, dengan menumpang kapal Melayu, Muhammad Yusuf segera berlayar untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu-ilmu agama di Timur Tengah.

Sesuai rute perjalanan kapal Melayu yang singgah di berbagai pelabuhan kerajaan-kerajaan Nusantara waktu itu, Muhammad Yusuf banyak menyinggahi berbagai daerah Nusantara. Salah satu yang kemudian menjadi sangat penting dalam perjalanan hidup dan perjuangan Muhammad Yusuf adalah Banten, sebuah pelabihan dagang yang dikendalikan oleh Kerajaan Islam Banten. Sebagai seorang bangsawan, Muhammad Yusuf bersahabat dengan putra mahkota yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), seorang penguasa terakhir Kesultanan Banten. Selain Banten, Muhammad Yusuf juga sempat singgah di Aceh dalam perjalanan pengembarannya ini.

Dari Aceh, Muhamamad Yusuf kemudian berlayar ke Gujarat, Sebuah kawasan yang menjadi salah satu negara bagian India sejak 1 Mei 1960. Gujarat dikenal sebagai tempat yang asal para wali penyebar agama Islam di Nusantara, termasuk beberapa wali songo yang kemudian bermukin di Jawa.

Di Gujarat inilah dikabarkan Muhammad Yusuf sempat bertemu dengan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, salah seorang penasihat Sultonah Shofiyatuddin, raja perempuan Aceh. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy,

Beberapa pendapat menyatakan bahwa Muhammad Yusuf bertemu dangan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri ketika Muhammad Yusuf singgah di Aceh. Hal ini didasarkan pada pendapat yang menyatakan bahwa Syeikh Nuruddin Ar-Raniri meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H./21 September 1658 M. di Aceh. Pada masa-masa sebelum 1658 M. inilah Muhammad Yusuf bertemu dengan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di Aceh. Dari Syeikh Nuruddin Ar-Raniri inilah Muhammad Yusuf belajar dan mendapatkan ijazah Tarekat Qodiriyah.

Dari Aceh, Muhammad Yusuf kemudian bertolak ke Gujarat, Yaman, Damaskus (Suriyah) hingga akhirnya ke Mekkah dan Madinah. Konon, Muhammad Yusuf sempat berkelana hingga ke Istanbul (Turki) yang disebut dalam tambo-tambo Melayu sebagai “Negeri Rum”. Di Yaman, Muhamamd Yusuf berguru pada Syeikh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi,

Di Damaskus Muhammad Yusuf berguru kepada Syeikh Abu Al-Barkah Ayyub
bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Konon gurunya inilah yang memberikan laqob (gelar panggilan) kepada Muhammad Yusuf  dengan “Al-Makassari.”  Syeikh Abu Al-Barkah adalah gurunya yang memberikan ijazah Tarekat Khalwatiyah kepadanya. Kelak, setelah Muhammad Yusuf menjadi seorang ursyid, Ijazah Tarekat Khalwatiyah inilah yang kemudian menjadikannya dikenal sebagai Syeikh Yusuf Tajul Khalwati.

Semenjak berada di Haramain (Makkah-Madinah) Muhamamd Yusuf telah dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke Tanah Suci. Konon Muhammad Yusuf yang telah menjadi guru dan dipanggil sebagai Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari ini sempat menikah dengan salah seorang putri keturunan Imam Syafi’i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi. Sebelum akhirnya pulang kembali ke Nusantara, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari sempat menikah lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah.

Berjuang Melawan Penjajahan
Dengan Kedua Isterinya, isteri pertama yang menemaninya selama berkelana dan isteri ketiga yang baru dinikahinya sewaktu di Jeddah, Syeikh Yusuf al-Makassari pun kembali ke Nusantara. Beberapa sumber menyebutkan, Syeikh Yusuf al-Makassari tidak pernah kembali ke Gowa, namun langsung menetap di Banten. Sementara beberapa pendapat menyebutkan, setelah Kesultanan Gowa mengalami kekalahan dalam peperangan melawan Belanda, Syeikh Yusuf al-Makassari kembali berlayar ke Banten, ke tempat sahabatnya semasa remaja yang kini telah menjadi seorang raja bergelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Di Banten, Sekitar tahun 1670 Syeikh Yusuf al-Makassari diangkat menjadi mufti (penesehat spiritual) dengan murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai. Syeikh Yusuf al-Makassari tinggal kemudian menikah lagi dengan Putri Sultan Ageng Tirtayasa.

Kedalaman ilmu yang dimiliki Syeikh Yusuf menjadikan Beliau begitu cepat terkenal dan menjadikan Banten sebagai Pusat pendidikan Islam. Banyak Murid murid yang berdatangan dari berbagai penjuru negeri untuk belajar kepada Syeikh Yusuf al-Makassari. Disamping mengajarkan tentang ilmu-ilmu syariat beliau juga mengajarkan ilmu beladiri untuk berjuang bersama melawan penjajah Belanda. Sehingga banyak di antara para pendekar di kesultanan Banten adalah murid Syeikh Yusuf al-Makassari.

Murid -murid Syeikh yusuf Al makassari terkenal sebagai pendekar pendekar Banten yang kebal terhadap Senjata membuat Pasukan Belanda kalang kabut. Syeikh Yusuf al-Makassari memiliki pengaruhnya yang sangat besar terhadap rakyat Banten untuk melawan Penjajah Belanda. Syeikh Yusuf al-Makassari memiliki peran sangat penting dalam penyerbuan Banten ke Batavia. Ketika Belanda berhasil memecah belah serta mengadu domba terhadap keluarga Sultan, maka Banten terpaksa direpotkan oleh pemberontakan dari dalam keluarga kerajaan sendiri. Sultan Ageng Tirtayasa pun terpaksa berperang melawan puteranya sendiri yang bernama Sultan Haji dengan dukungan militer Belanda. Syeikh Yusuf al-Makassari beserta 4.000 tentara Makassar dan Bugis memihak Sultan Ageng Tirtayasa.

Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syeikh Yusuf  al-Makassari pun turut terlibat dalam perang gerilya. Syeikh Yusuf  al-Makassari terus memimpin pasukannya bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya.

Namun pada tahun ini juga Syeikh Yusuf  al-Makassari dapat ditangkap oleh Belanda. Awalnya, Syeikh Yusuf  al-Makassari ditahan di Cirebon kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Karena pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Syeikh Yusuf  al-Makassari dan keluarga kemudian diasingkan ke Sri Lanka.

Pada bulan September 1684, Syeikh Yusuf  al-Makassari bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu dibuang ke pulau Ceylon, kini Sri Lanka. Sementara Sultan Ageng Tirtayasa sendiri berhasil ditangkap dan dikurung di Batavia hingga meninggal sebagai tawanan Belanda pada tahun 1692 M.

Karena telah berada dalam pengasingan Belanda, maka sejak di Sri Lanka inilah secara praktis, Syeikh Yusuf  al-Makassari tidak lagi dapat menjalani dan memimpin perjuangan fisik. Maka Syeikh Yusuf  al-Makassari pun mulai mencurahkan seluruh hidupnya untuk diabdikan dalam penyebaran dan pengembangan agama Islam. Syeikh Yusuf  al-Makassari kemudian menulis karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Bugis.

Di pengasingannya di Sri Lanka, Syeikh Yusuf  al-Makassari bertemu dengan ulama Sri langka bernama Syeikh Ibrahim bin Mi’an dan sering mengadakan diskusi kegamaan dan majlis ta’lim. Pembahasan tentang konsep Tasawuf yang diajarkan oleh Syeikh Yusuf  al-Makassari sangat menarik minta para ulama serta jama’ah setempat dan mereka meminta kepada Syeikh Yusuf  al-Makassari untuk membuat sebuah kitab tentang tasawuf. Syeikh Yusuf  al-Makassari  akhirnya mengarang Kitab tentang konsep tawasuf yang berjudul “Kaifiyatut Tasawwuf.”

Dari pengasingannya, Syeikh Yusuf  al-Makassari aktif menyusun sebuah jaringan Islam yang luas di kalangan para haji yang singgah di Sri Lanka, di kalangan para penguasa, dan raja-raja di Nusantara. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syeikh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara. Para kafilah haji inilah yang membawa karya-karya Syeikh Yusuf  al-Makassari ke Nusantara sehingga dapat dibaca di Indonesia sampai sekarang. Di Sri Lanka, Syeikh Yusuf  al-Makassari tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan.

Dakwah Tiada Henti
Mengingat aktivitas dakwah Syeikh Yusuf al-Makassari yang terus meningkat dan dinilai membahayakan stabilitas politik penjajahan Belanda, maka VOC lalu mengambil keputusan memindahkan Syeikh Yusuf al-Makassari ke Kaapstad di Afrika Selatan. Belanda khawatir dampak dakwah agama Syeikh Yusuf al-Makassari akan berpengaruh buruk bagi dan politik Belanda di Nusantara. Murid-murid Syeikh Yusuf al-Makassari terus mengobarkan perlawanan-perlawanan yang mengancam kekuasaan Belanda di Nusantara.

Dalam usia 68 tahun, Syeikh Yusuf al-Makassari beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Syeikh Yusuf al-Makassari di tempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Syeikh Yusuf al-Makassari membangun pemukiman di Cape Town yang sekarang dikenal sebagai Macassar.

Bersama ke-12 pengikutnya yang dinamakan imam-imam, Syeikh Yusuf al-Makassari memusatkan kegiatan pada menyebarkan agama Islam di kalangan budak belian dan orang buangan politik, termasuk di kalangan orang-orang Afrika kulit hitam yang telah dibebaskan dan disebut Vryezwarten.

Syeikh Yusuf al-Makassari terus berjuang menyebarkan syiar Islam, memelihara dan mempertahankan agama Islam di Afrika Selatan. Syeikh Yusuf al-Makassari kemudian hidup sebagai sufi yang mengajarkan tarekat Qadiriyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah di kalangan Muslim Afrika Selatan.

Karomah dan Kewalian
Sebagai seorang mursyid tarekat, Syeikh Yusuf al-Makassari dikisahkan memiliki berbagai karomah dan kewalian. Salah satu yang sangat terkenal adalah mengislamkan kapten kapal yang membawanya ke pengasingan terakhir menuju Afrika Selatan. Menurut cerita, dalam pelayaran yang membawanya menuju Kapstaad, atas kapal Voetboog yang ditumpanginya beserta rombongan dihantam oleh badai besar yang membuat nakhoda berkebangsaan Belanda, Van Beuren, ketakutan karena mengira kapalnya akan tenggelam. Namun berkat wibawa dan karisma Syeikh Yusuf al-Makassari kapten beserta nahkoda kapal dapat tetap tenang dan mengendalikan kapal dengan selamat sampai di Kaapstad. Akibat pengalaman tersebut, sang kapten memeluk agama Islam dan turut tinggal di pengasingan bersama Syeikh Yusuf al-Makassari. Sampai sekarang keturunan kapten kapal ini tetap memeluk Islam Muslim masih bermukim di Afrika Selatan.

Di Afrika Selatan, Syeikh Yusuf al-Makassari tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699 M. para pengikut Syeikh Yusuf al-Makassari menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Syeikh Yusuf al-Makassari dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya terkenal sebagai Karamah yang berarti keajaiban  atau mukjizat. Bahkan, Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, menyebut Syeikh Yusuf al-Makassari yang juga salah seorang pahlawan nasional Indonesia ini sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'.

Sultan Gowa meminta kepada VOC supaya jenazah Syeikh Yusuf al-Makassari dibawa kembali ke Tanah Airnya. Permintaan ini dikabulkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga jasad Syeikh Yusuf al-Makassari pun diboyong kembali ke Nusantara. Jasad Syeikh Yusuf al-Makassari tiba di Goa pada tanggal 5 April 1705 dan dimakamkan kembali di Lakiung (sebuah wilayah di kerajaan Gowa) pada hari Selasa tanggal 6 April 1705 M./12 Zulhidjah 1116 H.
Seperti makamnya di Faure, makamnya di Lakiung juga banyak diziarahi masyarakat. 


http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/13/19730/Tokoh/Pejuang_yang_Berdakwah_Tanpa_Henti.html

Laki-laki Juga Sumber "Fitnah"

KH. Husein Muhammad
Perempuan selalu dipersepsikan masyarakat di mana-mana sebagai makhluk Tuhan yang menarik, memikat, menggoda, mengganggu ketenangan. Dalam teks-teks keagamaan “perempuan adalah sumber fitnah”. Hadits Nabi yang sahih misalnya menyebutkan : “Ma Taraktu Ba’di Fitnah Adharra ‘ala al-Rijal min al-Nisa”. (Aku tidak mewariskan suatu fitnah yang lebih merugikan (membahayakan) laki-laki kecuali perempuan). Kata “Fitnah” dalam bahasa Arab, bukan dalam terminology Indonesia, secara literal dan generik berarti cobaan dan ujian. Bentuknya bisa bermacam-macam, dengan kadar yang juga bermacam-macam, ringan, berat sampai membahayakan kehidupan. Sebagai suatu cobaan atau ujian, fitnah bisa mengenai siapa saja; orang beriman maupun tidak beriman.
Perempuan yang distereotipe sebagai sumber fitnah dengan pengertian tubuh yang memikat, menggoda dan mengganggu laki-laki di atas adalah tafsir dan pendefinisian masyarakat patriarki. Dengan kata lain, perempuan dalam system social ini dianggap menggoda dan mengganggu naluri hasrat laki-laki yang acap atau berpotensi menjerumuskannya ke dalam situasi yang merugikan dirinya baik secara moral, spiritual maupun material. Oleh karena demikian, maka perempuan harus dibungkus, dikerangkeng dan dibatasi geraknya. Bahasa lain yang lebih soft dan sopan, adalah “dilindungi” dan “dijaga” ketika ia hendak melakukan aktifitasnya di luar rumah. Di sini perempuan diposisikan sebagai obyek yang dikorbankan demi kepentingan laki-laki.
Tafsir lain atas hadits di atas yang mungkin lebih adil adalah bahwa hadits tersebut justeru ingin menggugah kesadaran kaum laki-laki agar berhati-hati dan menjaga dirinya dengan “menundukkan” pandangan matanya ketika melihat perempuan. ”Menundukkan mata” artinya mengendalikan matanya agar tidak liar dan melotot. Menjaga diri adalah menghormati martabat diri dengan tidak mengganggunya atau melecehkannya. Inilah maksud perinah Tuhan dalam surah al-Nur;31 yang populer itu. Jika laki-laki bisa melakukan demikian, maka sesungguhnya perempuan bisa bergerak di mana saja sebagaimana laki-laki sepanjang masing-masing menjaga kehormatan dirinya. Mereka tidak perlu dibatasi aktfitasnya di ruang publik-politik. Dan ini bisa menguntungkan semua.
Laki-laki juga menggoda Perempuan
Pertanyaan kita adalah apakah hanya perempuan yang menjadi makhluk yang menarik hati, menggoda dan mengganggu ketenangan “lawan” jenisnya? Dengan kata lain apakah hasrat dan gairah seksual hanya dimiliki oleh laki-laki terhadap perempuan dan tidak oleh perempuan terhadap laki-laki juga? Para seksolog menyatakan bahwa hasrat-hasrat biologis adalah naluri-naluri instinktif manusia dan binatang; laki-laki maupun perempuan, jantan maupun betina. Jadi makhluk Tuhan yang laki-laki juga adalah sosok yang memiliki daya tarik, daya goda dan mengundang hasrat libido makhluk perempuan. Tuhanlah yang menganugerahkan naluri suci ini kepada makhluknya tanpa mengkhususkan kepada jenis kelamin laki-laki dengan kadar yang relative sama. Anugerah itulah yang membuat lak-laki dan perempuan eksis dan bisa menjalani kehidupannya dengan dinamis dan bergairah. Seksualitas adalah anugerah besar dari Tuhan bagi semua ciptaan-Nya.
Ada banyak kisah dimana perempuan tertarik secara seksual kepada laki-laki. Dalam al-Qur’an ada cerita tentang Siti Zulaikha, isteri pejabat tinggi kerajaan Mesir ketika itu. Dia tergoda hatinya kepada Yusuf A.S yang dikemudian hari menjadi Nabi itu. Laki-laki dengan postur tubuh indah dan wajah yang amat tampan ini, begitu mengusik dan menggelitik libido Zulaikha, yang konon kemudian menjadi isterinya. Diceritakan pula bahwa gairah perempuan ini untuk berasyik-masyuk dengan Yusuf, putra Nabi Syu’aib As, seakan tak tertahankan. Al-Qur’an menginformasikan situasi ini:
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." [Q.S. Yusuf, 12.23]
“Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)", [Q.S. Yusuf, 12.26]
“Dan wanita-wanita di kota berkata: "Istri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam”. [Q.S. Yusuf, 12.30]
Bukan hanya Zulaikha, perempuan-perempuan yang diundang ke rumahnya juga terpesona melihat tubuh dan ketampanan Yusuf. Al-Qur’an menyatakan lagi :
"Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat yang mulia."[Q.S. Yusuf,12:31].
Nizami, penyair besar klasik dari Persia, dengan sangat brilian bercerita tentang cinta Layla  bint Mahdi yang penuh gelora kepada kekasihnya Qais bin Mulawwah, sebagaimana Qais kepada Layla?. Kisah cinta keduanya yang amat indah itu telah menyejarah dan menginspirasi dunia sepanjang masa. Cinta Qais yang kemudian populer disebut “majnun” (si gila) menjadi symbol para sufi untuk menggambarkan cinta manusia yang suci-murni kepada Tuhannya.
تعشقت ليلى وهى غر صغيرة    ولم يبد للاتراب من ثديها حجم
“Layla begitu merindui-nya, meski dia masih begitu belia
Ketika buah dadanya belum lagi tampak menonjol.
Layla mabuk kepayang pada Qais, kekasih dan pujaan hatinya. Ia merinduinya berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Tetapi cinta kasih mereka tak sampai, karena tradisi melarangnya.
William Shakespeare dengan sangat memesona bercerita tentang Juliet yang kasmaran berat kepada Romeo dan sebaliknya, atau Luthfi al-Manfaluthi yang menerjemahkan dengan amat indah karya Alphones Karr : “Majdulin”, Magdalena. Kepada kekasihnya Stephen, Majdulin dalam suratnya antara lain mengatakan:
استيفن , إنى أعد الساعات واللحظات, انتظرك بشوق عظيم
“Stephen, Aku terus menghitung jam-jam berdentang dan detik-detik yang berketik-ketik. Aku menunggumu dengan penuh rindu dendam”.
Laki-laki Sumber Keresahan Social
Jika perempuan dianggap sebagai sumber keresahan social, sebagai makna lain dari kata “fitnah” di atas, maka laki-laki juga bisa menjadi sumber keresahan social. Sebuah kisah klasik bernuansa Arabia memperlihatkan bagaimana perempuan-perempuan Arab rindu berat sampai  dan mengejar-ngejar seorang laki-laki tampan. Ini terjadi pada zaman Umar bin Khattab, khalifah kedua yang terkenal adil itu. Suatu hari dia berjalan-jalan dalam rangka “incognito” ke desa-desa untuk mengetahui sendiri nasib rakyatnya. Dari sebuah gubug sederhana di sana dia mendengar nyanyian rindu melankoli dari seorang perempuan.
هل من سبيل إلى الخمـر فأشربهـا؟      أو هل من سبيل إلى نصر بن الحجاج
 Adakah jalan menuju kedai minuman anggur
Biar aku bisa menenggaknya
Atau adakah jalan menuju Nashr bin Hajjaj
Biar aku bisa menatapnya lama-lama?
Umar segera memanggil Nashr. Begitu tiba di hadapannya, Umar melihat seorang laki-laki tampan dengan rambut ikalnya yang memikat. Umar segera mintanya memangkas semua rambut di kepalanya. Begitu kepalanya tak lagi menyisakan rambut (gundul), Umar  melihat ketampanannya masih tampak nyata dan masih mampu membuat kaum perempuan tergila-gila dan ingin mimpi berhari-hari bersamanya. Umar masih resah. Ia kemudian mengisolasinya ke Basrah, Irak, dan membiarkan wajahnya berangsur-angsur menjadi keriput di telan zaman dan tak lagi menggoda  perempuan. Tetapi di negeri ini ternyata banyak perempuan yang juga tergila-gila padanya. Abu Musa al Asy’ari, sang gubernur Basrah, mengusirnya ke Persia. Dan di negeri itu, dia masih juga digandrungi banyak perempuan. Utsman bin Abi al-Ash al-Tsaqafi, gubernur Persia itu, kemudian mengirim surat kepada Umar bin Khattab di Madinah, menceritakan si tampan yang membuat perempuan-perempuan resah dan tak bisa makan-minum-tidur itu. Dalam balasannya, Umar menyuruh sang gubernur membuat SG (baca: Surat Gubernur) tentang larangan bagi Nashr bin Hajjaj keluar dari masjid. “Biarkan dia di masjid sampai meninggal”. Ketika pada akhirnya Umar wafat lebih dahulu, karena dibunuh Abu Lu’lu, Nashr masih segar-bugar dan kembali lagi ke Madinah.
Nah, ternyata laki-laki juga menjadi problem social. Kehadiran Nashr bin al Hajjaj di tengah-tengah masyarakatnya ternyata dianggap para penguasa berbagai negeri mengganggu dan mengacaukan keamanan negerinya. Laki-laki itu menjadi sumber fitnah kaum perempuan.
Cirebon, 21 April 2011

http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/pemikiran-buya-husein/931-laki-laki-juga-sumber-qfitnahq.html

Mansur Al-Hallaj

Ilustrasi Al-Hallaj
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."

Kehidupan Al-Hallaj

Masa kanak-kanak

Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.

Masa remaja

Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktik-praktik kezuhudan keras semisal puasa dan salat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.

Ibadah haji

Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktik kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.

Menjadi guru

Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.

Akulah Kebenaran!' dan hari-hari terakhir

Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.

http://id.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj